Tujuh pekerja PT Freeport Indonesia (PTFI) terjebak di area tambang bawah tanah pada 8 September lalu. Insiden ini dipicu oleh luncuran material basah yang dahsyat, berisi campuran batuan dan lumpur. Seorang guru besar dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menyebutkan bahwa luncuran ini terjadi dalam “volume besar yang belum pernah terjadi sebelumnya.”
Dua minggu berlalu, nasib lima pekerja masih belum jelas, sementara dua lainnya ditemukan dalam keadaan meninggal dunia. Tragedi ini kembali menyoroti isu keselamatan di lingkungan kerja pertambangan.
PTFI sendiri berulang kali menyatakan telah menyediakan ruang perlindungan bagi para pekerja yang bertugas di area tambang bawah tanah, termasuk di Grasberg Block Caving, lokasi terjadinya insiden tersebut.
Pada Mei 2019, PTFI bahkan mengumumkan investasi sebesar US$ 5 juta atau sekitar Rp83 miliar untuk membangun ruang perlindungan bawah tanah.
“Kami ingin karyawan kami tahu bahwa mereka datang ke tempat kerja yang aman dan kami serius dalam mencegah sesuatu yang buruk terjadi,” ujar Chris Zimmer, yang saat itu menjabat sebagai Senior Vice President Underground Division PTFI.
Sebelumnya, dalam unggahan di media sosial pada Maret 2018, PTFI mengklaim bahwa ruang perlindungan tersebut dapat melindungi pekerja dari kebakaran, runtuhan struktur tambang, hingga paparan bahan peledak atau gas beracun.
Namun, menurut Bangun Samosir, seorang praktisi pertambangan yang berpengalaman lebih dari satu dekade di PTFI, ruang perlindungan tersebut tidak sepenuhnya menjamin keselamatan pekerja saat menghadapi luncuran material basah.
Bangun menjelaskan bahwa keberadaan ruang perlindungan terbatas pada titik-titik tertentu. Bahkan jika pekerja berhasil mencapai ruangan tersebut, ketersediaan oksigen dan makanan yang terbatas akan menjadi tantangan berat untuk bertahan hidup.
“Bayangkan saja, batu dan material halus – yang dalam level produksi ukurannya 30 sentimeter – bercampur dengan volume air yang begitu besar. Seperti sungai yang banjir, arus air membawa batu-batu itu,” ungkap Bangun.
“Material basah itu masuk ke area produksi, ke tempat para pekerja berjalan, menyumbat ujung-ujung terowongan.”
“Kalau semua jalan tertutup, orang akan sulit keluar karena kalau material ditarik dari luar pun, dia akan terus turun sampai airnya habis,” imbuhnya.
Seorang mantan pekerja PTFI lainnya mengungkapkan bahwa insiden yang mengancam nyawa, seperti tertimpa batu atau tersapu luncuran material basah, adalah kejadian berulang yang ia hadapi di area tambang bawah tanah.
Keselamatan diri menjadi salah satu pertimbangan utama saat ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan “yang didambakan banyak mahasiswa pertambangan” itu.
“Hari itu kami sedang mengukur dinding terowongan panel produksi, tiba-tiba seperti di video yang beredar, material basah keluar, meluncur dari atas,” ujarnya.
“Bunyinya seperti longsor, bunyinya dari dalam lubang [tempat bijih yang hancur keluar ke corong].”
“Kecepatannya tidak terlalu kencang, tapi bunyinya seperti tanah longsor, terdengar dari dalam lubang. Itu menakutkan,” ucapnya.
BBC telah menghubungi PTFI untuk meminta tanggapan terkait liputan ini, namun belum menerima respons.
Sebagai salah satu pembayar pajak terbesar di Indonesia, dengan kontribusi Rp79 triliun ke kas negara pada tahun 2024, PTFI mempekerjakan sekitar 5.000 orang di tambang bawah tanah.
