Surplus Dagang RI Loyo, Rupiah Tak Beranjak: Ini Biang Keladinya

Posted on

caristyle.co.id JAKARTA. Kepala Divisi Riset Ekonomi PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), Suhindarto, memberikan penjelasan mengenai pelemahan nilai tukar rupiah meskipun neraca perdagangan Indonesia telah surplus selama 62 bulan berturut-turut. Fenomena ini, menurutnya, menunjukkan bahwa surplus neraca perdagangan bukan satu-satunya penentu kekuatan rupiah.

Suhindarto menekankan peran penting neraca transaksi berjalan. “Surplus neraca dagang tidak otomatis membuat rupiah menguat. Tekanan terhadap rupiah tetap ada jika neraca transaksi berjalan masih defisit,” tegasnya kepada Kontan, Selasa (5/8/2025). Data kuartal I-2025 menunjukkan surplus neraca perdagangan barang sebesar US$ 13,06 miliar dan surplus neraca pendapatan sekunder US$ 1,57 miliar. Namun, defisit neraca jasa (US$ 5,44 miliar) dan defisit neraca pendapatan primer (US$ 9,37 miliar) mengakibatkan defisit neraca transaksi berjalan sebesar US$ 0,18 miliar. Kondisi ini, menurut Suhindarto, berimplikasi langsung pada pelemahan rupiah.

Ia menambahkan, “Neraca transaksi berjalan merupakan indikator yang lebih reliable daripada neraca perdagangan barang untuk memprediksi nilai tukar. Selama transaksi berjalan masih negatif, tekanan terhadap rupiah akan terus berlanjut.”

Dugaan Arus Modal ke Kamboja

Mengenai isu arus modal keluar ke Kamboja yang diduga terkait maraknya judi online, Suhindarto menyatakan perlunya kajian lebih mendalam. “Memang ada arus modal keluar dari Indonesia ke Kamboja, tetapi perlu dipastikan asal usulnya dan keterkaitannya dengan judi online. Validitas dan reliabilitas data perlu diuji agar tidak menghasilkan kesimpulan yang keliru,” jelasnya.

Selain faktor domestik, Suhindarto juga menyoroti faktor eksternal yang memperparah tekanan terhadap rupiah, terutama dari pasar keuangan global. Dalam beberapa pekan terakhir, terjadi arus modal asing keluar dari pasar saham dan surat utang Indonesia. Ia mengidentifikasi tiga faktor utama penyebabnya.

Pertama, ketidakpastian ekonomi global yang tinggi akibat konflik geopolitik dan kebijakan luar negeri AS yang fluktuatif membuat investor cenderung memilih aset yang lebih aman. Kedua, perbedaan suku bunga acuan antara AS dan Indonesia yang semakin menyempit, setelah The Fed mempertahankan suku bunganya dan Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan tiga kali, mendorong capital outflow. Investor asing cenderung menghindari risiko dan mencari imbal hasil yang lebih tinggi.

Ketiga, prospek ekonomi domestik yang diprediksi melemah membuat investor memperkirakan penurunan kinerja perusahaan-perusahaan Indonesia dan menekan profitabilitas. Hal ini memicu capital outflow, terutama dari saham-saham besar (big caps).

Kesimpulannya, berbagai faktor tersebut, baik domestik maupun global, berperan signifikan dalam mempengaruhi arus modal keluar dan melemahnya nilai tukar rupiah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *