Skandal Keracunan MBG: Surat Perjanjian Tutupi Kebenaran Bocor!

Posted on

caristyle.co.id Sebuah polemik sengit mencuat seputar pelaksanaan program Makanan Bergizi Gratis (MBG), program unggulan pemerintah Prabowo–Gibran. Narasi yang beredar menyebutkan adanya upaya penutupan informasi jika terjadi kasus keracunan makanan dalam program ini, bahkan dikuatkan dengan sebuah surat perjanjian yang kontroversial. Menanggapi isu sensitif tersebut, Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Nanik S. Deyang, segera menyampaikan klarifikasi resminya.

Program MBG sendiri dirancang dengan tujuan mulia: menyediakan makanan sehat setiap hari bagi anak sekolah, santri, balita, dan ibu hamil. Inisiatif ini digulirkan sebagai langkah strategis untuk mencegah stunting dan secara fundamental meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia.

Inti permasalahan ini berpusat pada sebuah surat perjanjian yang pertama kali ditemukan di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Surat ini sontak memicu polemik setelah dibongkar oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Blora. DPRD Blora secara tegas mempertanyakan validitas dan isi perjanjian kerja sama yang dibuat antara Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dengan pihak penerima manfaat MBG. Kabar serupa juga datang dari Sleman, di mana sebuah dokumen perjanjian serupa beredar, bahkan mencantumkan kop resmi Badan Gizi Nasional (BGN) dan bertanggal 10 September 2025.

Surat perjanjian, yang dalam foto-foto viral terlihat dibubuhi meterai dan stempel instansi pendidikan, memuat sembilan poin penting. Namun, poin ketujuh-lah yang paling banyak disorot. Poin tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa apabila terjadi kejadian luar biasa atau force majeure—seperti kasus keracunan, ketidaklengkapan paket makanan, atau kondisi lain yang berpotensi mengganggu program—pihak penerima manfaat diwajibkan untuk menjaga kerahasiaan informasi. Komitmen kerahasiaan ini berlaku hingga pihak pertama (SPPG) menemukan solusi terbaik untuk permasalahan yang ada. Mendengar temuan ini, Nanik S. Deyang segera berkoordinasi dengan Wakil Kepala BGN, Brigjen Pol Sony Sanjaya, untuk menindaklanjuti dan memeriksa kebenaran surat tersebut di seluruh Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia.

Menanggapi kabar yang meresahkan ini, Nanik S. Deyang, Wakil Kepala BGN, dengan tegas membantah keberadaan poin kerahasiaan tersebut. “Ternyata poin itu tidak ada, tulis yang besar, tidak ada (poin rahasiakan keracunan),” ujarnya kepada Kompas.com, Minggu (21/9/2025). Ia menekankan bahwa poin yang ada dalam perjanjian resmi BGN hanya sebatas koordinasi untuk distribusi dan pengawasan peralatan program MBG. Nanik secara gamblang menyatakan, “Surat itu enggak ada. Surat, poin, apalagi menutupi, enggak ada.”

Lebih lanjut, Nanik menegaskan bahwa BGN tidak pernah mengeluarkan surat perjanjian dengan poin yang mewajibkan penerima manfaat untuk merahasiakan informasi insiden keracunan. Ia justru menggarisbawahi komitmen BGN terhadap transparansi penuh. “Kita terbuka, masa keracunan enggak boleh diberitakan? Boleh dong. Kan kalau ditutup-tutupi, kalau ada masalah bagaimana? Boleh (lapor), terbuka. Kita akan terbuka, transparan,” tegasnya. Pesan ini diperkuat dengan imbauan kepada seluruh penerima manfaat untuk segera menghubungi SPPG daerah masing-masing jika menemukan kasus keracunan. “Maksudnya biar kita bantu untuk mengambil tindakan ke puskesmas, ke rumah sakit, semua ditanggung negara. Tapi kalau enggak menghubungi SPPG, SPPG enggak tahu,” jelas Nanik, menyoroti pentingnya pelaporan untuk penanganan cepat dan tepat.

Poin-Poin Janggal dan Kritikan Tajam dari DPRD Blora

Sorotan terhadap surat perjanjian MBG ini semakin tajam setelah tangkapan layarnya viral di media sosial. Beberapa poin dalam dokumen tersebut dinilai sangat janggal, terutama desakan untuk merahasiakan insiden keracunan. Ketua Komisi D DPRD Blora, Subroto, melayangkan kritik pedas terhadap dua poin utama yang memicu polemik, yaitu poin 5 dan 7.

Poin 5 mewajibkan pihak penerima manfaat (sekolah) untuk mengganti atau membayar sebesar Rp80.000,- per paket tempat makan (tutup dan tray) jika terjadi kerusakan atau kehilangan. Subroto menilai ketentuan ini sangat tidak wajar dan memberatkan sekolah. “Misal, ada sendok yang hilang atau peralatan yang hilang itu dendanya sampai Rp80 ribu,” jelas Subroto saat rapat audiensi di Kantor DPRD Blora, Kamis (18/9/2025). Ia menambahkan, bagaimana pihak sekolah dapat mengurus anak-anak sebanyak itu sekaligus menanggung denda yang fantastis hanya karena kehilangan sebuah ompreng—wadah makan khas MBG yang dirancang praktis, higienis, dan ramah lingkungan—atau bahkan hanya sendoknya saja?

