Saham Valuasi Mahal: IHSG Naik, Masih Layak Beli Sekarang?

Posted on

Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) terus didorong oleh performa saham-saham dengan valuasi yang tergolong tinggi. Pada penutupan perdagangan Jumat (3/10/2025), IHSG berhasil mencatatkan penguatan 0,59% secara harian, bertengger di level 8.118,30. Capaian ini semakin impresif mengingat sepanjang tahun berjalan, indeks komposit ini sudah melonjak signifikan sebesar 14,67%.

Salah satu pilar utama di balik kenaikan IHSG adalah saham PT DCI Indonesia Tbk (DCII). Emiten yang bergerak di sektor pusat data ini telah menunjukkan kinerja luar biasa, melesat 576,72% sepanjang tahun ini hingga mencapai Rp 284.900 per Jumat (3/10/2025). Kontribusi DCII terhadap penguatan IHSG pun tidak main-main, mencapai 297,93 poin. Namun, jika dicermati lebih jauh, valuasi DCII sangat tinggi dengan Price Earning Ratio (PER) mencapai 500,40 kali, padahal secara fundamental, perusahaan ini hanya membukukan pendapatan Rp 1,33 triliun dan laba periode berjalan Rp 616,95 miliar per Juni 2025.

Fenomena valuasi mahal tidak hanya terbatas pada DCII. Sejumlah saham dengan kapitalisasi pasar terbesar di BEI juga menunjukkan indikator valuasi yang tinggi. Ambil contoh PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN), emiten milik taipan Prajogo Pangestu, yang menduduki peringkat pertama dalam kapitalisasi pasar di BEI. Valuasi saham BREN mencapai 600,24 kali, meskipun laba bersih di semester I-2025 hanya Rp 65,46 miliar. Sejak melantai di BEI pada 9 Oktober 2024 dengan harga Rp 780 per saham, saham BREN telah melesat fantastis hingga 1.124,35%, dan menguat 4,09% secara harian.

Kondisi ini menciptakan kontras yang tajam dengan emiten berfundamental solid dan teruji, seperti PT Bank Central Asia Tbk (BBCA). Bank dengan kinerja keuangan yang mumpuni ini membukukan laba bersih (bank only) sebesar Rp 39,06 triliun selama Januari–Agustus 2025. Namun, pergerakan harga saham BBCA justru tidak sebanding. Sepanjang tahun berjalan, saham BBCA telah anjlok 22,22% ke level Rp 7.525 per Jumat (3/10/2025). Penurunan ini secara otomatis menjadikan valuasi BBCA tergolong rendah, dengan PER 15,98 kali dan Price Book Value (PBV) 3,55 kali.

Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia, Budi Frensidy, menyoroti kecenderungan investor ritel yang cenderung irasional dalam mengambil keputusan. Ia mengingatkan bahwa situasi serupa pernah terjadi beberapa tahun lalu di pasar saham domestik. Perbedaannya terletak pada incaran investor; jika beberapa tahun terakhir saham-saham milik konglomerat menjadi primadona, periode 2021–2022 justru saham bank digital yang merajai minat investor. Budi menekankan bahwa kondisi saat ini merupakan pelajaran berharga bagi investor dan emiten mengenai pentingnya menjaga dan mendorong kenaikan harga saham.

Lebih lanjut, Budi Frensidy berpendapat bahwa pemegang saham pengendali (PSP) harus memiliki komitmen kuat untuk berperan sebagai liquidity provider atau market maker bagi saham mereka sendiri. Tanpa komitmen tersebut, bahkan saham blue chips yang menjadi penghuni indeks IDX30 dan LQ45 dengan kapitalisasi pasar besar sekalipun belum tentu memberikan keuntungan signifikan. Ia mengamati bahwa investor yang membeli saham blue chips sering kali tidak mendapatkan return yang setara dibandingkan imbal hasil yang ditawarkan oleh saham-saham emiten konglomerat. Menurutnya, hal ini berlaku tidak hanya untuk segelintir saham, tetapi juga banyak saham konglomerat lain yang PSP-nya menunjukkan komitmen kuat.

Contoh konkret terlihat pada beberapa saham lapis kedua, seperti PT Multipolar Technology Tbk (MLPT) dan PT Multipolar Tbk (MLPL) dari Grup Lippo. Kedua saham ini masing-masing telah melesat 869,19% dan 129,47% sepanjang tahun 2025 berjalan. Dengan demikian, Budi menyimpulkan bahwa saham yang menarik dan menguntungkan untuk dikoleksi saat ini adalah emiten dengan pengendali konglomerat atau tokoh yang berkomitmen menjaga harga saham agar tidak merugikan investor.

Senada dengan itu, Pengamat Pasar Modal Irwan Ariston menambahkan, menilai apakah suatu saham kemahalan atau masih murah adalah tantangan, terutama di sektor-sektor baru yang prospeknya belum sepenuhnya dipahami pasar. Ia membandingkan situasi ini dengan kasus saham teknologi di bursa Amerika Serikat (AS) pada tahun 1999, di mana banyak perusahaan, termasuk Amazon yang saat itu masih merugi, mengalami lonjakan harga yang dianggap tidak masuk akal. Banyak analis pada masa itu kesulitan menghitung valuasi wajar bagi perusahaan-perusahaan tersebut.

Meskipun Amazon kemudian tumbuh menjadi salah satu perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar di dunia dan harganya berhasil melampaui puncak di tahun 2000 pasca-crash, Irwan mengingatkan bahwa tidak semua emiten akan mengikuti jejak sukses Amazon. Banyak perusahaan teknologi yang akhirnya gagal pada periode tersebut, menunjukkan risiko yang sangat tinggi. Oleh karena itu, ia menyarankan agar investor menyesuaikan porsi portofolio mereka berdasarkan profil risiko pribadi. Ia menekankan pentingnya menghindari keputusan investasi yang didasari oleh ikut-ikutan, karena investasi membutuhkan kesabaran. Baginya, peningkatan nilai portofolio yang perlahan namun stabil jauh lebih baik, asalkan saham yang dipilih memberikan kenyamanan dan ketenangan hati bagi investor.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *