Sejumlah pejabat kepolisian di Magelang menghadapi sorotan tajam setelah Kapolres Magelang Kota AKBP Anita Indah Setyaningrum dan Kasatreskrim Polres Magelang Kota Iptu Iwan Kristiana digugat ke Polda Jawa Tengah. Laporan ini diajukan oleh orang tua seorang remaja berinisial DRP (15), didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, atas dugaan salah tangkap, penyiksaan remaja, dan penyebaran data pribadi.
Menurut penasihat hukum keluarga korban dari LBH Yogyakarta, Royan Juliazka Chandrajaya, insiden tragis ini bermula saat DRP ditangkap pada 29 Agustus lalu di depan Polres Magelang Kota. Kala itu, terjadi demo rusuh. Ironisnya, DRP sama sekali tidak terlibat dalam aksi demonstrasi tersebut. Ia hanya kebetulan melintas di sekitar lokasi kejadian setelah melakukan transaksi jual beli (COD) jaket, namun kemudian ditangkap secara sewenang-wenang. Ini menjadi titik awal dugaan salah tangkap yang menimpa remaja tersebut.
Setelah penangkapan, Royan mengungkapkan bahwa DRP mengalami serangkaian penyiksaan brutal. Remaja tersebut dipaksa untuk mengakui keterlibatannya dalam aksi perusakan yang terjadi di Polres Magelang Kota. Bentuk kekerasan aparat yang dialami DRP disebutkan mencakup ditampar, ditendang, kepalanya dipukul, hingga dicambuk, sebuah perlakuan yang sangat tidak pantas untuk anak di bawah umur.
Tak berhenti di situ, DRP juga harus menginap di Polres Magelang Kota dalam kondisi yang memprihatinkan. Ia tidur tanpa alas dan ditempatkan bersama tahanan dewasa, sebuah pelanggaran terhadap hak-hak anak. Kekerasan tidak berhenti pada hari penangkapan; keesokan harinya, pada 30 Agustus, DRP kembali mengalami serangkaian kekerasan. Ia dikumpulkan bersama tahanan lain, dipaksa berbaris, dan kembali ditampar, dipukul, ditendang, serta dicambuk menggunakan selang di dada dan punggung. Bahkan, ia dihantam dengan lutut oleh polisi tanpa alasan yang jelas.
Selain dugaan kekerasan fisik, keluarga korban juga melaporkan adanya pelanggaran privasi data pribadi DRP. Data diri sensitif remaja tersebut, seperti foto, nama, alamat, dan asal sekolah, disebarkan secara luas melalui grup-grup WhatsApp. Parahnya, data ini disertai narasi yang menudingnya sebagai pelaku kerusuhan. Royan menegaskan bahwa ini adalah kategori data yang tidak boleh disebar dan merupakan tindak pidana. Data tersebut diduga diambil saat DRP berada di lingkungan kepolisian.
Konsekuensi dari serangkaian insiden ini sangat mendalam bagi DRP. Meskipun luka fisiknya mulai pulih, ia mengalami trauma psikologis yang parah, terutama ketika melihat kantor polisi. Penyebaran data pribadi juga menyebabkan DRP merasa malu di sekolah dan menjadi korban perundungan (bullying) oleh teman sebaya. Bahkan, ia sempat terancam dikeluarkan dari sekolah karena telah dicap sebagai pelaku kerusakan, menambah beban mental yang harus ditanggungnya.
Oleh karena itu, pada Selasa (16/9), ibu korban bersama LBH Yogyakarta secara resmi melaporkan kasus ini ke Polda Jawa Tengah. Mereka berharap laporan ini segera ditindaklanjuti dan semua pihak yang terlibat dalam dugaan penyalahgunaan wewenang serta kekerasan ini diproses secara hukum. Royan Juliazka Chandrajaya juga menekankan bahwa insiden ini bukanlah kasus pertama kali terkait kekerasan polisi dan penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum.
Menanggapi laporan tersebut, Kabid Humas Polda Jawa Tengah, Kombes Artanto, membenarkan bahwa aduan dari ibu korban telah diterima oleh Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Jateng. Artanto menyatakan bahwa pihak kepolisian memiliki kewajiban untuk membuktikan laporan tersebut melalui proses penyidikan, dengan kerja sama dari pelapor.