Saham Blue Chip Anjlok Saat IHSG Naik? Analis Ungkap Penyebab & Rekomendasi!

Posted on

caristyle.co.id – Menjelang kuartal IV-2025, pasar saham Indonesia diwarnai fenomena menarik: sejumlah saham berkapitalisasi besar atau big caps justru terpuruk dan menduduki daftar laggard, menjadi pemberat utama Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) meskipun indeks sempat beberapa kali menunjukkan penguatan. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar di kalangan investor mengenai prospek pasar ke depan.

Data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) hingga saat ini menyoroti deretan saham laggard 2025 yang memberikan kontribusi negatif signifikan terhadap IHSG:

  • BBCA mengalami penurunan 21,19% year-to-date (ytd) menjadi Rp 7.625 per saham, dengan kontribusi negatif -139,47 poin bagi IHSG.
  • BMRI turut melemah 22,81% ytd ke level Rp 4.400 per saham, memberatkan indeks sebesar -114,99 poin.
  • AMMN mencatatkan kemerosotan 14,75% ytd menjadi Rp 7.225 per saham, menyumbang -40,52 poin negatif.
  • AMRT terpukul paling dalam dengan longsor 32,28% ytd ke Rp 1.930 per saham, memberikan tekanan -40,08 poin.
  • GOTO juga amblas 22,86% ytd ke Rp 54 per saham, mengakibatkan penurunan -34,13 poin.

Selain nama-nama tersebut, beberapa saham big caps lain seperti BYAN, ADRO, BBRI, MAPA, dan ICBP juga tidak luput dari status laggard, mencerminkan tantangan yang lebih luas di pasar modal.

Menurut Praska Putrantyo, CEO Edvisor Provina Visindo, tekanan terhadap saham big caps ini dipicu oleh beragam sentimen sektoral. Sektor perbankan, misalnya, menghadapi penyaluran kredit yang lesu, margin bunga bersih (NIM) yang tertekan, serta arus keluar investor asing yang masih deras. Sementara itu, sektor pertambangan, khususnya batubara, tertekan oleh harga komoditas yang melemah akibat permintaan dari Tiongkok yang belum pulih sepenuhnya, mendorong investor beralih ke aset yang lebih aman seperti emas dan energi terbarukan. Di sektor konsumsi, daya beli masyarakat yang belum pulih penuh menjadi beban bagi emiten seperti AMRT, MAPA, dan ICBP.

“Tekanan arus keluar juga berdampak signifikan ke saham berkapitalisasi besar, terutama dari sektor perbankan, karena pelaku pasar masih berada dalam posisi wait and see terhadap arah perekonomian dan kebijakan suku bunga Bank Indonesia,” jelas Praska pada Selasa (30/9). Senada, Harry Su dari Samuel Sekuritas menegaskan bahwa tekanan terbesar saat ini berasal dari capital outflow investor asing yang khawatir akan prospek margin di sektor perbankan, memperparah posisi saham big caps.

Fenomena menarik lainnya adalah saham-saham big caps yang kini menyandang status laggard justru kalah pamor dibandingkan beberapa saham konglomerasi yang sepanjang tahun ini tampil gemilang dan menopang pergerakan IHSG. Nama-nama seperti DCII, BRPT, DSSA, dan CDIA menjadi contoh nyata dari pergeseran preferensi investor di tengah dinamika pasar.

Meskipun demikian, Harry Su optimis bahwa harga saham-saham laggard berpotensi membaik pada kuartal IV-2025, didorong oleh ekspektasi pemangkasan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI). “Namun, penguatannya cenderung terbatas karena permintaan kredit diperkirakan masih lemah, dan risiko kualitas aset tetap tinggi,” imbuhnya, juga pada Selasa (30/9). Pandangan analis menunjukkan bahwa meskipun ada peluang rebound terbatas seiring potensi pemangkasan suku bunga BI, pemulihan harga saham laggard akan sangat bergantung pada beberapa faktor krusial:

  • Publikasi laporan keuangan kuartal III-2025 yang akan memberikan gambaran kinerja terkini.
  • Arah kebijakan suku bunga oleh Bank Indonesia.
  • Perkembangan daya beli masyarakat yang menjadi penopang utama sektor konsumsi.

Menyikapi kondisi ini, para analis memberikan rekomendasi saham bagi investor. Praska Putrantyo menyarankan strategi buy on weakness untuk saham-saham seperti BBRI dengan target harga Rp 5.025, BBCA di Rp 8.900, dan BMRI pada Rp 5.000. Sementara itu, Harry Su merekomendasikan fokus pada big caps defensif dengan fundamental yang solid, seperti BBCA, TLKM, ICBP, AMRT, dan JPFA, yang dinilai lebih tahan banting di tengah ketidakpastian pasar.

Pada akhirnya, meskipun saham big caps kini kehilangan pamor dan tertinggal oleh saham-saham konglomerasi yang lebih agresif seperti DCII, BRPT, DSSA, dan CDIA dalam menopang IHSG, fase “terpuruk” ini justru bisa menjadi momentum emas bagi investor yang jeli. Dengan melakukan seleksi ketat terhadap saham-saham berfundamental kuat dan prospek jangka panjang yang menjanjikan, peluang untuk meraih keuntungan dari potensi pembalikan arah masih terbuka lebar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *