Saham CPO: Klarifikasi Lahan, Peluang Investasi & Rekomendasi Terbaru

Posted on

Beberapa waktu terakhir, industri kelapa sawit Indonesia tengah menghadapi dinamika baru. Emiten produsen minyak kelapa sawit (CPO) secara serentak memberikan klarifikasi terkait status kepemilikan lahan mereka yang berpotensi berada di kawasan hutan. Situasi ini dipicu oleh penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025 yang mengatur sanksi administratif dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor kehutanan. Berdasarkan informasi dari Bursa Efek Indonesia (BEI), regulasi baru ini berpotensi menjatuhkan denda maksimal sebesar Rp 25 juta per hektare per tahun, terhitung sejak awal penguasaan lahan.

Menyikapi regulasi tersebut, mayoritas emiten CPO menegaskan bahwa mereka sama sekali tidak memiliki lahan di kawasan hutan tanpa perizinan yang sah. Namun, tidak sedikit pula yang mengakui bahwa perubahan kebijakan pemerintah telah mengakibatkan sebagian lahan mereka kini teridentifikasi berada dalam kawasan hutan, sebuah konsekuensi yang bukan disengaja. Beberapa emiten CPO yang secara spesifik menyampaikan klarifikasi meliputi PT Nusantara Sawit Sejahtera Tbk (NSSS), PT Pradiksi Gunatama Tbk (PGUN), dan PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT).

PT Pradiksi Gunatama Tbk (PGUN), misalnya, menjelaskan bahwa berdasarkan izin usaha yang mereka pegang, perseroan tidak menanam atau mengelola lahan kelapa sawit di dalam kawasan hutan. Namun, undangan klarifikasi dari Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) pada Maret 2025 menyoroti temuan bahwa sebagian lahan dalam Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 10/Kerang seluas 16.404,4059 hektare, atas nama PT Senabangun Anekapertiwi (yang telah bergabung dengan PGUN sejak Desember 2022), terindikasi berada dalam kawasan hutan. PGUN menegaskan, lahan tersebut belum ditetapkan sebagai kawasan hutan saat penerbitan HGU pada 18 April 1998. Penetapan status kawasan hutan baru muncul melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 27 Oktober 2021. Oleh karena itu, PGUN berargumen bahwa mereka menguasai lahan tersebut berdasarkan izin yang sah sebelum adanya perubahan status, dan kini sedang berupaya menyelesaikannya bersama instansi terkait. Seluruh lahan yang dipermasalahkan berlokasi di Provinsi Kalimantan Timur, dengan rincian 419,025 hektare cagar alam (tidak dimanfaatkan) dan 298,071 hektare hutan produksi (sebagian dimanfaatkan untuk sawit oleh perusahaan maupun masyarakat, sebagian lagi berupa semak belukar).

Meskipun demikian, Sekretaris Perusahaan PGUN, Muhammad Reza, mengklarifikasi bahwa hingga kini belum ada tagihan denda yang diterima perseroan terkait perubahan ketentuan ini. Ia optimis bahwa proses penyelesaian tidak akan mengganggu kinerja operasional, mengingat nilainya dianggap tidak material. Di sisi lain, PT Nusantara Sawit Sejahtera Tbk (NSSS) secara terbuka mengakui adanya lahan kelapa sawit di dalam kawasan hutan tanpa perizinan sah di Kalimantan Tengah. Namun, NSSS belum mendapatkan surat lebih lanjut terkait pengenaan denda, sehingga belum dapat mengestimasi dampak material terhadap laporan keuangan perseroan. Sementara itu, PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT) juga mengidentifikasi potensi area lahan perseroan yang saat ini teridentifikasi dalam kawasan hutan dan belum memiliki perizinan. Perseroan menekankan bahwa hal ini bukan disebabkan unsur kesengajaan, melainkan konsekuensi dari penetapan atau perubahan status kawasan hutan oleh pemerintah setelah perizinan usaha telah diperoleh. ANJT menyatakan bahwa luasan area tersebut tidak berdampak signifikan terhadap total area operasional maupun kelangsungan usaha perseroan secara keseluruhan.

Isu denda lahan konservasi ini tentu menjadi perhatian para investor. Namun, sentimen pasar terhadap emiten CPO secara umum masih cukup positif. Abdul Azis Setyo, Equity Research Analyst Kiwoom Sekuritas Indonesia, mencatat bahwa pelaku pasar masih mengapresiasi kenaikan harga CPO yang saat ini berada di level MYR 4.460 per ton. Ia menilai, isu denda belum menjadi sentimen negatif yang besar karena perusahaan-perusahaan yang terdampak menunjukkan sikap kooperatif. Akan tetapi, Azis mewanti-wanti bahwa jika masalah ini di kemudian hari berdampak pada izin operasional, hal itu bisa memicu tekanan baru bagi sektor ini.

Marvin Lievincent, Equity Analyst Phillip Sekuritas, sependapat bahwa untuk jangka pendek, dampak fundamental dari kasus ini kemungkinan belum akan terasa mengingat belum adanya tindak lanjut yang konkret. Namun, untuk jangka panjang, ia mengamati bahwa jika isu ini terus tereskalasi, kelangkaan pasokan bisa saja terjadi akibat berkurangnya lahan sawit para emiten. Meskipun demikian, Lievincent tetap optimistis terhadap sektor CPO, memprediksi tren bullish karena permintaan yang stabil dan kuat, sementara pasokan cenderung stagnan dalam beberapa tahun terakhir.

Senada dengan pandangan tersebut, Abida Massi Armand, Analis BRI Danareksa Sekuritas, berpandangan bahwa denda atas kebun sawit di lahan konservasi, meskipun menimbulkan tekanan jangka pendek, memiliki dampak yang relatif terbatas terhadap fundamental perusahaan. Ia menjelaskan bahwa denda ini bersifat one-off atau sekali bayar, sehingga tidak akan menjadi beban berulang yang menggerus profitabilitas jangka panjang. “Pengaruh utamanya hanya terlihat pada penurunan laba bersih dan ekuitas di periode pembukuan tertentu,” ujarnya. Dengan harga CPO yang masih tinggi di kisaran MYR 4.520 per metrik ton, emiten besar dengan arus kas yang kuat diyakini mampu menyerap denda tersebut tanpa mengganggu kelangsungan operasional. Risiko yang lebih nyata justru terletak pada tekanan likuiditas jangka pendek jika pembayaran harus dilakukan secara sekaligus. Abida juga menambahkan bahwa implementasi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 dan PP Nomor 45 Tahun 2025 kemungkinan akan berjalan bertahap dan masih membuka ruang negosiasi hukum, memberikan waktu bagi emiten untuk menyesuaikan skema pembayaran. Oleh karena itu, isu ini lebih bersifat sementara dan berpotensi menciptakan volatilitas harga saham CPO jangka pendek, tanpa mengubah prospek positif sektor yang tetap ditopang oleh kuatnya harga komoditas.

Melihat ke depan, Abida Massi Armand memproyeksikan kinerja emiten CPO pada kuartal III 2025 akan sangat kuat, mengingat periode tersebut merupakan puncak musim produksi. Didukung oleh harga CPO yang tinggi, laba bersih emiten kemungkinan akan melonjak secara kuartalan. Memasuki kuartal IV, produksi biasanya mengalami penurunan musiman. Namun, fenomena La NiƱa yang diperkirakan berlangsung hingga awal 2026 berpotensi menekan pasokan dan menjaga harga CPO tetap tinggi, sehingga margin keuntungan tetap solid. Menjelang tahun 2026, sejumlah katalis struktural akan muncul, salah satunya adalah implementasi program biodiesel B50 pada paruh kedua tahun tersebut. Kebijakan ini diperkirakan akan mengalihkan sekitar 5,3 juta ton CPO dari ekspor ke pasar domestik untuk kebutuhan energi, menciptakan price floor baru yang akan menopang harga CPO global. “Kombinasi harga tinggi, meningkatnya permintaan domestik, dan melemahnya rupiah akan memperkuat kinerja sektor,” tuturnya.

Meski demikian, beberapa risiko tetap perlu diwaspadai, seperti denda konservasi, regulasi deforestasi Uni Eropa (EUDR), stagnasi produktivitas lahan, dan potensi tekanan fiskal terhadap Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Secara keseluruhan, periode 2025-2026 berpotensi menjadi fase bullish bagi sektor CPO, dengan TBLA, SIMP, dan LSIP sebagai kandidat unggulan berkat valuasi rendah, integrasi vertikal, serta kekuatan hilirisasi mereka.

Secara valuasi, emiten CPO dengan prospek price to earning ratio (PER) 2026 di bawah 6x masih menawarkan peluang rerating besar seiring dengan prospek harga CPO yang kuat dan implementasi kebijakan B50. PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA) menjadi pilihan utama atau top pick dengan valuasi paling murah di kisaran 5x serta keunggulan di lini hilir sebagai bagian dari Grup Wilmar. Kemudian, PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) dan PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) juga direkomendasikan beli dengan forward PER masing-masing 5,4x dan 5,7x, didukung oleh integrasi vertikal dan efisiensi Grup Salim. Sementara itu, saham DSNG dan TAPG direkomendasikan hold karena valuasinya sudah mencerminkan premium dibandingkan peers-nya.

Abdul Azis Setyo juga menambahkan bahwa kinerja kuartal III dan IV masih berpotensi mencatatkan pertumbuhan positif, mengingat kenaikan average selling price (ASP) yang mendorong pendapatan emiten sawit. Di sisi lain, penerapan B40 juga masih mendorong dari sisi demand atau volume. Azis secara spesifik merekomendasikan beli untuk LSIP dengan target harga Rp 1.460 per saham.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *