Bank Indonesia (BI) menyuarakan kewaspadaan serius terhadap potensi dampak rambatan dari isu government shutdown Amerika Serikat (AS) yang dapat mengguncang perekonomian Indonesia. Kekhawatiran ini muncul seiring ketidakpastian global yang semakin meninggi.
Menurut Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juli Budi Winantya, potensi shutdown AS ini berpotensi memicu lonjakan ketidakpastian global. Juli menjelaskan bahwa jika penutupan pemerintahan benar-benar terjadi, dampaknya bisa meluas mulai dari pembengkakan defisit fiskal yang lebih besar, memengaruhi ekspektasi yield, hingga peningkatan tingkat pengangguran dan pergeseran persepsi pasar secara signifikan. Implikasi ini disampaikan Juli dalam acara Pelatihan Wartawan BI di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, pada Jumat (24/10/2025).
Kondisi pengangguran yang memburuk dan gejolak pasar yang tak menentu ini pada akhirnya dapat mendorong Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), untuk mengubah arah kebijakan suku bunga acuan mereka atau Fed Funds Rate.
Gelombang dampak tersebut diprediksi akan menular secara signifikan ke pasar keuangan global, tak terkecuali Indonesia. Transmisi ini dapat terjadi melalui fluktuasi kurs mata uang dan berbagai instrumen keuangan lainnya. Dengan demikian, ketidakpastian yang muncul tidak hanya berasal dari kondisi fiskal AS semata, melainkan juga dari respons kebijakan moneter yang diambil oleh The Fed.
Shutdown AS yang tengah berlangsung ini berakar pada kegagalan Kongres AS untuk meloloskan Rancangan Undang-Undang Pengeluaran baru pada tanggal 1 Oktober. Kebuntuan politik ini secara otomatis memaksa penghentian sejumlah operasi pemerintahan federal yang dianggap tidak esensial. Pada momen sebelumnya, bahkan Presiden AS kala itu, Donald Trump, sempat melontarkan ancaman pemutusan hubungan kerja massal di sektor federal untuk memanfaatkan situasi tersebut.
Penyebab utama kebuntuan anggaran ini, seperti dilaporkan Al Jazeera, adalah perbedaan pandangan fundamental antara Partai Demokrat dan Partai Republik. Partai Demokrat gigih mempertahankan pendanaan untuk layanan kesehatan, bantuan sosial, dan kerja sama internasional, sedangkan Partai Republik bersikeras mendesak pemangkasan anggaran secara besar-besaran. Konflik anggaran semacam ini bukanlah hal baru; fenomena government shutdown telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika politik Amerika Serikat sejak tahun 1976.
Sejarah menunjukkan bahwa sistem penganggaran federal AS sejak 1976 telah berulang kali memicu fenomena government shutdown. Tercatat ada 20 kali kesenjangan pendanaan yang mengakibatkan 10 kali penutupan pemerintahan secara penuh. Pada mulanya, sebelum tahun 1980-an, kegagalan Kongres dalam menyetujui RUU Pengeluaran atau resolusi sementara tidak serta-merta menghentikan operasional pemerintah, karena diasumsikan pendanaan akan segera disetujui.
Namun, setelah Jaksa Agung Benjamin Civiletti pada tahun 1980 mengeluarkan pendapat hukum yang melarang pengeluaran tanpa persetujuan Kongres AS, kebijakan ini berubah drastis. Sejak saat itu, selama periode penutupan pemerintahan, hanya layanan-layayanan esensial seperti keamanan nasional, kontrol lalu lintas udara, dan penegakan hukum yang diperbolehkan untuk terus beroperasi, sementara sebagian besar fungsi pemerintahan lainnya terhenti.



