Tragedi 98: Trauma Penjarahan dan Pertanyaan Keamanan Rakyat

Posted on

Rangkaian aksi penjarahan yang terjadi setelah unjuk rasa beberapa waktu lalu telah membangkitkan trauma mendalam, terutama bagi kelompok minoritas dan kaum perempuan. Kenangan pahit kerusuhan Mei 1998 kembali menghantui, seolah luka lama yang belum sepenuhnya mengering.

Gelombang kecemasan ini bergema luas di media sosial, di mana masyarakat menyuarakan harapan agar tragedi kelam yang menewaskan 1.190 jiwa, menurut data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan Mei 1998, tak lagi terulang.

Tasya Anindita, seorang warga keturunan Tionghoa di Jakarta, mengungkapkan kekhawatirannya setelah menyaksikan penjarahan yang menyasar kediaman Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

“Ini seperti membuka kembali memori kelam kerusuhan 1998. Jika rumah yang dijaga TNI saja bisa menjadi sasaran, bagaimana nasib kami, rakyat biasa?” ujarnya, menyiratkan ketakutan yang mendalam.

Nursyahbani Katjasungkana, mantan anggota TGPF Kerusuhan 1998, menilai trauma ini sebagai konsekuensi logis dari ketidakseriusan pemerintah dalam menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu, termasuk tragedi Mei 1998, secara komprehensif.

Para pegiat HAM berpendapat bahwa kelambanan pemerintah ini memungkinkan sentimen rasial terus digunakan sebagai alat untuk menyebarkan teror dan ketakutan.

‘Papa berdoa negara baik-baik saja’

BBC News Indonesia mewawancarai sejumlah penyintas kerusuhan Mei 1998. Mereka mengaku bahwa bayangan buruk 27 tahun silam kembali menghantui benak mereka, terutama setelah menyaksikan penjarahan dan pembakaran gedung serta fasilitas publik di tengah unjuk rasa akhir Agustus lalu.

Tasya Anindita, 37 tahun, seorang perempuan Tionghoa, menjadi salah satu saksi mata yang berbagi pengalaman traumatisnya.

“Saya kembali teringat momen ketika orang-orang mendorong troli penuh barang curian dari minimarket,” kenang Tasya, menggambarkan salah satu adegan mengerikan yang membekas dalam ingatannya sejak Mei 1998.

Saat itu, Tasya masih duduk di kelas empat sekolah dasar. Ketika kerusuhan pecah, sekolah diliburkan, namun ia dilarang keluar rumah oleh orang tuanya.

Pada Mei 1998, Tasya dan keluarganya tinggal di daerah Bintaro, Tangerang Selatan. Saat itu, tidak banyak warga etnis Tionghoa yang bermukim di sana.

Untungnya, Tasya menuturkan, warga sekitar turut membantu melindungi ia dan keluarganya. Bahkan, seorang pria menjadi sukarelawan untuk menjaga rumahnya.

Kendati demikian, rasa takut tetap menghantuinya.

Suatu hari, ia melihat asap mengepul dari supermarket yang terletak agak jauh dari rumahnya. Televisi pun tak henti-hentinya menayangkan situasi kekacauan di berbagai wilayah.

Puncaknya, ia melihat ayahnya menangis saat berdoa sebelum makan malam. Saat itulah ia menyadari bahwa situasi benar-benar genting.

“Papa berdoa agar negara baik-baik saja,” ungkap Tasya, dengan nada pilu.

“Padahal, kepala rumah tangga [generasi] boomers kan jarang sekali menangis, ya?”

Tasya mengaku, rangkaian pengalaman pahit di bulan Mei 1998 itu langsung menyeruak kembali ketika ia mendengar kabar tentang penjarahan rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan sejumlah anggota parlemen pada akhir Agustus lalu.

“Ini membangkitkan trauma [kerusuhan 1998]. Kalau rumah yang dijaga TNI saja bisa dijarah, bagaimana dengan rakyat biasa?” tanyanya retoris.

Selain itu, Tasya menambahkan, beberapa saudaranya kerap mengirimkan pesan berantai yang mengabarkan potensi penjarahan yang menyasar etnis Tionghoa.

Meskipun kebenaran kabar tersebut belum dapat dipastikan, Tasya mengakui, “Tetap saja, saya merasa takut.”

Trauma akibat kerusuhan Mei 1998 tidak hanya dirasakan oleh warga etnis Tionghoa.

Asri, seorang perempuan Jawa, juga mengungkapkan ketakutannya jika kerusuhan serupa kembali terjadi.

Ia menggambarkan suasana 27 tahun lalu sebagai “momen yang mencekam dan mengerikan.”

Pada Mei 1998, Asri tinggal di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat.

Beberapa rumah yang tidak jauh dari tempat tinggalnya hangus terbakar.

Salah seorang tetangganya bahkan meninggal dunia setelah sekelompok orang tak dikenal menyerbu pemukimannya dan menyerang warga setempat. Hingga kini, ia mengaku tidak mengetahui asal-usul kelompok tersebut.

Menyusul kejadian itu, warga sekitar rumahnya kemudian berjaga-jaga dengan membawa berbagai senjata tajam, seperti samurai atau golok.

Namun, Asri menuturkan, penjagaan bersenjata itu justru membuatnya semakin takut, alih-alih merasa aman.

Terlebih lagi, listrik di lingkungannya padam selama seminggu akibat sejumlah gardu di sekitar pemukimannya dibakar oleh orang tak dikenal.

“Saat itu, saya sampai berpikir, ‘Apakah keluarga saya akan selamat?’,” ungkapnya.

Karena pengalaman traumatis di masa lalu itu, ia mengaku ketakutan saat melihat penjarahan dan pembakaran sejumlah gedung saat demonstrasi pada akhir Agustus lalu.

“Aksi kekerasan itu membangkitkan trauma lama,” kata Asri.

Ia berharap peristiwa serupa tidak akan pernah terulang, karena trauma kerusuhan massal sangat sulit untuk dilupakan.

“Sampai sekarang, kalau melihat orang membawa pisau, saya jadi agak mundur,” kata Asri.

“Kalau melihat kerusuhan, pikiran saya langsung dipenuhi rasa takut yang luar biasa.”

Konsekuensi Logis Kegagalan Pemerintah Mengungkap Kerusuhan 1998

Nursyahbani Katjasungkana, mantan anggota TGPF, menegaskan bahwa trauma yang dialami para korban kerusuhan Mei 1998 adalah “konsekuensi logis” dari kegagalan pemerintah dalam mengungkap insiden tersebut secara tuntas.

Meskipun Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah mengakui insiden Mei 1998 sebagai salah satu dari 12 pelanggaran HAM berat pada 11 Januari 2023, namun hingga kini Pengadilan HAM ad hoc untuk mengungkap dalang di balik tragedi tersebut belum juga dibentuk.

“Itu seperti memberi permen kepada anak kecil, lalu mengambilnya kembali. Trauma itu tidak disentuh sama sekali,” kritik Nursyahbani.

“Tidak ada healing process. Peristiwa kekerasan yang terjadi tidak pernah diselesaikan.”

Menurutnya, Pemerintah Indonesia seharusnya belajar dari Rwanda dan Afrika Selatan dalam menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu, termasuk Peristiwa Mei 1998.

Rwanda, yang pernah dilanda perang antarsuku Hutu dan Tutsi, berhasil menggelar rekonsiliasi nasional dengan menghapus narasi etnis Hutu atau Tutsi. Semua warga negara didefinisikan sebagai orang Rwanda.

Selain itu, mereka juga menggelar Pengadilan Tradisional Gacaca selama periode 2001-2012, di mana korban dapat memberikan kesaksian, pelaku dapat mengakui perbuatannya, dan hukuman dapat diringankan melalui kerja sosial.

Sementara itu, Afrika Selatan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang berfokus pada pengungkapan kebenaran.

Para pelaku praktik apartheid dapat memperoleh amnesti jika mereka bersedia mengakui perbuatan mereka secara jujur dan lengkap. Para korban juga diberikan kesempatan untuk menyampaikan suara mereka.

Nursyahbani menyayangkan bahwa pendekatan penyelesaian seperti yang diterapkan di Rwanda atau Afrika Selatan tidak pernah diimplementasikan oleh Pemerintah Indonesia.

“Proses seperti itu [di Rwanda dan Afrika Selatan] tidak dilakukan, sehingga menyebabkan trauma berkepanjangan,” ujar Nursyahbani.

“Jadi, meskipun saat ini [kerusuhan] tidak menargetkan etnis minoritas, namun ingatan tentang 1998 tetap muncul.”

Dimas Bagus Arya, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), menambahkan bahwa pemerintah memang tidak menunjukkan niat politik yang serius untuk mengungkap kerusuhan 1998.

Selain belum membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk mengungkap dalang di balik kerusuhan, Dimas juga menyoroti rencana pemerintah untuk merevisi kurikulum sejarah di sekolah dengan memasukkan “tone positif.”

Adapula pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang sempat meragukan bukti kuat terjadinya pemerkosaan massal saat kerusuhan 1998.

“Tidak ada political will dari negara untuk menyelesaikannya, bahkan ada upaya untuk membelokkan sejarah,” tegas Dimas.

Karena tidak adanya keseriusan dalam penyelesaian kasus ini, Dimas menilai sentimen rasial terus digunakan untuk menyebarkan teror.

“Ini adalah konsekuensi logisnya. Jika tidak ada keadilan bagi kelompok minoritas, maka akan selamanya ada sentimen terhadap minoritas,” pungkas Dimas.

Apa Solusi agar Trauma Tidak Meluas dan Berulang?

Sejalan dengan Kontras, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa sentimen rasial akan terus digunakan untuk menyebarluaskan teror.

Ia menyebutkan bahwa teror tersebut sudah mulai menjalar di tengah masyarakat.

Usman mengaku telah menerima permintaan saran dari sejumlah warga etnis Tionghoa, menyusul serangkaian penjarahan yang terjadi setelah unjuk rasa beberapa waktu lalu.

“Mereka bertanya, ‘Apakah kami harus pergi ke luar negeri atau masih bisa bertahan untuk beberapa waktu ke depan?'” ungkap Usman.

“Kekhawatiran itu sudah ada. Meskipun saya menjelaskan bahwa kemarahan kali ini bersifat vertikal, yaitu antara masyarakat dan pejabat.”

Lantas, apa yang dapat dilakukan agar trauma atas kerusuhan 1998 tidak meluas dan tidak kembali menghantui masyarakat?

Dalam jangka pendek, Usman menekankan bahwa pemerintah harus mampu meredakan ketegangan dengan memenuhi tuntutan para demonstran.

Pemerintah dan otoritas terkait juga harus transparan dalam mengungkap kasus kematian yang terjadi selama gelombang demonstrasi akhir Agustus lalu, kata Usman.

“Tegakkan hukum secara transparan untuk kasus Affan [Kurniawan], Rheza [Sendy Pratama], dan sebagainya,” serunya.

Dalam jangka panjang, Usman menegaskan bahwa pemerintah harus serius dalam mengungkap rangkaian pelanggaran HAM masa lalu, termasuk mengungkap dalang dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

“Harus ada penyelesaian untuk [pelanggaran] masa lalu. Dan, hal itu harus didahului dengan pembatalan rencana penulisan ulang sejarah,” tegasnya.

“Kalau tidak mengakui pernah terjadi, artinya [pemerintah] tidak mau mencegah kejadian itu terulang.”

Temuan TGPF Kerusuhan Mei 1998

Dalam laporan yang diserahkan kepada Presiden B.J. Habibie pada 3 November 1998, TGPF menemukan fakta bahwa kerusuhan di Jakarta bermula dari penembakan mahasiswa Universitas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat, pada 13 Mei.

