Satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran diwarnai kekhawatiran dari kalangan aktivis dan akademisi terkait kemunduran demokrasi. Indikasi yang mencolok adalah ‘perburuan’ aktivis dan penahanan ratusan demonstran yang menolak kenaikan tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Agustus-September lalu. Kontras dengan pandangan ini, pemerintah melalui Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) saat itu, Natalius Pigai, mengklaim Indonesia justru mengalami “surplus” demokrasi.
“Tidak ada satu keputusan pemerintah atau peraturan yang membatasi demokrasi di Indonesia,” tegas Pigai.
Namun, sejumlah lembaga riset internasional melaporkan indeks demokrasi di Indonesia mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir, meskipun Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren yang sebaliknya. Dengan Prabowo-Gibran yang masih akan memimpin negara empat tahun ke depan, tantangan apa saja yang mungkin dihadapi pemerintah dan masyarakat sipil dalam isu demokrasi?
‘Surat dari penjara’
Beberapa hari menjelang sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (17/10), tulisan tangan Delpedro Marhaen dari balik penjara beredar di media sosial. Direktur eksekutif LSM HAM Lokataru ini tengah berupaya mencari keadilan agar bebas dari status tersangka.
Dalam suratnya, Pedro menyerukan agar Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, memastikan peradilan yang adil dan perlindungan terhadap hak-hak tersangka.
“Saudara Yusril harus bisa menjamin para penyidik hadir, dan tidak mangkir dari sidang praperadilan saya,” tulis Pedro dengan nada mendesak.
Yusril pun merespons “suara dari penjara” ini. Ia menyatakan bahwa Polda Metro Jaya akan hadir setidaknya pada panggilan kedua.
“Sebab, kalau tidak hadir, hakim akan meneruskan sidang tanpa kehadiran Termohon. Polisi pasti rugi,” kata Yusril seperti dikutip Tempo, Kamis (16/10).
Yusril juga menjamin bahwa pemerintah dan Polri tidak akan melakukan intervensi apa pun dalam proses hukum yang sedang berjalan di pengadilan.
Selain Pedro, terdapat tiga tersangka lain yang mengajukan praperadilan, yaitu Muzaffar Salim, Syahdan Husein, serta Kharia Anhar. Keempatnya dituduh polisi melakukan ‘penghasutan’ dalam gelombang unjuk rasa Agustus-September lalu.
Dalam rangkaian aksi unjuk rasa tersebut, kepolisian di berbagai daerah memenjarakan dan menetapkan status tersangka kepada hampir 1.000 orang. Polisi mengklaim sebagian besar dari mereka adalah pelaku kerusuhan, sementara sebagian lainnya disangkakan sebagai ‘penghasut’ dan dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Unjuk rasa yang berujung rusuh di sejumlah daerah itu menyebabkan 10 orang meninggal, 1.042 orang terluka dan dilarikan ke rumah sakit. Selain itu, dua orang masih belum ditemukan sampai hari ini, yaitu Reno Syachputra Dewo dan Muhammad Farhan Hamid.
Di sisi lain, sejumlah anggota kepolisian yang mengalami luka-luka dalam peristiwa ini, mendapat kenaikan pangkat dan penghargaan atas perintah Presiden Prabowo.
Namun, saat sidang praperadilan berlangsung Jumat (17/10), pihak kepolisian sebagai termohon belum siap menanggapi materi gugatan.
Ketika dimintai komentar, seorang anggota tim hukum yang mewakili polisi mengatakan, “Nanti biar satu pintu lewat kadiv humas [Polda Metro Jaya].”
Awal September lalu, Kadiv Humas Polda Metro Jaya, Ade Ary Syam, menunjukkan salah satu barang bukti untuk menjerat Pedro. Bukti itu berupa unggahan akun media sosial @lokataru_foundation yang memuat informasi posko aduan bagi pelajar yang ingin mengikuti demonstrasi pada 28 Agustus 2025.
Foto itu bertuliskan “Anda pelajar? Ingin demo? Sudah demo? Diancam sanksi? Atau sudah disanksi? Kita lawan bareng! #jangantakut”.
“Saudara DMR diduga melakukan tindak pidana menghasut, menyebarkan informasi bohong yang menimbulkan kerusuhan, dan memperalat anak,” kata Kombes Ade Ary.
Magda Antista, ibu dari Delpedro, yang hadir di persidangan mengatakan bahwa putranya “hanya dikambinghitamkan dan dizalimi”.
“Saya yakin anak saya tidak bersalah… Saya tidak mau anak saya menjadi korban dari kekuasaan ini,” katanya dengan nada pilu.
Ia pun mempertanyakan tuduhan terhadap putranya yang dianggap mengorkestrasi kericuhan di pelbagai wilayah Indonesia dalam gelombang aksi unjuk rasa. “Seorang Pedro? Bukan. Tidak mungkin,” tegas Magda.
Delpiero Hegelian, kakak Delpedro yang ikut memantau jalannya sidang, turut menimpali, “Kami tidak pernah mengemis kepada pemerintah untuk Delpedro dibebaskan. Tapi kami menginginkan adanya keadilan seadil-adilnya.”
Catatan demokrasi setahun Prabowo-Gibran
Sidang praperadilan Pedro berlangsung beberapa hari menjelang setahun pemerintahan Prabowo-Gibran sejak mereka dilantik jadi presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2024.
Menurut Delpiero, apa yang dilakukan adiknya dalam periode unjuk rasa lalu adalah bentuk kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dijamin konstitusi. Namun, langkah hukum yang diambil kepolisian justru menjadi bentuk “pembungkaman dan penyempitan ruang sipil” untuk menciptakan ketakutan bagi “aktivis-aktivis muda”.
“Ini kan sebenarnya yang ditakutkan untuk iklim demokrasi,” ujarnya.
Ia mengaitkan situasi ini dengan pergolakan politik 1997-1998, yang semestinya menjadi pembelajaran bagi pemerintah. “Pembungkaman bukanlah sebuah solusi, pembungkaman akan memunculkan perlawanan-perlawanan baru,” tegas Delpiero.
Sidang praperadilan Pedro dkk. dihadiri seratusan pendukung yang mengangkat poster tuntutan keadilan. Di antara mereka adalah Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
Usman menggambarkan situasi ini sebagai “simbol meluasnya kebijakan yang represif di pemerintahan Prabowo-Gibran”.
“Jadi, bukan saja setahun pemerintahan Prabowo ini ditandai dengan represi yang meluas, frustrasi yang meningkat, tapi juga ditandai penyangkalan dari pemerintah. Seolah-olah tidak ada yang salah dengan kebijakan mereka,” kritiknya.
Usman menyebutkan beberapa kebijakan tidak demokratis, di antaranya kenaikan pajak, pemotongan transfer daerah, kenaikan tunjangan anggota DPR, penangkapan massal demonstran, kekerasan fisik oleh aparat keamanan, serta tidak adanya keadilan dalam upaya mengungkap korban meninggal dalam periode unjuk rasa.
Aktivis 98 ini menyoroti aspek kebebasan sipil. Ia menyebut iklim demokrasi di Indonesia mengalami “erosi terhadap kebebasan berpendapat, berekspresi, beroposisi”. “Jadi ada di wilayah abu-abu antara otoriter atau demokratis,” simpulnya.
Vokalis Efek Rumah Kaca, Cholil Mahmud yang hadir sebagai pendukung juga mengutarakan kekhawatiran tentang nasib demokrasi. “Kalau orang sudah takut dan enggak terjamin kebebasan berpendapatnya, ya artinya tingkat demokrasi di negara tersebut sudah menyusut,” katanya dengan nada prihatin.
Indeks demokrasi Indonesia menurun
Sejumlah lembaga internasional mencatat indeks demokrasi di Indonesia turun dalam beberapa tahun terakhir. Angkanya sempat meningkat saat periode pertama Joko Widodo menjadi RI-1, tapi kemudian turun perlahan.
GSoD Indices milik Internasional IDEA, Freedom House dan Economist Intelligence Unit (EIU) punya indikator serta metodologi yang berbeda dalam mengukur indeks demokrasi global. Namun, hampir semua menggunakan indikasi:
* Kebebasan sipil dan politik (berekspresi, berserikat, pers dan media, berkeyakinan, bebas dari diskriminasi)
* Proses pemilu dan pluralisme (lembaga pemilu independen, keadilan dalam pemilu, kesetaraan parpol, pendaftaran pemilih yang adil, partisipasi)
* Fungsi pemerintahan/akuntabilitas (pemerintah terpilih secara demokratis, transparansi lembaga negara, bersih dari korupsi, pemimpin tunduk pada hukum)
* Supremasi hukum (independensi peradilan, penegakan hukum adil dan merata, perlindungan hak-hak individu melalui sistem hukum)
* Partisipasi politik yang inklusif
Dalam lima tahun terakhir, Global State of Democracy Indices (GSoD Indices) menilai Indonesia mengalami penurunan dalam hal akses keadilan, pemilu yang kredibel, parlemen yang efektif, independensi peradilan, dan penegakan hukum yang terprediksi.
Lembaga yang berpusat di Swedia ini melaporkan nilai aspek keterwakilan saat tahun pertama Jokowi jadi presiden mencapai 0,64 (skor tertinggi 1). Tapi angkanya turun menjadi 0,6 saat peralihan kekuasaan ke tangan Prabowo. Aspek lainnya seperti hak-hak, supremasi hukum, serta partisipasi juga mengalami penurunan.
Freedom House memberi skor kebebasan sipil di Indonesia yaitu “sebagian bebas” (partly free). Artinya, Indonesia masih memiliki beberapa aspek kebebasan sipil dan politik, tapi masih terdapat banyak pembatasan dan pelanggaran hak-hak tersebut.
Skor kebebasan di Indonesia menurut lembaga yang berbasis di Washington, Amerika Serikat ini mengalami penurunan perlahan periode 2017-2025. Angkanya turun dari 65 menjadi 56 (skor tertinggi 100).
“Tantangan yang signifikan masih terus berlanjut, termasuk korupsi sistemik, diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas, konflik di Papua, serta penggunaan yang bersifat politis terhadap undang-undang pencemaran nama baik dan penodaan agama,” tulis Freedom House dalam laporannya.
Sementara itu, Economist Intelligence Unit (EIU) menempatkan Indonesia sebagai negara dengan demokrasi yang cacat (flawed democracy). Artinya, meskipun negara ini telah menjalankan pemilihan umum yang bebas dan adil serta menghormati hak-hak dasar sipil, namun terdapat masalah (seperti pelanggaran kebebasan pers).
“Terdapat kelemahan yang signifikan dalam aspek lain demokrasi, termasuk masalah dalam tata kelola, budaya politik yang kurang berkembang, dan tingkat partisipasi politik yang rendah,” tulis EIU.
Lembaga yang pusat kantornya berada di London, Inggris ini pernah memberi Indonesia skor 7,03 pada 2015—angka tertinggi selama hampir dua dekade. Namun angkanya terus menurun menjadi 6,44 pada 2024. EIU membuat skala penilaian 1-10.
Meskipun indeks kebebasan sipil dan demokrasi dari lembaga internasional menunjukkan tren menurun, tapi BPS melaporkan sebaliknya. BPS melaporkan pada 2020, indeks demokrasi berada pada angka 78,12 naik menjadi 79,81 pada 2024. Skala 0-100.
Iklim demokrasi membaik saat periode pertama Jokowi
Hampir semua lembaga yang mengeluarkan indeks kebebasan dan demokrasi baik internasional dan nasional ini melaporkan terjadi peningkatan tahun-tahun pertama Jokowi memimpin Indonesia.
“Kita ingat dulu, [pemilu] 2014 ada harapan yang cukup baik, dan itu berlanjut sampai dengan periode kedua [Jokowi], yang di akhir-akhir problemnya muncul,” kata Despan Heryansyah dari Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) Universitas Islam Indonesia (UII).
Saat berkuasa di periode kedua, kata Despan, Jokowi mulai meletakkan dasar-dasar “otokratisme”—gaya pemimpin yang punya kendali penuh atas keputusan, aturan, dan arahan.
“Mulai dari pelemahan KPK, pelemahan Mahkamah Konstitusi, merekayasa hukum untuk kepentingan politik, dan seterusnya. Dan itu yang dilanjutkan oleh Prabowo. Jenderalnya sudah disiapkan oleh Jokowi, dan Prabowo melanjutkannya,” kritiknya.
‘Arah balik demokrasi’
Dalam diskusi merespons setahun pemerintahan Prabowo-Gibran, Despan mengatakan PSAD menyoroti makin dominan peran militer pada jabatan publik. Hal yang ia sebut mencederai semangat Reformasi.
Misalnya, pengerahan militer pada program pemerintah seperti Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Makan Bergizi Gratis (MBG).
“Karena kita itu bukan cuman enggak demokrasi, tapi juga sudah justru militerismenya semakin menguat. Jadi bukan cuma demokrasi yang menurun, tapi arah balik,” tegas Despan.
Ia juga mengkritik proses pendidikan ala militer bagi jajaran menteri Kabinet Merah Putih melalui “retreat”. “Ini kan jabatan sipil, kenapa kok harus melalui proses-proses yang sangat militeristik, bahkan diadakan, diselenggarakan oleh militer di tempat pendidikan militer,” tanyanya retoris.
Dalam kesempatan lain, Presiden Prabowo membantah pembekalan ini bersifat militer.
“Saya tidak bermaksud membuat Anda militeristik, salah, bukan itu. The military way ditiru oleh banyak pemerintah terutama perusahaan-perusahaan. Inti dari semua adalah disiplin,” jelas Presiden Prabowo.
“Kedua, kesetiaan benar-benar minta saudara tidak setia kepada Prabowo, setia kepada bangsa dan negara Indonesia,” imbuhnya.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Hurriyah, mengatakan penurunan signifikan demokrasi sudah terjadi sejak periode kedua pemerintahan Jokowi.
Hurriyah menyoroti proses pilpres yang diawali dengan pencalonan Prabowo-Gibran. “Ada manipulasi konstitusi di situ,” tegasnya.
“Ini semua menurut saya adalah rangkaian, siklus penurunan demokrasi yang terus berlanjut dan semakin parah,” lanjutnya.
Hal lain yang sudah diletakkan pemerintahan Jokowi dan dilanjutkan Prabowo adalah “konsolidasi elite”. Koalisi partai politik yang dominan telah melemahkan sistem check and balances di DPR.
“Maka semua kritik publik, termasuk yang terbaru peristiwa 17+8, itu kan hanya dianggap gangguan. Gangguan antek asing. Semua yang mengkritik pemerintah dianggap tidak nasionalis, anti kepada pembangunan, anti kepada pemerintah,” kata Hurriyah.
“Kalau semua kritik, semua masukan didelegitimasi oleh pemerintah… itu sinyal yang sangat buruk buat demokrasi kita,” pungkasnya.
‘Demokrasi santun’
Setahun yang lalu, dalam pidato pelantikannya, Presiden Prabowo menyampaikan pandangannya terhadap demokrasi di Indonesia.
“Demokrasi kita harus demokrasi yang santun, demokrasi di mana berbeda pendapat harus tanpa permusuhan. Demokrasi di mana mengoreksi harus tanpa caci maki, bertarung tanpa membenci, bertanding tanpa berbuat curang,” kata Prabowo.
“Demokrasi kita harus demokrasi yang menghindari kekerasan, yang menghindari adu domba, yang menghindari hasut-menghasut. Demokrasi kita harus demokrasi yang sejuk, demokrasi yang damai, demokrasi yang menghindari kemunafikan,” lanjutnya usai dilantik menjadi presiden di Gedung DPR, Jakarta, 20 Oktober 2024 silam.
Tapi menurut Hurriyah, “demonstrasi santun” merupakan mitos yang diciptakan pemimpin-pemimpin otoriter untuk membungkam publik.
“Demokrasi itu bukan soal sopan santun, tetapi demokrasi adalah soal keadilan, soal partisipasi, soal kontrol terhadap kekuasaan,” tegasnya sambil menyandingkan Aksi Kamisan yang rutin dilakukan tanpa memobilisasi massa. “Kurang santun apa coba.. setiap minggu mereka cuma berdiri di depan Istana, kan tetap saja enggak direspons,” imbuhnya.
Ia melanjutkan, kalau pemerintah sudah diberi mandat lewat APBN untuk mengelola negara, sudah semestinya masyarakat mengambil bagian sebagai pengontrol.
“Protes itu kenapa dia muncul? Karena dia lahir dari ketidakadilan yang sistemik. Ketika ketidakadilan sistemik itu dibungkus dengan kesantunan, kan jadi repot,” tandasnya.
Menteri HAM: ‘Indonesia surplus demokrasi’
Menteri HAM, Natalius Pigai merespons kritik soal demokrasi yang disebut mengalami penurunan. Dia membuat klaim saat ini Indonesia justru mengalami apa yang ia sebut “surplus demokrasi”, bukan kemunduran.
“Tidak ada satu keputusan pemerintah atau peraturan yang membatasi demokrasi di Indonesia, apakah pembatasan terhadap media manapun, juga pembatasan terhadap penyampaian pendapat, pikiran, dan perasaan, kebebasan berorganisasi maupun kebebasan berpendapat,” kata Pigai.
Masyarakat dinilai bebas menyampaikan pendapat melalui DPR, demonstrasi, maupun media sosial. Dan, setahun terakhir tidak ada pejabat pemerintah yang memenjarakan warganya karena mengutarakan pendapat sebagaimana kasus Haris Azhar dan Fatiah.
“Hari ini tidak ada pejabat negara yang memenjarakan masyarakat,” kata Menteri Natalius Pigai.
Namun, dalam setahun terakhir ada upaya dari institusi TNI untuk menjerat pesohor media sosial, Ferry Irwandi dengan pencemaran nama baik. Langkah hukum ini gagal lantaran putusan MK mengecualikan laporan pencemaran nama baik hanya dibatasi pada individu perseorangan yang merasa dirugikan. Laporan ini tidak mencakup lembaga pemerintah, korporasi, profesi, atau jabatan.
Ketentuan yang dimuat dalam Pasal 27A UU ITE ini sebelumnya digugat ke MK oleh aktivis lingkungan yang pernah dijerat dengan pasal pencemaran nama baik.
Menteri Natalius Pigai juga merespons gelombang aksi akhir Agustus-September lalu. Menurutnya, aksi tersebut sudah dibajak oleh kelompok tertentu, bukan murni aksi damai. Tapi ia tak bisa memberikan buktinya.
Tapi kata dia, “tidak semua aktivis yang ditahan itu adalah melakukan tindakan bertentangan hukum”.
“Kami sebagai pemerintah Itu mengharapkan mereka yang menyampaikan pendapat, pikiran dan perasaan itu tidak harus ditahan, harus dilepaskan, dicari restorative justice,” tambah Pigai.
Ia juga menegaskan, pemerintah tak bisa ikut campur terhadap proses hukum yang berjalan terhadap penahanan aktivis dan hampir 1.000 orang yang ditahan polisi. “Karena demonstrasi kemarin Itu adalah ranah kepolisian, wilayah yudikatif,” katanya.
Selain itu Natalius Pigai menyebut skor indeks demokrasi yang dikeluarkan lembaga internasional sebagai “tidak adil dan bias politik”. Sementara dominasi militer di ranah sipil yang diatur dalam UU TNI terbaru, ia sebut justru memperjelas batas posisi militer.
Bagaimana kemungkinan nasib demokrasi ke depannya?
Pasca-demonstrasi yang berujung ricuh Agustus silam, Presiden Prabowo berencana membentuk Komite Reformasi Kepolisian sejak 17 September. Kata Menteri HAM, Natalius Pigai, komite ini diharapkan membenahi korps Bhayangkara sebagai sumber keadilan.
“Yang dilakukan oleh presiden sekarang ini adalah memberi harapan akan adanya keadilan untuk masa yang akan datang,” katanya.
Uniknya, sebelum komite arahan presiden ini dibentuk, Kapolri Listyo Sigit Prabowo sudah mendahului membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri di internal institusinya.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP) menyebut wacana reformasi polisi sebagai “omong kosong”. Dalam perkembangan terbaru, polisi justru menambah kewenangannya sendiri melalui Peraturan Kapolri No. 04/2025.
Menurut catatan RFP yang terdiri dari belasan organisasi sipil, aturan ini memberi kewenangan tambahan buat polisi berupa penangkapan, pemeriksaan, penggeledahan hingga penyitaan tanpa izin pengadilan dengan dalih “pengamanan barang/benda” khususnya terhadap massa aksi demonstrasi.
“Namun konstruksi pengaturan dalam Perkap 4/2025 yang ambigu dalam mengatur kewenangan tersebut membuat penggunaannya dimungkinkan menjadi melebar di luar konteks tertangkap tangan yang sudah diatur dalam KUHAP,” tulis RFP. “Peraturan ini sewenang-wenang dan bertabrakan dengan prinsip perlindungan hak atas proses hukum yang adil dan prosedural.”
Dalam kesempatan lain, Kapolri Listyo Sigit menyatakan akan melibatkan koalisi masyarakat sipil dalam upaya akselerasi transformasi dan reformasi di tubuh Polri. Keterlibatan ini diharapkan memperkaya masukan dan memperkuat arah pembenahan institusi kepolisian.
Reformasi kepolisian menjadi satu dari banyak aspek lain yang menentukan arah demokrasi ke depan. Pemerintahan Prabowo-Gibran masih punya empat tahun ke depan yang menjadi tantangan menjaga iklim demokrasi.
Jika penanganan aksi unjuk rasa masih dengan kekerasan, kebijakan jauh dari partisipasi masyarakat, negara tanpa check and balances, sampai perluasan militer di ranah sipil, “ya ini kita sudah kayak menuju jalan kematian demokrasi,” kata Hurriyah dari Puskapol UI.
Narasumber lain yang berbicara dengan kami, banyak yang berharap konsolidasi masyarakat sipil semakin kuat ke depannya, untuk mengawasi kinerja institusi negara, terutama ketika ada indikasi-indikasi melemahnya fungsi ideal elemen-elemen negara, kata peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aisah Putri Budiarti.
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, memiliki keyakinan bahwa tingginya tindakan pengekangan atau penindasan yang dilakukan oleh pemerintah justru akan memicu penguatan perlawanan dari gerakan masyarakat sipil.
“Jadi perlawanannya tumbuh. Bukan hanya mahasiswa yang biasanya jadi andalan utama, tapi juga warga biasa, bahkan pelajar. Bahkan lebih jauh lagi, kelas menengah yang dianggap tidak peduli, justru mulai mengambil langkah-langkah yang bersifat perlawanan atau protes,” katanya.
Sementara itu, Despan Heryansyah dari Universitas Islam Indonesia (UII), melihat masih ada harapan meningkatkan kualitas demokrasi ke depan. Asalkan, pemerintah “mencoba untuk membuka telinga”, mendengarkan lebih banyak dari teman-teman masyarakat sipil, dari teman-teman akademisi tentang situasi republik dan apa yang sebaiknya pemerintah lakukan, katanya.
Sorotan peristiwa terkait demokrasi setahun Prabowo-Gibran
Berikut rangkuman peristiwa yang berkaitan dengan isu demokrasi, dimulai sejak proses pencalonan Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024.
Prabowo sudah empat kali kalah dalam pilpres. Ia memperoleh suara terbanyak pada Pilpres 2024, salah satunya karena dukungan dari pimpinan partai politik yang dekat dengan Presiden Jokowi.
Sementara itu, posisi Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia (RI-2), yang merupakan putra sulung Joko Widodo, juga menarik perhatian publik. Pencalonannya menjadi sah setelah adanya keputusan kontroversial dari Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) kala itu, Anwar Usman—yang juga merupakan paman Gibran, terkait perubahan batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden.
Anwar Usman diberhentikan Majelis Kehormatan MK (MKMK) sebagai ketua karena tuduhan pelanggaran kode etik. Tapi Usman menggugat keputusan ini ke PTUN Jakarta. PTUN Jakarta kemudian memerintahkan agar nama baik Anwar Usman dipulihkan melalui putusan Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT.
November 2023, KPU menetapkan nomor urut pasangan capres-cawapres. Prabowo dan Gibran mendapatkan nomor urut dua.
Dalam proses jelang pemilu, terdapat deklarasi dukungan organisasi kepala desa terhadap pasangan Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahfud. Presiden Jokowi dalam bulan-bulan jelang pilpres mengguyur bansos yang nilainya lebih tinggi ketimbang pada masa pandemi.
14 Februari 2024, Pilpres yang kemudian dimenangkan pasangan Prabowo-Gibran.
Agustus 2024
* Terjadi gelombang aksi penolakan revisi UU Pilkada yang akan mengubah keputusan MK, di antaranya terkait batas usia calon kepala daerah.
* Sejumlah kalangan mengaitkan dengan rencana Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi bakal maju menjadi kepala daerah, tapi usianya belum cukup. Karena aksi unjuk rasa meluas, DPR kemudian membatalkan revisi UU Pilkada.
20 Oktober 2024, Prabowo-Gibran dilantik jadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2024-2029. Salah satu poin pidatonya, Prabowo berkata, “Demokrasi kita harus demokrasi yang santun, demokrasi di mana berbeda pendapat harus tanpa permusuhan.”
21 Oktober 2024, Prabowo-Gibran membentuk kabinet tergemuk sejak Orde Baru hingga Reformasi.
November 2024, Koalisi pendukung Prabowo-Gibran memenangkan mayoritas kursi kepala daerah.
Desember 2024, Presiden Prabowo melontarkan sistem pilkada dipilih langsung “terlalu mahal”. Wacana ini menimbulkan pro dan kontra tentang kemungkinan pilkada dipilih melalui DPRD.
Januari 2025
* 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran diwarnai catatan kritis, termasuk laporan dari YLBHI bertajuk: Melangkah mundur untuk menghancurkan demokrasi. Sorotan lembaga ini lain mobilisasi militer dalam program MBG dan PSN.
* Di sisi lain pemerintah membeberkan program-program yang telah dijalankan. Misalnya penghapusan utang UMKM, pilkada serentak, peningkatan kesejahteraan guru, kenaikan upah minimum, serta penghentian impor beras.
Februari 2025, Demonstrasi ‘Indonesia Gelap’ di sejumlah wilayah merespons pelbagai kebijakan Prabowo-Gibran, seperti isu transparansi. Presiden menyebut aksi ini sebagai “koruptor-koruptor itu yang biayai demo-demo itu, Indonesia gelap.”
Maret 2025
* Aktivis KontraS menggeruduk rapat tertutup DPR yang membahas revisi UU TNI di sebuah hotel di Jakarta.
* DPR mengesahkan revisi UU TNI. Revisi ini mengatur perluasan militer aktif menduduki jabatan sipil. Pertengahan September 2025, MK menolak gugatan UU TNI yang diajukan kelompok masyarakat sipil.
Agustus 2025
* Presiden Prabowo resmi menambah enam komando daerah militer (kodam) baru.
* Unjuk rasa di Pati, Jawa Tengah berujung ricuh buntut kebijakan pusat memotong transfer dana ke daerah.
* Dalam situasi lainnya, terjadi aksi unjuk rasa menolak kenaikan tunjangan anggota DPR. Unjuk rasa semakin luas setelah rantis Brimob Polri melindas pengemudi ojol, Affan Kurniawan.
September 2025
* Polisi memburu aktivis dan menangkap ratusan demonstran yang dikaitkan dengan aksi akhir Agustus. Kasusnya masih berjalan sampai hari ini.
* Prabowo berencana mereformasi kepolisian.