Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, I Ketut Darpawan, dengan tegas menyatakan tidak akan menolerir intervensi pihak mana pun dalam perkara praperadilan yang diajukan oleh mantan Mendikbudristek, Nadiem Makarim. Penegasan ini disampaikan Ketut saat memimpin sidang perdana praperadilan Nadiem melawan Kejaksaan Agung (Kejagung), yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Jumat (3/10). Gugatan tersebut dilayangkan Nadiem menyusul penetapan status tersangkanya oleh Kejagung yang dinilai tidak sah dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook. Ketua sidang itu menekankan, “Sebelum kita lanjutkan, ada yang ingin saya sampaikan, saya akan memeriksa perkara ini, tidak pernah mengizinkan siapa pun untuk berkomunikasi kepada para pihak, entah itu untuk mengabulkan atau menolak perkara ini, atau memberikan keistimewaan-keistimewaan.”
Sebelumnya, gugatan praperadilan ini secara resmi didaftarkan oleh Nadiem melalui tim penasihat hukumnya, Hana Pertiwi, di PN Jakarta Selatan pada Selasa (23/9). Menurut Hana, penetapan status tersangka terhadap kliennya cacat hukum lantaran tidak memenuhi dua alat bukti permulaan yang cukup. Salah satu aspek krusial yang disoroti adalah absennya bukti audit kerugian keuangan negara dari instansi berwenang. Hana menegaskan, “Instansi yang berwenang itu, kan, BPK atau BPKP, dan penahanannya juga otomatis, kan, kalau penetapan tersangka tidak sah, penahanan juga tidak sah.”
Menanggapi gugatan praperadilan ini, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, menyatakan bahwa tindakan tersebut merupakan hak prerogatif Nadiem sebagai tersangka. Polemik hukum ini bermula dari kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook yang menarik perhatian publik.
Kronologi kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook ini dimulai pada Februari 2020. Pada saat itu, Nadiem Makarim, yang masih menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), melakukan pertemuan dengan perwakilan Google Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, topik pembahasan berpusat pada produk Google, yaitu laptop Chromebook, yang direncanakan untuk digunakan di lingkungan kementerian yang ia pimpin. Ironisnya, dalam pertemuan itu, disepakati bahwa Chrome OS dan Chrome Device (laptop Chromebook) akan dijadikan proyek pengadaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di Kemendikbudristek, padahal proses pengadaan alat TIK ini belum secara resmi dimulai.
Selanjutnya, pada tahun yang sama, Nadiem selaku menteri menjawab surat dari Google Indonesia terkait partisipasi dalam pengadaan alat TIK di Kemendikbudristek. Hal ini berbeda dengan respons Muhadjir Effendy, Mendikbud sebelum Nadiem, yang tidak merespons surat serupa. Alasannya, uji coba pengadaan Chromebook pada tahun 2019 telah gagal dan dianggap tidak layak digunakan oleh sekolah-sekolah di wilayah terluar atau 3T.
Akibat dugaan penyimpangan ini, kerugian negara dalam kasus pengadaan laptop Chromebook ditaksir mencapai angka fantastis, yaitu Rp 1,98 triliun. Angka tersebut diperoleh dari selisih perhitungan harga pengadaan laptop, yang merujuk pada dua komponen utama yang dinilai Kejagung sebagai kerugian negara:
-
Item Software (CDM) senilai Rp 480.000.000.000; dan
-
Mark-up laptop di luar CDM senilai Rp 1.500.000.000.000.
Hingga kini, Kejagung belum merinci secara detail perbandingan antara harga wajar dengan harga pembelian per unit laptop beserta perangkat lunak dan komponen lainnya oleh pihak Kemendikbudristek kala itu.
Terkait penetapannya sebagai tersangka, Nadiem Makarim dengan tegas membantah melakukan perbuatan sebagaimana yang dituduhkan oleh Kejaksaan Agung. Ia menyatakan keyakinan bahwa Tuhan akan melindunginya, seraya menegaskan bahwa dirinya senantiasa memegang teguh integritas dan kejujuran sepanjang hidupnya.