Kekacauan kemudian meluas, bahkan diwarnai penjarahan dan pengrusakan toko serta rumah warga—dengan sasaran utama adalah etnis Tionghoa—serta pembakaran gedung pemerintahan dan fasilitas publik.

TGPF mencatat 1.190 orang meninggal dunia akibat ditembak dan dianiaya, sementara 564 orang lainnya tewas dalam kebakaran saat kerusuhan berlangsung.

Selain itu, tim juga mencatat setidaknya 85 orang menjadi korban perkosaan serta pelecehan dan penganiayaan seksual.

Dalam temuannya, TGPF menyatakan bahwa kerusuhan saat itu dipicu oleh sekelompok orang tak dikenal yang memprovokasi massa yang sudah berkumpul untuk membakar ban, meneriakkan yel-yel yang memanaskan situasi, atau merusak rambu-rambu lalu lintas.

“Kerusuhan memiliki pola umum yang dimulai dengan berkumpulnya massa pasif yang terdiri dari massa lokal dan massa pendatang tak dikenal,” tulis TGPF dalam laporannya.

Provokator, menurut temuan TGPF, umumnya bukan berasal dari wilayah setempat, secara fisik tampak terlatih, sebagian mengenakan seragam sekolah seadanya, tidak ikut menjarah, dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung terbakar.

“Para provokator ini juga yang membawa dan menyiapkan sejumlah barang untuk keperluan merusak dan membakar, seperti jenis logam pendongkel, bahan bakar cair, bom molotov, dan sebagainya,” terang TGPF.

Nursyahbani Katjasungkana mengamini laporan TGPF tersebut, seraya meminta pemerintah dan otoritas terkait untuk tidak meremehkan trauma yang disebabkan oleh kerusuhan Mei 1998.

Ia menceritakan bahwa anggota tim sangat kesulitan mengumpulkan keterangan dan informasi, terutama dari korban pemerkosaan.

Selain penyangkalan dari pihak otoritas, tim juga harus berupaya keras meyakinkan para korban untuk berani berbicara.

“Itu sangat sulit ditembus, akibat culture of fear yang dibangun oleh para perusuh,” kata Nursyahbani.

“Mereka masih trauma, ditambah pandangan soal konsep kesucian dan aib. Maka, jangan sampai ini berulang.”

  • Kisah warga keturunan Tionghoa yang menetap di luar negeri usai kerusuhan Mei 1998 dan mereka yang memutuskan kembali ke Indonesia – ‘Semoga pemerintah tidak hapus sejarah’
  • Sejauh mana generasi yang lahir setelah 1998 tahu soal Tragedi ’98?
  • Kerusuhan Mei 1998: ‘26 tahun masalah kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia disangkal’
  • Generasi Z dan Peristiwa 1998: ‘Relevan dibahas agar anak muda tidak menjadi korban pada masa mendatang’
  • Tragedi Mei 1998 : Kenangan dua ibu yang kehilangan anaknya
  • Turun ke jalan sampai terjebak kerusuhan: Apa yang terjadi di kota Anda pada Mei 1998?
  • Fadli Zon klaim pemerkosaan dalam Kerusuhan Mei 98 ‘rumor’ dan ‘tak ada bukti’, aktivis perempuan sebut ‘manipulasi dan pengaburan sejarah’
  • Korban kerusuhan Mei 1998, bagaimana kondisi mereka kini?
  • #TrenSosial: Di mana Anda ketika kerusuhan Mei 1998?
  • Penjarahan rumah pejabat dan korban tewas bermunculan – Akankah berujung seperti krisis 1998?
  • Mengapa aksi demonstrasi berujung perusakan dan penjarahan?
  • Kisah warga keturunan Tionghoa yang menetap di luar negeri usai kerusuhan Mei 1998 dan mereka yang memutuskan kembali ke Indonesia – ‘Semoga pemerintah tidak hapus sejarah’

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *