caristyle.co.id, JAKARTA — Di tengah guncangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang anjlok tajam pada perdagangan Jumat (17/10/2025), fenomena menarik terjadi di pasar modal Indonesia: investor asing justru memborong sejumlah saham dengan agresif.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG mencatatkan pelemahan signifikan sebesar 2,57%, menutup sesi di level 7.915,66. Pergerakan indeks kemarin menunjukkan rentang yang cukup lebar, mencapai level terendah 7.854,31 dan sempat menyentuh level tertinggi 8.140,60 sepanjang perdagangan.
Total nilai transaksi yang diperdagangkan mencapai Rp28,43 triliun, dengan volume transaksi sebesar 39,47 miliar lembar saham dan frekuensi 2,66 juta kali. Kapitalisasi pasar modal Indonesia tercatat sebesar Rp14.746 triliun. Kondisi pasar mencerminkan tekanan jual yang kuat, di mana 617 saham melemah, 135 saham menguat, dan 204 saham terpantau stagnan.
Namun, di tengah tekanan tersebut, pasar saham Indonesia justru mencatatkan arus masuk atau inflow dana asing yang cukup deras. Nilai beli bersih atau net buy asing menembus angka Rp3,03 triliun pada perdagangan kemarin. Catatan positif ini berhasil mengikis nilai jual bersih atau net sell asing sepanjang tahun 2025 berjalan, yang kini berada di angka Rp51,54 triliun.
: BBCA Lawan Arah saat Saham Bank Jumbo dan IHSG Rontok
Fenomena net buy asing yang masif ini tentu tidak merata. Sejumlah saham pilihan menjadi incaran utama investor asing, menunjukkan preferensi tertentu di tengah volatilitas pasar. Salah satunya adalah saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) yang mencatatkan beli bersih asing sebesar Rp242,23 miliar.
Tak hanya BBCA, saham-saham lain juga menarik perhatian investor global. PT Merdeka Gold Resources Tbk. (EMAS) membukukan net buy asing sebesar Rp182,8 miliar, diikuti oleh PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) dengan Rp132,03 miliar. Saham PT Rukun Raharja Tbk. (RAJA) juga masuk daftar dengan net buy asing sebesar Rp106,11 miliar pada perdagangan kemarin.
Community and Retail Equity Analyst Lead PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), Angga Septianus, menjelaskan bahwa pasar saham Indonesia kala itu memang sedang tertekan oleh gejolak global, khususnya memanasnya hubungan dagang antara China dan Amerika Serikat. Tensi antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia itu kembali memuncak setelah China pada 10 Oktober membatasi ekspor mineral tanah jarang. Presiden AS Donald Trump merespons dengan ancaman pemberlakuan tarif 100% terhadap produk China mulai 1 November, menambah ketidakpastian di pasar.
Senada, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Nafan Aji Gusta, menyoroti bahwa secara teknikal, IHSG diperkirakan memiliki ruang kenaikan (limited upside) karena masih dalam fase konsolidasi. Meskipun indikator MA20 dan MA60 cenderung menguat, Stochastics dan RSI masih menunjukkan sinyal negatif. Selain itu, sentimen pasar juga diwarnai oleh isu government shutdown di AS dan berlanjutnya tensi dagang AS-China.
Di sisi lain, optimisme terhadap potensi penurunan Fed Fund Rate pada akhir Oktober terus meningkat, membawa sedikit angin segar bagi investor. Dari dalam negeri, pelaku pasar masih menantikan hasil perilisan data FDI kuartal III/2025 yang diperkirakan akan terkontraksi, sebuah faktor yang akan turut memengaruhi pergerakan IHSG dalam jangka pendek.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.