Gelombang panas terik yang menyelimuti Surabaya dalam beberapa hari terakhir tidak hanya membebani fisik, namun juga menggoyahkan kestabilan emosi warga. Suhu udara di Kota Pahlawan yang melonjak hingga 37 derajat Celsius ini disinyalir menjadi pemicu utama peningkatan stres dan penurunan produktivitas masyarakat secara signifikan.
Fenomena yang mengkhawatirkan ini dijelaskan secara mendalam oleh Marini, S.Psi., M.Psi., Psikolog, seorang Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya). Menurutnya, suhu tinggi memiliki korelasi yang sangat kuat dengan peningkatan tingkat stres dan agresivitas. “Banyak penelitian menunjukkan bahwa ketika suhu udara naik, tingkat agresivitas manusia ikut meningkat. Di jalan raya orang lebih cepat membunyikan klakson, di rumah percakapan kecil bisa berubah jadi perdebatan, dan di tempat kerja suasana cepat memanas bukan karena masalah besar, tapi karena tubuh dan pikiran sedang lelah menghadapi tekanan cuaca yang tak terlihat,” ungkap Marini, seperti dikutip Basra, Jumat (17/10).
Marini menambahkan, panas ekstrem memaksa energi manusia terbagi dua: sebagian besar untuk berpikir, dan sebagian lainnya untuk bertahan dari suhu yang membakar. Dampaknya jelas, produktivitas merosot, kesabaran menipis, dan toleransi berkurang drastis. “Otak bekerja lebih lambat karena sibuk mengatur suhu tubuh, bukan mengolah emosi. Maka jangan heran kalau pada hari-hari panas, banyak orang merasa ‘tidak seperti dirinya sendiri’,” jelasnya, menekankan efek cuaca pada kondisi mental.
Tidak hanya menguras energi saat beraktivitas, cuaca panas juga merusak kualitas tidur malam hari. Tidur yang seharusnya menjadi fase pemulihan krusial justru terganggu; tubuh terus berkeringat dan otak tetap aktif. Marini menjelaskan lebih lanjut, “Tidur yang dangkal membuat seseorang lebih mudah marah, cemas, dan kehilangan motivasi keesokan harinya.” Hal ini menciptakan siklus negatif di mana kelelahan fisik dan mental saling memperburuk.
Dalam ranah psikologi, kemampuan seseorang beradaptasi terhadap tekanan lingkungan dikenal dengan istilah coping. Marini menggarisbawahi bahwa coping di tengah suhu ekstrem bukanlah sekadar kemampuan teknis, melainkan juga bentuk latihan kesadaran diri yang mendalam. “Kita tidak bisa mengendalikan suhu udara, tetapi kita bisa mengendalikan cara kita meresponsnya,” tegasnya.
Untuk meredakan gejolak emosi akibat panas, Marini menyarankan sejumlah langkah sederhana. Masyarakat diajak untuk memperbanyak istirahat, membatasi paparan panas langsung, menjaga pola makan sehat, dan yang tak kalah penting, memberi waktu bagi diri sendiri untuk sejenak “diam.” “Kadang, diam sebentar di bawah kipas sambil menarik napas panjang jauh lebih menyembuhkan daripada terus berlari di tengah panas dunia yang riuh,” tuturnya, memberikan perspektif tentang pentingnya jeda dan refleksi diri.
Sebagai penutup, Marini mengingatkan tentang urgensi membangun “kesejukan sosial”. Di tengah suhu kota yang terus meningkat, empati dan kebaikan menjadi penawar ampuh untuk meredakan ketegangan. “Kota yang panas bisa membuat warganya tegang. Maka tugas kita bukan hanya mencari ruang ber-AC, tapi juga menciptakan kesejukan lewat empati, sapaan lembut, dan kesabaran kecil yang kita tabur di tengah gerahnya hari,” pungkasnya, mengakhiri dengan pesan yang kuat tentang solidaritas dan kemanusiaan.