Sejumlah insiden telah terjadi di tambang bawah tanah Grasberg, termasuk peristiwa runtuhnya batuan pada tahun 2013 yang menewaskan 28 pekerja.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara, Tri Winarno, menyebutkan bahwa insiden luncuran material basah yang terjadi di area tambang bawah tanah Grasberg Block Cave awal September lalu merupakan yang terparah dalam sejarah pertambangan Indonesia.
Tri menyatakan bahwa Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan melakukan investigasi mendalam terkait insiden tersebut. Namun, saat ini, mereka “masih fokus” mencari lima pekerja yang masih terjebak di bawah tanah.
Sejumlah pertanyaan masih belum terjawab, terutama mengenai apakah PTFI sebenarnya dapat mencegah risiko luncuran material basah yang mengancam nyawa para pekerja.
Apa yang sebenarnya terjadi pada 7 pekerja PTFI?
Luncuran material basah di area tambang bawah tanah Grasberg Block Cave terjadi pada 9 September lalu, sekitar pukul 22.00 WIT. Peristiwa itu terjadi di panel produksi 28-30.
Tak lama setelah kejadian, tiga video dari kamera pengawas milik PTFI yang merekam detik-detik terjadinya luncuran material basah beredar luas.
Merujuk pada tiga rekaman audio visual tersebut, Bangun Samosir, mantan praktisi pertambangan di PTFI, meyakini bahwa area yang dihantam luncuran material basah berada di terowongan panel produksi.
Bangun mengidentifikasi keberadaan mesin penghancur batu dalam salah satu video. “Rock breaker itu memecah batuan agar bisa masuk ke level transportasi,” ujarnya.
Berdasarkan video berdurasi 16 detik itu, Bangun melihat semburan material basah yang keluar dari *drawpoint*—lubang tempat bijih mineral yang rontok keluar dan diangkut.
“Semburan ini mengindikasikan adanya sumber air. Seharusnya area ini kering,” kata Bangun.
“Tiba-tiba material basah meluncur, tidak bisa dihindari pekerja yang ada di situ,” tuturnya.
Video lainnya merekam detik-detik luncuran material basah dari pukul 22.04 hingga 22.15.
Pada awal video, seorang pekerja terlihat berjalan ke arah yang kemudian menjadi titik keluar luncuran material basah. Sekitar enam menit setelahnya, satu pekerja lain berjalan menuju ke arah yang sama.
Pada pukul 22.11, seorang pekerja terlihat berlari ke arah yang berlawanan dari dua pekerja sebelumnya.
Pukul 22.14, satu pekerja tampak berjalan ke arah yang sama seperti dua pekerja pertama. Satu menit setelahnya, luncuran material basah—termasuk bongkahan batu besar—mengalir deras memenuhi panel produksi, terowongan di mana para pekerja tadi berjalan hilir mudik.
“Terowongan ini panjang, mungkin sampai beberapa ratus meter. Kalau kejadiannya di tengah, pekerja yang di ujung terowongan mungkin tidak tahu, sampai akhirnya panel produksi itu tertutup semua,” kata Bangun.
“Dari yang saya lihat, rekaman ini diambil di dekat *drawpoint*, tempat menyodok bijih,” tuturnya.
Belakangan, identitas tujuh pekerja yang terjebak di area tersebut terungkap. Mereka adalah Irwan, Wigih Hartono, Victor Manuel Bastida Ballesteros, Holong Gembira Silaban, Dadang Hermanto, Zaverius Magai, dan Balisang Telile.
Berdasarkan dokumen *interoffice memorandum* PTFI tertanggal 9 September, tujuh pekerja itu tengah mengerjakan “pengembangan tambang” saat terdampak luncuran material basah.
Material basah yang berjumlah besar, menurut berkas itu, menutup akses dan membatasi rute evakuasi tim yang hendak menyelamatkan pekerja tersebut.
Meskipun demikian, Juru Bicara PTFI, Katri Krisnati, dalam keterangan tertulis menyebutkan bahwa perusahaannya telah mengetahui lokasi tujuh pekerja itu.
“Mereka diyakini aman,” kata Katri. “Penyediaan kebutuhan bagi para pekerja yang terdampak sedang dilakukan,” ujarnya.
Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, menyatakan bahwa setelah terdampak luncuran material basah, para pekerja itu masih bisa berkomunikasi dengan tim PTFI melalui radio portabel *handy talkie*.
Melalui komunikasi itulah, klaim Yuliot, manajemen PTFI mengetahui posisi para pekerja tersebut. Dari komunikasi itu pula, kata Yuliot, PTFI memprediksi dapat mengevakuasi pekerja dalam 30 jam.
Dalam kurun waktu 30 jam tersebut, klaim Yuliot, PTFI sebenarnya telah membuat dua terowongan baru. Terowongan itu digali hingga mencapai lokasi luncuran material basah.
Namun, tim evakuasi tetap tidak bisa menemukan mereka. Yuliot berkata bahwa evakuasi terkendala oleh terowongan tambang bawah tanah yang berliku-liku.
Seiring berjalannya waktu, komunikasi antara para pekerja yang terjebak dan manajemen PTFI akhirnya terputus. “Mungkin [*handy talkie*] habis baterai atau apa,” ujar Yuliot.
Dalam pernyataan tertulis, pada Rabu (24/09), PTFI menyebutkan bahwa luncuran material basah yang terjadi mencapai 800.000 metrik ton. Material basah itu meluap ke beberapa lantai.
Pada 20 September lalu, 12 hari setelah kejadian luncuran material basah, tim evakuasi menemukan dua pekerja: Wigih Hartono dan Irawan. Keduanya dievakuasi dalam kondisi meninggal dunia.
Hingga artikel ini diterbitkan, PTFI belum memberikan pembaruan mengenai proses evakuasi lima pekerja yang masih terjebak. Kelimanya adalah pekerja PTFI dari pihak ketiga, yakni PT Redpath Indonesia—kontraktor pertambangan bawah tanah yang berafiliasi dengan Redpath Group di Ontario, Kanada.
Dua dari lima pekerja yang belum dievakuasi merupakan warga negara asing. Salah satunya adalah Balisang Telile, berasal dari kota Carletonville, Provinsi Gauteng, Afrika Selatan—daerah pertambangan emas yang berjarak 75 kilometer dari ibu kota Johannesburg.
Pekerja dengan status warga negara asing lainnya adalah Victor Manuel Bastida Ballesteros, yang berasal dari Chili.
Adapun tiga pekerja lainnya adalah Holong Gembira Silaban (berasal dari Dolok Sanggul, Sumatra Utara), Dadang Hermanto (Bogor, Jawa Barat), dan Zaverius Magai (Timika).
‘Wigih adalah tulang punggung keluarga’
PTFI tidak mempublikasikan informasi terkait identitas para pekerja dan bagaimana mereka berelasi dengan keluarga pekerja usai peristiwa luncuran material basah.
Ketika Wigih Hartono dan Irawan dikabarkan telah ditemukan pada 20 September lalu, tidak ada pula keterangan dari PTFI tentang rencana penerbangan jenazah ke kampung halaman.
PTFI juga tidak memaparkan perihal santunan atau bentuk tanggung jawab lain yang mereka berikan kepada keluarga Wigih dan Irawan.
Pada 20 September sore, jurnalis Endy Langobelen yang berkolaborasi dengan BBC, melihat sejumlah kerabat dua pekerja itu menangis di Bandara Moses Kilangin, Timika, yang dioperasikan oleh PTFI.
Sejumlah pegawai PTFI terlihat mendampingi mereka masuk ke bandara.
Sabtu sore itu, jenazah Wigih diberangkatkan ke rumah keluarganya di Ponorogo, Jawa Timur. Minggu dini hari, jenazah laki-laki berumur 37 tahun itu tiba, lantas disemayamkan, disalatkan, dan dikebumikan di pemakaman di Desa Nambak.
Namun istrinya, Jarmini, tidak mengikuti prosesi penguburan. Dia memilih tetap berada di rumah duka. “Dia masih syok,” ujar Imam Susanto, adik Wigih.
Kondisi itu masih tampak di raut wajah Jarmini hingga Minggu siang. Ibu dari dua anak itu beberapa kali membasuh air mata yang menetes ke pipinya, tatkala menyalami para pelayat yang datang.
Jarmini menyandarkan tubuhnya yang terlihat lemah ke dinding di salah satu sudut ruang tamu kediamannya. Sembari duduk selonjoran, perempuan itu sering kali mengusap rambut anak lelakinya yang tertidur di sampingnya.
Anak kedua Wigih dan Jarmini juga terlihat berada di ruang tamu.
Wigih bukan staf PTFI. Status kepegawaiannya terikat pada PT Citacontrac, perusahaan yang mengurus kelistrikan di tambang bawah tanah PTFI.
Sebelum terbang ke Tembagapura untuk menjadi teknisi kelistrikan di PTFI, Wigih telah “jatuh bangun”, kata adiknya, Imam.
Setelah lulus sekolah menengah kejuruan di Tulungagung, Wigih mengadu nasib ke Malaysia. Di negara itu, kata Imam, Wigih bekerja serabutan, dari kuli bangunan hingga tukang las.
“Kemudian dia pulang ke Ponorogo dan bekerja ke bengkel las milik orang,” ujar Imam.
Selama tujuh tahun terakhir, Wigih bekerja di Tembagapura. Imam berkata, abangnya setiap tahun pasti mudik.
“Kalau pulang, pasti menengok orang tua di Tulungagung,” ujarnya.
Tak lama setelah Wigih terjebak di terowongan panel produksi Grasberg Block Cave, ponsel Imam berdering. Di ujung telepon, saudara ipar Wigih yang bernama Halim memberi kabar.
“Saya diminta menghubungi keluarga di Tulungagung, untuk menjaga ibu agar tidak kaget,” ungkapnya.
Dalam percakapan itu, Halim juga mengajak Imam untuk ikut terbang ke Timika—untuk memantau proses evakuasi Wigih. Namun Imam tak bisa mendapat cuti dari pekerjaannya. Akhirnya, Halim berangkat bersama Jarmini.
Imam dan seluruh kerabat terus memelihara harapan. Mereka yakin Wigih bisa keluar dari bawah tanah dengan selamat.
Namun belakangan, di Tembagapura, Halim dan Jarmini diminta melihat sesosok jenazah. Mereka diminta memastikan identitasnya.
“Kami harus mengikhlaskannya,” kata Imam.
Kerabat Wigih, Mahmudin, merasa iba melihat kematian saudaranya itu. Mahmudin mengetahui bagaimana Wigih membangun kehidupannya—dari anak yang terlunta-lunta setelah ditinggal ibunya yang wafat, lalu mengadu nasib sebagai pekerja migran ke Malaysia dan Tanah Papua.
Wigih, kata Mahmudin, adalah tulang punggung keluarga. Sebelum bekerja di PTFI, perekonomian keluarga Wigih pas-pasan.
“Dari kecil sudah terlunta-lunta. Sekarang kehidupannya sudah agak enak, tapi harus seperti ini (meninggal dunia),” kata Mahmudin.
Seperti Wigih yang kehilangan ibunya saat kanak-kanak, dua anaknya kini akan menanggung nasib yang sama: ditinggal orang tua untuk selamanya.
Pada 21 September itu, bukan hanya keluarga Wigih yang pergi ke pemakaman dan menanggung kepedihan. Pada hari yang sama, jenazah Irawan juga dikebumikan di Cilacap, Jawa Tengah, kampung halamannya.
Seperti Wigih, Irawan juga berstatus pegawai PT Citacontrac. Dia mulai bekerja di PTFI sekitar sembilan tahun lalu.
Di Tempat Pemakaman Umum Taman Firdaus, istri Irawan, Dwi Saptorini, tak bisa menahan tangis. Bersama dua anaknya, mereka menyaksikan jenazah Irawan dimakamkan.
Sekitar satu bulan sebelum tewas tergulung luncuran material basah di Grasberg Block Cave, Irawan menghabiskan hari-hari cutinya di Cilacap.
Namun, tak lama setelah Irawan kembali ke Tembagapura, Dwi terbang ke kota tambang di kaki Nemangkawi Ninggok—nama asli Puncak Jaya dalam bahasa Amungme.
“Keluarganya ke sana saat evakuasi dilakukan,” kata Mohammad Taufik, tetangga Irawan di Cilacap.
Sigit Wahyudi, saudara kandung Irawan, menyebut adiknya sebagai pribadi pendiam yang tak pernah lupa beribadah.
“Kalau Idul Adha, tidak ada yang tahu, dia langsung berkurban begitu saja,” ujar Sigit.
“Terakhir dia bilang ke saya, dia berencana berkurban lagi. Tapi niat Irawan belum tercapai,” ucapnya.
‘Semua tahu risikonya, tapi tetap ke bawah tanah demi gaji besar’
Mendapatkan gambaran tentang situasi kerja di tambang bawah tanah PTFI bukanlah hal yang mudah. BBC berbicara kepada sejumlah orang yang bekerja di lokasi itu, tetapi mayoritas dari mereka enggan berbicara untuk publik.
Namun, satu mantan pekerja PTFI bersedia menceritakan pengalamannya. Pria ini meminta BBC untuk mengidentifikasinya dengan nama Panji. Ia bekerja di PTFI hampir satu dekade.
Selama di PTFI, Panji bekerja di sebuah tim yang memantau pergerakan batuan di bawah tanah, termasuk juga material basah—yang dalam dunia pertambangan disebut *wet muck*.
Timnya, kata Panji, juga bertugas menopang pekerjaan para insinyur yang melakukan fase produksi—menambang bijih mineral.
Dalam kesehariannya, Panji dan timnya berpindah dari satu blok tambang ke blok tambang yang lain.
Oleh karena itu, ia memiliki pengalaman di seluruh blok tambang bawah tanah PTFI, yakni Grasberg Block Cave (mulai ditambang 2019), Deep Ore Zone (berhenti produksi 2021), Deep Mill Level Zone (dibuka 2004), dan Big Gossan (mulai berproduksi 2009).
“Dalam sehari kami kerja 12 jam. Dalam seminggu lima hari kerja,” ujar Panji via telepon.
Proses produksi di tambang bawah tanah PTFI berlangsung 24 jam dalam sehari, tujuh hari dalam sepekan. Tidak pernah berhenti.
Untuk mengantisipasi risiko kecelakaan kerja, Panji mengatakan bahwa para pekerja mendapatkan pelatihan keselamatan saat pertama kali bergabung ke PTFI.
Pelatihan itu mencakup protokol menghadapi batuan jatuh, luncuran material basah, kebakaran, dan gas beracun. Panji berkata, para pekerja PTFI wajib mengulangi pelatihan tersebut dua kali dalam setahun.
“Setiap pagi kami juga pasti ada evaluasi terkait keamanan kerja. Memang *safety* di Freeport itu…aduh, ketat sekali,” ujarnya.
“Semua pekerja wajib ikut. Kalau tidak ikut ada sanksi. Konsekuensinya, bagi yang belum ulangi pelatihan, tidak boleh bekerja,” kata Panji.
Meskipun demikian, pelatihan yang terus berulang itu tidak membuat rasa cemas Panji hilang begitu saja. Rasa khawatir, menurutnya, adalah bagian dari jati diri manusia.
“Kalau dengar bunyi batu retak, bunyi material basah, atau lihat luncuran material basah, tetap saja, kami lari,” ujarnya.
Bunyi-bunyi itu didengar Panji setiap hari di tambang bawah tanah. Ia berkata bahwa bunyi itu dipicu oleh teknik penambangan PTFI yang berbasis peledakan untuk membuat bijih mineral retak.
Dengan metode *block caving* itu, bijih mineral—yang mengandung perak, tembaga, dan emas—merekah, lalu berjatuhan secara perlahan karena terdorong gravitasi.
“Jadi saat ada aktivitas kendaraan berat atau peledakan, batuan itu mengalami tekanan, pecah atau merekah,” kata Panji.
Panji berkata bahwa PTFI mengembangkan sistem pengaman yang dapat menyangga batuan jatuh—agar tidak menimpa para pekerja di bawah tanah.
Namun, berbagai siasat mitigasi itu tidak bisa menghindarkan Panji dari peristiwa batuan jatuh dan juga luncuran material basah. Bertugas menganalisis perubahan kondisi batuan, ia kerap masuk ke lubang-lubang tak berpenyangga.
“Suatu hari batuan di atas kepala saya, karena tekanan tadi, pecah. Suaranya seperti ledakan,” kata Panji tentang pengalamannya di blok Deep Mill Level Zone.
“Saya lepas semua alat-alat, lari sekuat tenaga ke jalur evakuasi,” tuturnya.
Pada peristiwa lainnya di blok Deep Ore Zone, Panji berhadapan pada luncuran material basah.
“Hari itu kami sedang mengukur dinding terowongan panel produksi, tiba-tiba seperti di video yang beredar, material basah keluar, meluncur dari atas,” ujarnya.
“Kecepatannya tidak terlalu kencang, tapi bunyinya seperti tanah longsor, terdengar dari dalam lubang. Itu menakutkan,” kata Panji.
Saya lantas bertanya kepada Panji: dengan risiko yang mengancam nyawa, mengapa banyak orang bersedia bekerja di tambang bawah tanah PTFI?
“Mungkin ini masalah kebutuhan,” jawabnya.
“Orang-orang tergiur dengan penghasilan yang lumayan. Kerja di *underground* gila gajinya,” kata Panji.
Namun, beberapa tahun lalu, Panji merasa dirinya tak semestinya terus bekerja atas dasar mengejar uang atau demi menuntaskan mimpi seorang sarjana pertambangan.
Sebelum memutuskan berhenti dari PTFI, Panji merasa “berada di persimpangan”.
“Saya merasa cukup, bahwa saya harus keluar, mencari pekerjaan yang lebih santai,” ujarnya.
Pengalaman yang dialami Panji juga dirasakan Bangun Samosir. Bangun empat dekade lebih dulu bekerja di PTFI ketimbang Panji.
Bangun, pada dekade 1980-an, bekerja dalam proyek pengembangan blok tambang bawah tanah Gunung Bijih Timur. Pada satu peristiwa di lokasi itu, Bangun pernah nyaris tertimpa batuan jatuh.
“Waktu itu saya kerja sampai 28 jam, lebih dari satu hari. Saking capainya, saya duduk di bukaan panel yang baru diledakkan,” kata Bangun.
“Tiba-tiba batu sebesar lemari jatuh di samping kaki saya. Saya sudah tidak berpikir akan selamat waktu itu,” ujarnya.
Sejak saat itu, selama kariernya di PTFI, Bangun berusaha meredam kecemasan saat bekerja di bawah tanah. Rasa takut, menurutnya, justru akan mengurangi kesigapan untuk menyelamatkan diri.
“Jangan terlalu mengkhawatirkan kecelakaan kerja supaya bisa waspada,” ucapnya.
“Bagi saya pribadi, kalau sudah masuk ke dalam tanah, saya tidak mengharapkan diri saya hidup.”
“Itu untuk melepas stres. Semakin stres, tingkat kecelakaan kerja makin tinggi,” kata Bangun.
Bisakah PTFI menghindarkan pekerja mereka dari dampak luncuran material basah?
Sebuah penelitian internal PTFI dipaparkan pada sebuah konferensi geomekanika di Australia pada tahun 2024. Merujuk riset itu, luncuran material basah pertama kali terjadi di tambang bawah tanah PTFI pada tahun 1989.
Peristiwa itu diyakini terjadi sebagai imbas dari proses kominusi, atau peremukan bijih mineral di bawah tanah, serta curah hujan tinggi di sekitar area pertambangan.
Riset internal PTFI itu menyebutkan bahwa produksi di blok tambang Deep Ore Zone dari tahun 1996 hingga 2021 memberikan banyak pengalaman tentang peristiwa luncuran material basah.
Dari rentetan kejadian itu, PTFI disebut terus memperbaiki teknis produksi, termasuk mengurangi aktivitas pekerja dengan menggunakan peralatan yang dikendalikan jarak jauh.
Riset itu mengklaim, PTFI membangun blok tambang Grasberg Block Cave dan Deep Mile Level Zone berdasarkan evaluasi luncuran material basah di Deep Ore Zone.
Di tengah berbagai klaim dan mitigasi keselamatan yang dikembangkan PTFI, Ridho Wattimena, profesor ilmu pertambangan di ITB, menyebutkan bahwa risiko luncuran material basah tidak bisa sepenuhnya ditekan.
Alasannya, kata Ridho, hingga saat ini tidak ada teknologi yang bisa memprediksi volume material basah di sebuah blok tambang bawah tanah.
Ridho mengatakan bahwa ia mengetahui betul berbagai aspek pertambangan bawah tanah PTFI. Dalam studi doktoralnya, Ridho secara spesifik membahas metode *block caving* yang dijalankan oleh PTFI.
“Yang dijadikan acuan terkait luncuran material basah adalah Freeport karena mereka lebih berpengalaman dibandingkan tambang-tambang lainnya,” kata Ridho.
“Tapi saya belum pernah dengar metode untuk memprediksi volume material basah,” ujarnya.
Metode penambangan *block caving* yang digunakan PTFI, kata Ridho, akan selalu menciptakan material basah. Peledakan bijih mineral menciptakan butiran bijih yang pada saat tertentu bercampur dengan air tanah—yang volumenya bisa meningkat saat curah hujan tinggi.
“Selama ini, volume luncuran material basah di Freeport mungkin kecil jadi masih bisa diatasi dengan standar operasional yang diterapkan. Tapi yang baru-baru ini terjadi sangat-sangat besar,” ujar Ridho.
Bagaimanapun, Ridho menyebutkan bahwa investigasi menyeluruh terhadap luncuran material basah di Grasberg Block Cave vital untuk dilakukan. Investigasi itu disebutnya harus digelar oleh pemerintah, melalui inspektur pertambangan di Kementerian ESDM.
Kepala Inspektur Tambang ESDM kini dijabat Hendra Gunawan, yang dilaporkan telah berada di Tembagapura beberapa hari usai kejadian.
“Pemerintah harus bikin tim investigasi independen untuk melihat apa yang terjadi, prosedur apa yang diterapkan dan bagaimana caranya agar ke depan tidak terjadi lagi,” kata Ridho.
Ridho, pada tahun 2013, ditunjuk oleh Jero Wacik, Menteri ESDM kala itu, untuk memimpin tim investigasi peristiwa runtuhnya batuan di blok tambang Big Gossan milik PTFI. Peristiwa itu menewaskan 28 pekerja.
“Pemerintah harus mewajibkan Freeport melakukan investigasi,” ujar Ridho.
Dalam pernyataan tertulisnya, PTFI berjanji akan mengusut luncuran material basah yang telah merenggut nyawa pekerja mereka ini. Tim investigasi yang mereka bentuk dijanjikan memuat sejumlah pakar dari luar manajemen PTFI.
“Investigasi diwacanakan selesai tahun 2025 ini,” tulis PTFI.
Kontributor Endy Langobelen melaporkan dari Timika, Nofika Dian Nugroho dari Ponorogo, dan Liliek Dharmawan dari Cilacap.
* Kisah orang asli Papua tolak blok minyak terbesar di Indonesia – Tak mau ‘tragedi bom’ 1977 terulang
* ‘Bom-bom itu dijadikan lonceng di balai kampung dan gereja’ – Orang asli Papua di Agimuga dan trauma tentang Peristiwa 1977
* ‘Perusahaan masuk tanpa penjelasan, jadi kami anggap mereka sebagai pencuri’ – Apakah pertambangan sejahterakan orang asli Papua?