Sementara itu, Poin 7 menjadi pusat kontroversi karena meminta pihak sekolah merahasiakan kejadian luar biasa, termasuk keracunan, makanan basi, atau makanan yang tidak layak konsumsi, serta melarang pengunggahan informasi tersebut di media sosial. Pihak sekolah hanya diminta untuk membicarakan masalah ini secara kekeluargaan dengan SPPG. Subroto mempertanyakan, “Terus kemudian yang bicara itu harus siapa?” Ia menyoroti ketiadaan pengawasan di tingkat SPPG, yang seolah-olah bertanggung jawab langsung kepada BGN pusat, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan minimnya akuntabilitas dan ruang pelaporan yang efektif.

Kritik Subroto tidak berhenti di situ. Ia juga menyoroti adanya tugas tambahan yang dibebankan kepada para guru di sekolah. Guru-guru diinstruksikan untuk membersihkan alat makan (ompreng) siswa dan mengimbau mereka membawa kotak bekal agar sisa makanan MBG yang tidak habis bisa dibawa pulang. Menurut Subroto, kondisi ini menimbulkan kesan bahwa pihak SPPG hanya ingin beres tanpa peduli prosesnya. “Makanya ketika SPPG berdalih bahwa ‘oh makanan selalu habis’ ya habis memang karena dibersihkan oleh guru-guru kelas masing-masing, yang kedua anak-anak diperintahkan oleh wali murid atau guru untuk membawa tempat bekal, untuk membawa sisa-sisa makanan tersebut,” paparnya. Hal ini, lanjut Subroto, membuat pihak SPPG seolah-olah “tidak punya dosa” karena makanan selalu habis dan ompreng bersih, padahal ada beban kerja tambahan yang ditanggung guru dan siswa.

Tanggapan Pihak SPPG: Pengakuan dan Klaim Perbaikan

Menyusul rapat audiensi yang memanas, Koordinator SPPG Blora, Artika Diannita, akhirnya mengakui keberadaan poin-poin kontroversial dalam surat perjanjian kerja sama tersebut. Namun, ia buru-buru mengklarifikasi bahwa isi surat perjanjian itu telah mengalami perbaikan atau revisi. “Ya, memang dulu awalnya poinnya seperti itu, tapi sekarang sudah ada perbaikan atau revisi dari isi perjanjian sesuai dengan juknis yang terbaru juga,” terang Artika kepada Kompas.com pada Kamis.

Artika juga berupaya meluruskan maksud dari poin kerahasiaan terkait kejadian luar biasa dalam program MBG. Menurutnya, tujuan poin tersebut “sebetulnya bukan merahasiakan, tapi kita lapor ke SPPG, lalu SPPG ibaratnya langsung ke pelayanan kesehatan. Ya, kita langsung selesaikan secara internal, salah satunya dengan membawanya ke pelayanan kesehatan,” jelasnya. Ini mengindikasikan bahwa proses penanganan insiden diharapkan dilakukan melalui jalur internal yang terkoordinasi, bukan untuk menutup-nutupi informasi.

Dinas Pendidikan Blora: Mengaku Tidak Tahu Perjanjian SPPG dan Sekolah

Di sisi lain, Sekretaris Dinas Pendidikan (Dindik) Blora, Nuril Huda, secara mengejutkan mengaku tidak mengetahui perihal adanya surat perjanjian kerja sama antara SPPG dengan pihak sekolah penerima manfaat MBG. “Terkait perjanjian itu kan langsung dengan satuan penerima manfaat. Itu kita belum tahu itu,” ujar Nuril usai rapat audiensi, Kamis.

Nuril menjelaskan bahwa peran Dindik Blora dalam program MBG terbatas pada dukungan data melalui Dapodik serta memastikan anak-anak penerima manfaat menjalankan praktik kebaikan sebelum makan, seperti mencuci tangan dan berdoa. Ia menegaskan, pihaknya tidak terlibat dalam pengawasan langsung program MBG. “Enggak mengawasi kita,” ucapnya.

Ketidaktahuan Dindik Blora mengenai perjanjian ini menimbulkan pertanyaan lebih lanjut, mengingat implikasi serius yang terkandung di dalamnya bagi sekolah dan guru. Nuril berjanji akan berkoordinasi dengan kepala sekolah terkait hal ini, namun ia kembali menekankan bahwa perjanjian tersebut adalah kesepakatan langsung antara SPPG dan pihak sekolah, tanpa melalui Dinas Pendidikan. “Fungsi kita, supporting data memastikan data anak-anak kita di Dapodik, yang kedua tadi. Kalau terkait perjanjian, itu langsung dengan penerima manfaat,” pungkas Nuril, mengakhiri pernyataannya yang memperlihatkan adanya celah koordinasi di tingkat daerah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *