Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera): Polemik yang Berujung ke Mahkamah Konstitusi
Bagi sebagian besar pekerja di Indonesia, Undang-Undang Tapera bagaikan “musuh bersama”. Tak heran, kini nasibnya berada di tangan Mahkamah Konstitusi (MK) setelah digugat oleh berbagai pihak yang merasa dirugikan.
Setidaknya ada tiga pihak yang melayangkan gugatan terhadap UU Tapera. Dua gugatan diajukan oleh kelompok buruh, sementara satu gugatan lainnya datang dari seorang pekerja. Mereka mempersoalkan Pasal 7 ayat 1 yang berbunyi: “setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta”.
Para penggugat berpendapat bahwa frasa “wajib” tersebut hanya akan menambah beban finansial pekerja, tanpa adanya jaminan pasti bahwa mereka akan mendapatkan rumah. Lantas, apakah permohonan uji materi ini akan dikabulkan oleh MK?
‘Gaji Pas-pasan, Malah Dipotong Tapera’
Leonardo Olefins Hamonangan, seorang staf legal di Jakarta, baru bekerja kurang dari setahun. Pekerjaan ini ia dapatkan setelah lebih dari setahun berjuang mencari nafkah sebagai pengangguran.
Saat mendengar kabar penerimaannya, hatinya dipenuhi sukacita. Penantian panjangnya akhirnya membuahkan hasil.
Saat ditemui di rumah orang tuanya di Bekasi, Jawa Barat, pemuda 25 tahun ini tampak ceria. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya.
Ia bercerita bahwa sebagian gajinya akan digunakan untuk membantu biaya sekolah kedua adiknya dan memenuhi kebutuhan keluarga.
Namun, kebahagiaan Leo sedikit terusik ketika ia membaca berita tentang Tapera, program pemerintah yang akan diterapkan pada tahun 2027. Program ini mewajibkan pemotongan gaji sebesar 2,5%.
“Saya masih fresh graduate dan baru memulai karier. Tapera ini hanya akan menjadi beban finansial,” keluhnya.
“Sudah dipotong pajak penghasilan, BPJS Kesehatan, potongan lain-lain, sekarang ada Tapera… gaji saya pasti akan berkurang banyak.”
Pada Agustus tahun lalu, Leo bersama temannya, Ricky Donny Lamhot Marpaung, mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat ke Mahkamah Konstitusi.
Pasal yang digugat Leo mencakup Pasal 7 ayat 1, 2, dan 3, yang berbunyi:
(1) “Setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta”
(2) “Pekerja mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang berpenghasilan di bawah upah minimum dapat menjadi peserta”
(3) “Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 2 telah berusia paling rendah 20 tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar”
Baca juga:
* Mengapa Tapera disebut ‘tidak masuk akal’ menyediakan hunian rakyat yang terjangkau?
Sambil menatap layar laptop, Leo menjelaskan mengapa pasal-pasal tersebut dinilai bermasalah dan bertentangan dengan pasal-pasal lainnya dalam UU Tapera.
Pertama, Leo menyoroti frasa “wajib” pada ayat 1 yang dianggap sebagai bentuk pemaksaan kepada setiap warga negara Indonesia.
Menurutnya, pemerintah belum memberikan alasan yang kuat mengapa pekerja wajib menjadi peserta Tapera, sementara tidak ada kepastian mereka akan mendapatkan rumah. Ia menilai Tapera hanya menjadi beban tambahan bagi pekerja.
“Bayangkan seorang pekerja yang gajinya pas-pasan dipotong Tapera, artinya ada beban ekonomi yang harus ditanggung,” jelas Leo.
Baca juga:
* PPN 12% dan sembilan pungutan baru yang akan menguras dompet kelas pekerja pada 2025 – ‘Ini namanya mencetak orang miskin baru’
Selanjutnya, pada ayat 2, frasa “dapat” dianggap tidak sinkron dengan Pasal 9 ayat 2, yang berbunyi:
“Pekerja mandiri sebagaimana dalam Pasal 7 ayat 1 dan 2 harus mendaftarkan dirinya sendiri kepada BP Tapera untuk menjadi peserta”.
Selain itu, ayat 3 dianggap menimbulkan kerancuan atau ketidaktegasan terkait persyaratan kepesertaan Tapera.
Di satu sisi, syarat wajib menjadi peserta adalah berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum, tetapi di sisi lain terdapat syarat lain yang membingungkan: antara berusia 20 tahun atau berstatus sudah menikah.
Menurut Leo, ketentuan terakhir ini dapat menjadi celah bagi sebagian orang untuk menunda atau menghindari Tapera.
“Ini kan rancu jadinya, apakah sudah kawin atau usia 20 tahun baru bisa jadi peserta?” tanyanya.
Masalahnya tidak berhenti di situ.
Ricky Donny Lamhot Marpaung turut menggugat Pasal 72 ayat 1 huruf e dan f, yang berbunyi:
“Peserta, pemberi kerja… yang melanggar ketentuan dalam pasal 7 ayat 1, pasal 9 ayat 1, pasal 12 dan seterusnya… dikenai sanksi administrasi berupa:
a. peringatan tertulis
b. denda administratif
c. memublikasikan ketidakpatuhan pemberi kerja
d. pengenaan bunga simpanan akibat keterlambatan pengembalian
e. pembekuan izin usaha dan/atau
f. pencabutan izin usaha”.
Baca juga:
* Nasib jadi kelas menengah di Indonesia – Banting tulang, makan tabungan, dan penuh kekhawatiran
Ricky, seorang pelaku usaha kecil yang berjualan es teh selama lebih dari dua tahun, merasa bahwa sanksi yang dijatuhkan sangat merugikan.
Keuntungan dari berjualan es teh tidak seberapa, tetapi pemerintah justru ingin “merampasnya” untuk membiayai Tapera.
“Sebagai pelaku usaha kecil, ini menjadi masalah bagi saya. Jika tidak mendaftar menjadi peserta Tapera dan tidak membayar iuran, usaha saya bisa berhenti,” keluh Ricky.
Saat ditemui di rumahnya di Tebet, Jakarta Selatan, pada akhir November lalu, Ricky baru saja pulang berjualan.
Bajunya basah oleh keringat.
Pemuda 32 tahun itu bercerita bahwa dagangannya laris hari itu, hingga sore ia berhasil menjual 50 gelas.
“Tapi kalau lagi laris banget bisa sampai 70 cup… ya, bisnis kecil begini tidak pasti,” ucap Ricky sambil mengusap dahinya.
Dari hasil berjualan, Ricky bisa mengantongi antara Rp2 juta hingga Rp3 juta per bulan. Namun, jumlah tersebut belum dipotong untuk membeli bahan baku dan keperluan lainnya sebesar Rp500.000.
Jika dihitung, omzet bersih yang didapatkannya rata-rata Rp1,5 juta hingga Rp2 juta per bulan.
Apalagi, di sekitar tempatnya berjualan, terdapat tiga pedagang es teh lainnya yang menjadi pesaingnya.
“Belum lagi konsumen biasanya akan lebih memilih membeli makanan daripada minuman… minuman juga banyak pilihan.”
Ricky dibantu adiknya berjualan dari Senin hingga Sabtu, mulai pukul 1 siang hingga 9 malam. Ia pernah mengalami nasib kurang baik, di mana es tehnya hanya laku 20-30 gelas.
Satu gelas es teh dijual seharga Rp5.000.
“Kalau lagi apes, dapat Rp150.000 sampai Rp200.000 sehari,” ucapnya dengan nada malu.
Baca juga:
* Deflasi lima bulan berturut-turut, tanda ‘masyarakat kelas pekerja sudah tidak punya uang lagi untuk berbelanja’
Ia merasa beruntung karena berjualan di dekat minimarket dan tidak dikenakan pungutan liar. Karena itu, ia betah berdagang di sana.
Namun, sejak adanya Tapera, pikirannya menjadi tidak tenang. Bayangan gerobaknya akan disita oleh pemerintah terus menghantuinya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah tentang Tapera, pelaku usaha seperti Ricky wajib membayar penuh iuran peserta sebesar 3%.
“Saya merasa seperti dipaksa, tidak ada alternatif. Ikut harus bayar, tidak ikut kena sanksi,” keluhnya.
“Potongan 3% itu besar buat saya yang belum mendapat pekerjaan tetap.”
Mengapa Mayoritas Pekerja Menolak Tapera?
Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono, menyatakan bahwa keluhan, keberatan, bahkan penolakan dari para pekerja dan pelaku usaha kecil seperti Leo dan Ricky adalah hal yang wajar.
Sebab, para pekerja dan pengusaha sudah dibebani dengan berbagai potongan untuk berbagai alasan.
Mulai dari potongan PPh 21, iuran jaminan kesehatan, iuran jaminan ketenagakerjaan (jaminan hari tua, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan pensiun), hingga cadangan untuk pesangon.
“Tambahan potongan Tapera ini akan semakin memberatkan pekerja dan pengusaha,” ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Pemilihan waktu pemberlakuan keputusan ini juga dianggap kurang tepat.
Setelah UU Cipta Kerja disahkan, kenaikan upah buruh sangat rendah dan tidak mampu mengimbangi inflasi. Akibatnya, daya beli dan kesejahteraan masyarakat menurun dalam empat tahun terakhir.
Kehadiran Tapera dinilai semakin menekan daya beli pekerja yang sudah melemah. Dengan kata lain, Tapera hanya menambah beban.
Selain itu, tata kelola dana publik oleh pemerintah selama ini dinilai kurang baik, sehingga kepercayaan publik menjadi rendah.
Yusuf berkaca pada pengalaman program serupa sebelumnya, yaitu Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum).
“Tidak sedikit peserta Bapertarum yang setelah pensiun kesulitan untuk mengambil dana tabungan mereka,” jelasnya.
Baca juga:
* Indonesia alami deflasi tahunan lagi setelah 25 tahun – Mengapa pakar menyebutnya ‘semu’ dan ‘daya beli masyarakat’ justru turun?
“Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, publik menyaksikan terungkapnya kasus-kasus mega korupsi dalam pengelolaan dana publik hingga triliunan di Jiwasraya, Asabri, dan Taspen,” paparnya.
Namun, alasan utama masyarakat menolak Tapera adalah karena kebutuhan pembiayaan perumahan tidak dialami oleh semua pekerja.
Sebagian besar masyarakat, sekitar 82%, sudah memiliki rumah sendiri. Hanya 18% keluarga Indonesia yang belum memiliki rumah.
Pekerja yang sudah memiliki rumah tentu merasa dirugikan jika diwajibkan membayar iuran dalam jangka waktu yang panjang.
“Dan menghadapi ketidakpastian tentang jumlah dana yang akan mereka terima di masa depan,” imbuhnya.
Rumah Apa yang Didapat dari Tapera?
Pengamat properti, Anton Sitorus, berpendapat bahwa penyediaan perumahan seharusnya menjadi tanggung jawab negara, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.
Oleh karena itu, ia mempertanyakan mengapa UU Nomor 4 Tahun 2016 menyebutkan bahwa Tapera dikelola dengan berasaskan kegotongroyongan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gotong royong berarti gerakan bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan.
Definisi gotong royong dalam konteks budaya Indonesia juga tidak mengandung unsur “wajib”.
Jika menggunakan konsep tersebut, pemerintah seharusnya tidak memaksa masyarakat untuk membayar iuran.
“Negara hadir untuk menjadi enabler dan developer dalam menyediakan perumahan, bukan bertugas mengatur masyarakat bergotong royong menyediakan rumah untuk kebutuhan rakyat sendiri,” tegasnya.
“Kalau masyarakat disuruh gotong royong, urunan untuk mendapatkan rumah sendiri, apa gunanya negara?” tanya Anton.
Ahli tata kota dan permukiman dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar, sependapat dengan Anton.
Ia bahkan mengatakan bahwa dengan perhitungan sederhana, besaran potongan iuran Tapera yang wajib dibayar oleh pekerja swasta (2,5%) dan pekerja mandiri (3%) tidak akan cukup untuk membeli rumah yang layak dengan harga pasar, meskipun sudah dikumpulkan selama 20 tahun.
Baca juga:
* Program tiga juta rumah Prabowo untuk masyarakat berpenghasilan rendah, apakah realistis?
Sebagai gambaran, harga rumah subsidi di Jabodetabek berdasarkan Keputusan Menteri PUPR Nomor 689/KPT/2023 adalah Rp181 juta, dan mulai tahun 2024 naik menjadi Rp185 juta.
Sementara itu, uang hasil tabungan Tapera selama 20 tahun hanya terkumpul sekitar Rp43 juta.
“Secara rasional, tidak logis dengan nilai potongan kecil, bisa memiliki rumah,” imbuhnya.
Itulah mengapa Jehansyah dan Anton yakin bahwa kualitas rumah Tapera tidak akan jauh berbeda dengan rumah subsidi.
Hal ini diperkuat dengan Pasal 27 UU Tapera yang menyebutkan bahwa peserta yang mendapatkan pembiayaan perumahan adalah mereka yang tergolong masyarakat berpenghasilan rendah.
Berdasarkan Keputusan Menteri PUPR Nomor 22/KPTS/M/2023, masyarakat berpenghasilan rendah adalah masyarakat dengan penghasilan maksimal Rp7 juta untuk yang belum menikah dan maksimal Rp8 juta bagi yang sudah menikah.
“Ya, pasti [rumah subsidi], kan yang dapat MBR, masyarakat berpenghasilan rendah,” tegas Anton.
“Ada subsidi uang muka, subsidi suku bunga… semua hitung-hitungannya saya yakin memakai konsep subsidi.”
Bagaimana Skema Pembiayaan Rumah Tapera?
Tapera adalah program pemerintah yang bertujuan untuk membantu masyarakat memiliki rumah layak huni dan terjangkau. Caranya adalah dengan menghimpun dana dari seluruh pekerja melalui pemotongan gaji setiap bulan.
Sesuai amanat UU Nomor 4 Tahun 2016, Badan Pengelola (BP) Tapera dibentuk dan ditugaskan untuk mengelola dana tersebut dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan.
Harapannya, rumah Tapera dapat mengatasi angka backlog atau kesenjangan kepemilikan rumah di Indonesia.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi (Susenas) BPS 2024, angka backlog perumahan di Indonesia mengalami penurunan dari 10,51 juta unit pada tahun 2022 menjadi 9,9 juta unit pada tahun 2023. Meskipun terjadi penurunan, angka 9 juta unit masih menunjukkan kebutuhan perumahan yang sangat besar dan mendesak.
Menanggapi berbagai pertanyaan mengenai mengapa pekerja harus “gotong royong” menyisihkan gajinya untuk program Tapera, Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, menjelaskan bahwa hal itu sebagai bentuk saling menolong antarpeserta.
“Yang mampu atau berlebih, yang disebut penabung mulia, membantu pihak yang lebih membutuhkan,” tutur Heru dalam jawaban tertulis kepada BBC News Indonesia, Rabu (26/02).
Namun, ia menegaskan bahwa kepesertaan Tapera saat ini masih terbatas pada pegawai negeri sipil yang merupakan peralihan dari keanggotaan Bapertarum-PNS, yakni mencapai 4,2 juta orang.
Baca juga:
* MK tolak gugatan diskriminasi dalam lowongan kerja – Kesaksian dua pemuda yang menganggur gara-gara batasan usia di lowongan kerja
BP Tapera juga belum melakukan pungutan iuran karena peraturan turunannya belum selesai.
Mengacu pada PP Nomor 21 Tahun 2024, regulasi Tapera untuk pekerja yang menerima upah dari APBN/APBD akan diatur oleh Menteri Keuangan yang berkoordinasi dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.
Sementara itu, kepesertaan Tapera untuk pekerja atau buruh BUMN/BUMD/BUMDes serta pekerja swasta akan diatur oleh Menteri Tenaga Kerja.
Adapun BP Tapera menyusun peraturan untuk kepesertaan pekerja mandiri.
“Pekerja mandiri kami usulkan terlebih dahulu dalam penerapan kepesertaan Tapera karena regulasinya disusun oleh BP Tapera,” papar Heru.
Selain itu, ia menambahkan, BP Tapera juga masih menunggu proses uji materi yang berjalan di Mahkamah Konstitusi terkait syarat “wajib” bagi pekerja di Indonesia.
Dalam jawaban tertulis kepada BBC News Indonesia, Heru Pudyo mengakui dan membenarkan bahwa penerima rumah Tapera adalah masyarakat berpenghasilan rendah dengan penghasilan maksimal Rp7 juta untuk yang belum menikah dan maksimal Rp8 juta bagi yang sudah menikah, serta belum memiliki rumah.
Sedangkan pekerja yang sudah memiliki rumah dan tidak termasuk kategori masyarakat berpenghasilan rendah “tidak dapat mengajukan manfaat tersebut”.
“Kami sebutnya penabung mulia. Para penabung mulia ini nantinya akan mendapatkan pengembalian tabungannya beserta hasil pemupukannya pada saat kepesertaan berakhir,” jelas Heru.
“Saat ini tengah dikembangkan perluasaan manfaat lainnya bagi peserta penabung mulia untuk meningkatkan benefit.”
Baca juga:
* Seberapa realistis pegawai yang terkena gelombang PHK bisa bekerja lagi? – ‘Uang saya tinggal Rp200.000, enggak ada lagi’
Bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang ingin mengajukan pembiayaan perumahan Tapera, Heru mengatakan bahwa mereka tidak harus menabung sebanyak nilai rumah yang dibutuhkan.
Sebab, jika menggunakan perhitungan sederhana seperti itu, mereka pasti tidak akan pernah bisa mengajukan rumah Tapera.
“Bayangkan tabungan peserta 3% dari penghasilan Rp4 juta senilai Rp120.000 per bulan. Kalau dikumpulkan hingga 20 tahun hanya dapat Rp28,8 juta. Pastinya tidak akan masuk perhitungan mengajukan rumah Tapera,” kata Heru.
Itulah mengapa BP Tapera merancang skema pembiayaan sendiri.
Pertama-tama, mereka harus menjadi peserta minimal selama 12 bulan dan menabung secara rutin.
Berikutnya, BP Tapera menetapkan harga rumah tapak subsidi yang akan dihuni berdasarkan Keputusan Menteri PUPR Nomor 689 Tahun 2023, dengan rincian:
Zona 1: Jawa (kecuali Jabodetabek) dan Sumatera (kecuali Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Kepulauan Mentawai): Rp166 juta.
Zona 2: Kalimantan (kecuali Kabupaten Murung Raya dan Kabupaten Mahakam Hulu): Rp182 juta.
Zona 3: Sulawesi, Bangka Belitung, Kepulauan Mentawai, dan Kepulauan Riau (kecuali Kepulauan Anambas): Rp173 juta.
Zona 4: Maluku, Maluku Utara, Bali, Nusa Tenggara, Jabodetabek, Kepulauan Anambas, Kabupaten Murung Raya, Kabupaten Mahakam Hulu: Rp185 juta.
Zona 5: Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Barat Daya, dan Papua Selatan: Rp240 juta.
Ketiga, uang muka ditetapkan hanya 1%, tenor atau lama pinjaman bisa mencapai 30 tahun, dan suku bunga flat 5%.
Baca juga:
* Gelombang PHK diperkirakan tembus 70.000 pekerja, serikat buruh bertanya ‘Mana lapangan pekerjaan yang dijanjikan pemerintah?’
Heru memberikan contoh ilustrasi, jika harga rumah tapak senilai Rp175 juta dengan uang muka 1%, maka beban angsuran yang diterima oleh peserta dalam waktu 20 tahun dengan suku bunga flat 5% adalah Rp1,1 juta.
Cicilan tersebut, menurutnya, dianggap lebih ringan dibandingkan dengan menggunakan skema KPR komersial yang suku bunganya di atas 10% dan bersifat floating.
Keuntungan lain dari Tapera, klaim Heru, adalah bahwa di akhir pelunasan rumah subsidi Tapera pada 20 tahun mendatang, para peserta akan memperoleh pengembalian tabungannya ditambah imbal hasil.
“Selain itu, perlu diingat bahwa dana pengelolaan tabungan peserta terpisah dari dana penyaluran manfaat pembiayaan perumahan. Nominal tabungan para peserta tidak diganggu gugat, justru memperoleh manfaat dari pengembangan tabungannya,” paparnya.
Untuk bentuk rumah Tapera, Heru mengatakan bahwa sebelum diakadkan, rumah subsidi tersebut harus sudah dibangun dan siap huni, sehingga sangat jelas letak dan wujudnya.
Sedangkan lokasinya akan disesuaikan dengan wilayah yang diinginkan.
Yang pasti, BP Tapera berpegang pada Keputusan Menteri PUPR Nomor 689 Tahun 2023 tentang batasan luas tanah, luas lantai, dan batasan harga jual rumah umum tapak, serta besaran subsidi bantuan uang muka perumahan.
“BP Tapera akan memantau dan mengevaluasi para pengembang dalam hal kualitas rumah yang diakadkan ke masyarakat. Sesuai peraturan, pengembang wajib membangun rumah layak huni yang diperiksa kualitasnya oleh pemda melalui penerbitan Sertifikat Layak Fungsi (SLF),” ujar Heru.
Sejak tahun 2021, BP Tapera menyebutkan telah bekerja sama dengan mitra bank penyalur. Pada tahun 2025, terdapat 39 mitra perbankan yang menjadi penyalur serta 22 asosiasi pengembang yang telah menyiapkan hunian.
Khusus dari pembiayaan Tapera, BP Tapera mengklaim sejak tahun 2021 telah menyediakan 18.579 unit rumah senilai Rp2,62 triliun untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan kategori PNS.
Kualitas Rumah Subsidi: ‘Atap Bocor, Tembok Keropos’
Untuk mengetahui seperti apa kualitas rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang dibangun pemerintah, BBC News Indonesia mengunjungi dua perumahan yang berada di Cikarang dan Cibarusah, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Perumahan subsidi di Cikarang ini, menurut penuturan seorang penghuninya, Hari Fitriani, pernah didatangi oleh mantan Presiden Joko Widodo pada tahun 2017.
Saat itu, menurut ingatannya, warga berbondong-bondong datang untuk melihat orang nomor satu di Indonesia.
Setelah kunjungan tersebut, perumahan seluas hampir 100 hektar ini sempat dikenal dengan sebutan perumahan Jokowi.
“Ramai banget pas Pak Jokowi ke sini dan kami senanglah didatangi presiden,” kenangnya.
Perempuan berusia kepala tiga ini mengaku membeli rumah subsidi tipe 25 dengan luas tanah 60 meter persegi pada tahun 2017. Ia mengaku sudah lelah mengontrak dan lokasinya dekat dengan kediaman mertuanya.
Dari segi biaya, juga masih terjangkau.
Ibu empat anak ini mengatakan bahwa uang mukanya 0%, tenor pinjaman 15 tahun, dan cicilan per bulannya Rp890.000.
“Kalau beli tunai seingat saya Rp150 juta, tapi saya enggak mungkin beli cash (tunai),” tutur perempuan berhijab ini ketika ditemui di rumahnya pada awal Oktober 2024 lalu.
Hari dan suaminya akhirnya tertarik.
Setelah tiga bulan mengurus surat-surat ke bank, permohonan mereka dikabulkan.
Namun, keluarga ini tidak langsung menempati rumah barunya.
“Masih sepi di sini… enggak ada listrik, PDAM juga belum menjangkau rumah saya, makanya enggak ditempati dulu setahun,” ungkapnya.
Pada tahun 2018, Hari dan keluarganya pindah ke perumahan itu setelah aliran listrik tersambung dan air bersih dari PAM mengalir ke rumah.
Namun, ada pengalaman tak terlupakan saat pindahan.
“Saya ingat malam sebelum kami pindah, hujan deras… dan pas kami masuk, genangan air di mana-mana hahaha,” tuturnya sambil tertawa.
“Di kamar, ruang tengah, hampir setiap ruangan bocor.”
Saat itu juga, ia menyadari seperti apa kualitas bangunan rumah subsidi.
Meminjam keluhan orang-orang kepadanya, “rumah subsidi bukan siap huni tapi siap renovasi,” kelakarnya.
Dari situ, sang suami merenovasi seadanya: membuat talang air di atap rumah dan menutup area belakang untuk dijadikan dapur.
Namun, secara keseluruhan, bangunan rumah subsidi Hari tidak ada yang berubah: terdapat dua kamar tidur, ruang tengah, dapur, dan kamar mandi.
Cat dinding berwarna putih sudah nyaris pudar, beberapa sisi retak dan terkikis cukup dalam.
Pintu masuk yang terbuat dari triplek koyak di sudut-sudut tertentu.
“Baru lima tahun ditempati, temboknya sudah keropos nih,” keluh Hari.
“Kusen pintu dan jendela karena kena hujan jadi lapuk. Kalau ada biaya pengen bikin kanopi di halaman, jadi air hujan enggak langsung kena.”
Di sela-sela perbincangan, perempuan asal Pemalang, Jawa Tengah, ini juga menunjukkan bercak cokelat di ujung-ujung dinding dan plafon rumahnya, tanda rembesan air hujan yang bocor dari atap.
Masalah lain, selama dua tahun pertama tinggal di perumahan subsidi ini, air dari PDAM berbau busuk dan sering kali tidak mengalir, apalagi jika musim kemarau.
Karena itu, Hari terpaksa membeli air galon untuk keperluan mandi dan masak.
“Pernah di tahun 2019, satu minggu air PAM kualitasnya buruk… kayak air got, warga protes karena ada cacing, jentik-jentik nyamuk. Syukur ada perbaikan, makin ke sini [makin] bersih,” kenangnya.
Soal keamanan, jangan ditanya, pasti ada saja warga yang kemalingan motor. Kabel listrik dari rumah yang kosong juga raib.
Dan karena perumahan ini tidak sepenuhnya berpenghuni, beberapa rumah dibiarkan tidak terawat. Alang-alang dan semak belukar seakan melumat bangunan itu pelan-pelan.
Belajar dari kejadian tersebut, warga berinisiatif mempekerjakan satpam dan memasang CCTV.
Meski kondisinya demikian, ibu rumah tangga ini mengaku betah tinggal di sana karena biaya hidup masih terbilang murah dibandingkan di kota.
BBC News Indonesia telah berulang kali menghubungi pihak pengembang perumahan, tetapi hingga berita ini ditulis, tidak ada tanggapan.
‘Kami Pakai Lilin untuk Penerangan’
Di Cibarusah, Bekasi, Jawa Barat, pengalaman Arbas Batubara tinggal di rumah subsidi tidak kalah mengenaskan.
Pria 57 tahun ini membeli dan mulai menetap di sana sejak tahun 2019.
Sama seperti Hari, bapak tiga anak ini tidak merasa nyaman mengontrak. Ia ingin memiliki rumah sendiri.
Seorang temannya yang bekerja sebagai marketing perumahan lantas menawarkan rumah subsidi di sana dengan harga tunai sekitar Rp150 juta.
Ia langsung disodorkan selembar brosur bergambar rumah beserta denahnya.
“Saya lihat-lihat boleh juga rumahnya,” katanya kepada BBC News Indonesia saat berkunjung ke kediamannya awal Oktober 2024.
Pria yang dulu bekerja sebagai sopir truk molen ini mengaku saat itu tidak punya banyak pilihan perumahan karena keuangannya juga terbatas.
Rumah subsidi, baginya, cukup masuk akal karena uang muka 0%, tenor pinjaman 20 tahun, dan cicilan per bulannya sekarang Rp1 juta.
Awalnya, saat menghuni perumahan ini, hanya ada segelintir orang saja, kebanyakan justru kuli bangunan yang sedang membangun rumah.
Sialnya, saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah baru tersebut, tidak ada listrik dan air bersih.
“Kami pakai lilin untuk penerangan kalau malam,” ungkap Arbas. “Air bersih saya ambil dari kali dekat sini atau sumur yang biasa dipakai kuli.”
“Kasihan anak-anak saya kalau mau sekolah seragamnya tidak disetrika,” akunya.
Pengalaman tidak mengenakkan tersebut berlangsung selama beberapa minggu, itu pun setelah beberapa penghuni protes pada pengembang.
Oleh pengembang, rumah-rumah warga dipasang kabel listrik yang dialirkan dari gudang penyimpanan barang-barang bangunan mereka.
Belakangan, listrik dari PLN baru dipasang sekitar awal tahun 2023.
Sementara itu, untuk air, akhirnya dibuatkan sumur bor yang dipasang mesin pompa.
“Agak kecewa juga sih, dulu dijanjikan ada air PAM, listrik, tapi saya enggak memastikan.”
Rumah subsidi Arbas bertipe 28 dengan luas tanah 90 meter persegi karena membeli tanah hook. Meskipun demikian, dia tidak banyak mengubah bentuk aslinya.
Total ada dua kamar tidur, ruang tengah, kamar mandi, dan dapur yang jaraknya saling berdekatan.
Untuk bagian belakang rumah (dapur yang tadinya terbuka) akhirnya ditutup.
“Pintunya masih asli, triplek, makanya kualitasnya begitulah, apa adanya.”
Seperti halnya yang dialami Hari, atap rumah Arbas juga bocor kalau hujan.
“Pernah sampai kebanjiran di dalam,” imbuhnya. “Untungnya tembok masih aman meski sudah ditinggali lima tahun.”
‘Sumur Kami Kering, Tak Ada Air’
Tetangga Arbas, Veronica Aritonang, juga mengeluhkan kondisi air.
Sama seperti penghuni rumah subsidi lainnya, ibu satu anak ini tertarik karena tawaran uang muka 0%, tenor pinjaman sampai 20 tahun, dan cicilan Rp1,1 juta per bulan.
Ia bersama suami pindah ke perumahan tersebut tepatnya pada Agustus 2023.
Baru setahun ditinggali, bangunannya masih tampak baru dan kinclong. Temboknya mulus, lantainya mengkilap, kusen pintu masih terawat baik.
Tapi, ada satu hal yang membuat Vero frustrasi: pasokan air.
Sumur buatan pengembang yang tertanam di belakang rumahnya, kering kerontang.
“Dulu marketingnya manis-manis ngomongnya, semuanya sudah ada. Tapi kami enggak cek sumur itu, ada airnya atau enggak,” katanya kesal.
“Pas pindah, enggak ada airnya, saya kecewa banget.”
Sebagai gambaran, air sumur di perumahan subsidi berasal dari sumur bor yang kedalamannya bervariasi, biasanya antara 8-10 meter.
Masalahnya, dari deretan rumah Vero, hanya dia yang tidak mendapatkan air. Sehingga, tak jarang ia harus menyedot air dari tetangga sebelah dengan selang.
“Cuma musim hujan, ada airnya. Kalau enggak hujan, numpang sama tetangga.”
BBC News Indonesia telah berulang kali menghubungi pihak pengembang perumahan, tetapi hingga berita ini diterbitkan belum mendapat respons.
Mengapa Rumah untuk Rakyat Kualitasnya Jelek?
Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman (Apersi), Daniel Djumali, mengatakan bahwa masalah utama dalam penyediaan rumah adalah mahalnya harga tanah.
Harga tanah di perkotaan, katanya, sudah tidak realistis untuk membangun perumahan rakyat.
“Harga rumah Rp180 juta kalau di kota besar, sudah pasti enggak mungkin. Paling minggir sedikit ke daerah Cikande, Banten, atau Cikarang, Kabupaten Bekasi… jauh dari pusat kota memang,” jelas Daniel kepada BBC News Indonesia.
Menurut laporan Marketbeat Greater Jakarta Landed Residential H2 2023 yang dikeluarkan oleh Cushman & Wakefield, harga tanah di Jakarta rata-rata saat ini per meter persegi tembus Rp15,6 juta.
Di Tangerang mencapai Rp14 juta per meter persegi, kemudian Bekasi Rp10,7 juta per meter persegi, di Bogor dan Depok kira-kira Rp8,2 juta per meter persegi.
Dengan demikian, harga rata-rata di Jabodetabek sekitar Rp12,4 juta per meter persegi atau meningkat 16% year-on-year.
Komponen lain yang membuat harga rumah mahal, menurutnya, adalah perizinan.
Di Indonesia, klaim Daniel, setidaknya ada 29 syarat dan ketentuan untuk perumahan yang prosesnya cukup sulit dan memakan biaya. Misalnya, izin lingkungan, izin pemanfaatan lahan, izin lokasi, dan analisis dampak lingkungan.
Semakin banyak izin, ongkosnya juga semakin banyak dan bisa menggerus keuntungan yang diperoleh pengembang rumah bersubsidi.
Khusus soal tanah, harus dipastikan betul-betul statusnya clean dan clear: bukan lahan sawah yang dilindungi, bukan lahan industri, bukan lahan pertanian, dan tidak bersengketa.
“Setelah itu, urus izin pemasangan listrik, air, siapkan sarana prasarananya.”
“Dan kadang-kadang ada pengembang yang enggak berhitung, kalau mau bangun rumah mesti paham tanahnya cocok apa enggak…”
“Sekarang ada yang asal bangun, karena uber target.”
Daniel mengatakan bahwa gara-gara mengejar target itulah, banyak rumah subsidi yang kualitasnya kurang bagus.
Apa Saja PR Pemerintah Menyediakan Rumah Layak?
Yusuf Wibisono dari IDEAS mengatakan bahwa jika pemerintah benar-benar ingin menyediakan perumahan yang layak untuk rakyat, tidak cukup hanya