Tragedi Masjid Agung Sibolga: Pengeroyokan Maut & Fungsi Masjid Sebenarnya

Posted on

Lima tersangka pelaku pengeroyokan terhadap Arjuna Tamaraya (21) yang berujung kematian di Masjid Agung Sibolga, Sumatra Utara, telah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Peristiwa tragis ini tidak hanya mengungkap tindak kriminal keji, tetapi juga menyoroti adanya penyempitan fungsi masjid yang mulai kehilangan inklusivitasnya, demikian disampaikan oleh seorang pengamat.

“Pergeseran fungsi ini sangat dipengaruhi oleh bertumbuhnya fanatisme sempit dalam memahami agama. Ditambah lagi, pergeseran masjid sebagai ruang kekuasaan lokal bagi sebagian pihak yang kemudian membatasi masjid dari fungsi awalnya yang lebih inklusif,” jelas Amanah Nurish, seorang Antropolog dari Universitas Indonesia, kepada BBC News Indonesia pada Selasa (04/11).

Saat ini, kelima tersangka, yakni Chandra Lubis (38), Rismansyah Efendi Caniago (30), Zulham Piliang (57), Hasan Basri (46), dan Syazwan Situmorang (40), dijerat dengan Pasal 338 subsider Pasal 170 ayat 3 KUHPidana terkait pembunuhan. Khusus untuk Syazwan, polisi menambahkan Pasal 365 ayat 3 karena terbukti mengambil uang korban sebesar Rp10 ribu setelah aksi pengeroyokan.

Perkara keji ini terjadi pada Jumat (31/10) malam. Arjuna, seorang nelayan muda, datang ke Masjid Agung Sibolga dengan niat mulia untuk beristirahat di serambi depannya setelah lelah beraktivitas. Namun, harapannya untuk mendapatkan ketenangan ditolak mentah-mentah oleh sejumlah warga sekitar. Ia kemudian diusir dan diperlakukan dengan kekerasan yang tak terduga.

Aksi kekerasan brutal ini membuat Arjuna tidak sadarkan diri dan pada akhirnya dinyatakan meninggal dunia di RSUD Dr. F.L. Tobing Sibolga pada Sabtu (01/11). Keluarga Arjuna yang berada di Simeulue, Aceh, menuntut keadilan dan hukuman yang setimpal bagi para pelaku yang telah merenggut nyawa pemuda itu.

“Itu terlalu sadis, tidak ada rasa kemanusiaan mereka, terlalu brutal. Kalau bisa, kalau pun tidak hukuman mati, ya, seumur hidup,” ujar paman Arjuna, Kausar Amin (38), dengan nada penuh duka.

Kasatreskrim Polres Sibolga, AKP Rustam E. Silaban, menegaskan komitmennya untuk mengusut tuntas kasus ini. “Kami tidak akan mentolerir tindakan kekerasan, apalagi yang terjadi di lingkungan rumah ibadah,” tegas Rustam, memberikan jaminan akan proses hukum yang adil.

Motif para pelaku disebut polisi karena tersinggung pada korban yang tidak mengindahkan larangan mereka untuk beristirahat di masjid. Namun, polisi dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada larangan untuk istirahat di masjid. Mereka menegaskan bahwa kejadian ini murni kriminal, dan para pelaku terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara.

Bagaimana kronologi kejadiannya?

Berikut adalah kronologi tragis pengeroyokan Arjuna Tamaraya berdasarkan penyelidikan polisi:

Jumat, 31 Oktober 2025, pukul 01.30 WIB: Korban Arjuna menghampiri tersangka Zulham untuk meminta izin tidur di masjid. Namun, Zulham menolaknya tanpa memberikan alasan yang jelas.

Pukul 02.00 WIB: Hasan, yang sedang tidur di lantai 2 masjid, mengaku mendengar suara teriakan aneh seperti orang kerasukan. Ia kemudian turun ke lantai bawah dan menemukan korban tidur di serambi masjid. Hasan berusaha membangunkannya, tetapi tidak ada respons. Ia lalu memanggil Zulham dengan menyalakan senter handphone.

Setelah itu, Zulham berusaha membangunkan korban hingga Arjuna terbangun. Namun, korban hanya menatap keduanya dan kembali melanjutkan tidurnya. Melihat respons tersebut, Zulham memanggil Chandra, Rismansyah, dan Syazwan. Kekerasan pun dimulai. Chandra menarik baju korban hingga Arjuna yang semula telungkup menjadi berdiri. Korban sempat hendak melawan, namun Syazwan langsung menendang kepala korban sebanyak dua kali hingga terjatuh. Hasan juga ikut melayangkan tendangan ke bagian kepala yang sama.

Tak berhenti di situ, Syazwan kemudian menginjak kepala dan perut korban. Ia lalu menyeret korban keluar masjid dengan menarik kaki sebelah kanan. Akibat tindakan keji ini, kepala belakang korban terbentur lantai tangga dan mulai berdarah. Setelah korban sampai di depan masjid, Syazwan mengambil uang Rp10 ribu dari kantong korban dan memeriksa tasnya. Ia bahkan mengambil sebelah sandal korban dan menggunakannya untuk memukul pipi korban. Ironisnya, Syazwan juga melempar korban dengan buah kelapa dan menyeretnya di jalanan beraspal.

Rismansyah yang ikut serta, kembali menginjak kepala korban dan menyiramnya dengan air. Korban sempat berusaha duduk, tetapi Zulham memukul kepala dan menendang punggung korban hingga kembali jatuh tak berdaya. Rismansyah dan Zulham pun kembali menginjak korban hingga akhirnya Arjuna tidak sadarkan diri.

Pukul 04.45 WIB: Marbot masjid melihat dari rekaman CCTV ada warga berkumpul di parkiran masjid. Bersama rekannya, ia menghampiri kerumunan tersebut dan menemukan korban yang terluka parah dan sudah tidak sadarkan diri. Warga segera memanggil polisi dan membawa korban ke rumah sakit.

Pukul 05.55 WIB: Tragisnya, korban Arjuna Tamaraya dinyatakan meninggal di RSUD Dr. F.L. Tobing Sibolga, tak lama setelah tiba.

‘Dia tulang punggung keluarga’

Kausar Amin (38), paman Arjuna, tidak mampu menahan air matanya saat bercerita. Ia tidak menyangka bahwa pesan yang masuk melalui aplikasi media sosial beberapa pekan lalu menjadi percakapan terakhirnya dengan Arjuna Tamaraya (21). Arjuna tewas dianiaya oleh lima orang lelaki saat hendak beristirahat di Masjid Agung Sibolga pada Jumat (31/11/2025) – sebuah tanggal yang tercetak sebagai hari paling kelam bagi keluarga.

Kausar adalah abang kandung dari ayah korban yang juga telah meninggal dunia karena sakit pada 21 April 2025. Selepas kepergian ayahnya, Arjuna dengan tegar mengemban peran sebagai tulang punggung keluarga dan bekerja keras sebagai nelayan, menopang kehidupan ibu dan adik-adiknya.

“Dia anaknya baik, pendiam, dan suka segan sama orang. Di Sibolga banyak yang kenal sama dia, semua bilang dia anaknya baik,” ujar Kausar kepada wartawan Nanda Fahriza Batubara yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, menggambarkan sosok keponakannya yang bersahaja.

Di mata Kausar, almarhum Arjuna bukan sekadar anak yang santun, namun juga seorang yang rela berkorban demi keluarganya. Sebagai anak kedua dari empat bersaudara dan satu-satunya laki-laki, status tulang punggung otomatis tersemat padanya setelah ibunya menikah lagi.

Sebelum meregang nyawa secara tragis, Arjuna sempat pamit untuk mencari ikan di laut selama lebih dari sebulan. Pekerjaan berat ini dilakoninya bukan hanya untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari, tetapi juga demi membantu biaya kuliah kakak dan adiknya di Banda Aceh, sebuah impian yang ia korbankan untuk keluarganya.

“Dia dulu mau kuliah di Aceh juga, jurusan perikanan rencananya. Tapi karena keterbatasan biaya, karena dua saudaranya juga sedang kuliah, dia mengalah sehingga tidak jadi kuliah. Jadi kalau ada rezekinya, dialah yang bantu biaya kuliah mereka,” cerita Kausar, mengenang cita-cita Arjuna yang harus pupus.

Kausar tidak percaya sedikit pun bahwa pengeroyokan itu dilatarbelakangi oleh perilaku almarhum yang tidak sopan. Sebab, berdasarkan keterangan saksi yang diperoleh pihak keluarga, almarhum sebenarnya sudah meminta izin untuk istirahat di masjid tersebut sebelum melanjutkan aktivitasnya.

“Sebelum mau tidur di masjid itu, dia makan nasi goreng. Dia permisi sama ibu penjual nasi goreng itu, dia bilang begini ‘bu, boleh saya tidur sebentar di situ, saya ngantuk.’ Dijawab ibu itu, ‘Boleh, itu kan rumah Allah, rumah kita umat muslim juga’,” ujar Kausar, mengulang percakapan yang menunjukkan niat baik Arjuna.

Nyaris sepekan peristiwa tragis itu berlalu, namun duka mendalam masih terasa begitu pedih bagi keluarga almarhum Arjuna. Ia sempat berencana pulang ke Aceh usai melaut, namun takdir berkata lain. Keluarga sangat berharap aparat penegak hukum menjatuhkan hukuman setimpal bagi para pelaku, demi keadilan bagi Arjuna.

Bagaimana sepatutnya fungsi masjid?

Kasus pengeroyokan di Masjid Agung Sibolga ini memicu diskusi mendalam tentang fungsi masjid yang sebenarnya dalam Islam. Anggota Majelis Pakar Dewan Masjid Indonesia, Yenny Wahid, menjelaskan bahwa sejak dulu, masjid memiliki fungsi yang jauh lebih luas dari sekadar tempat ibadah; ia adalah ruang komunal dan sosial yang vital, selain sebagai pusat spiritual.

“Bahkan juga menjadi ruang diskusi politik dan ruang edukasi. Juga ruang untuk homeless atau orang yang terluka,” ujar Yenny, menyoroti aspek kemanusiaan masjid. Kejadian di Sibolga, Sumatra Utara, tegas Yenny, bertentangan fundamental dengan ajaran Islam yang selalu mengedepankan kebaikan, kasih sayang, dan keadilan. “Pelakunya harus dihukum tegas karena penganiayaan itu,” ucap Yenny.

Pandangan ini sejalan dengan apa yang pernah disampaikan oleh Wakil Presiden RI 2019-2024, Ma’ruf Amin, pada peresmian sebuah masjid di Bogor, Jawa Barat, tahun 2021. “Rasulullah SAW telah memfungsikan masjid tidak hanya sebagai sarana ibadah ritual seperti salat dan membaca Al-Quran, tapi juga memakmurkannya dengan dakwah, pendidikan, serta kegiatan sosial,” jelas Ma’ruf.

Lalu, bagaimana jika masjid digunakan untuk tidur atau beristirahat sementara? Yenny Wahid tak mempermasalahkan hal ini, apalagi dalam konteks seorang musafir atau orang yang sedang melakukan perjalanan jauh, yang memang membutuhkan tempat singgah. Amanah Nurish, Antropolog dari Universitas Indonesia, sepakat. Masjid sejatinya tidak hanya berfungsi sebagai rumah ibadah formal. Jika merujuk pada sejarah pendirian Masjid Nabawi di Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW, masjid ini bahkan sempat menjadi tempat bernaung bagi mereka yang memilih hijrah dari Mekkah ke Madinah, sekaligus menjadi pusat orang-orang belajar memperdalam agama.

“Dari sudut pandang historis, pada zaman awal peradaban Islam, Rasul membangun masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah tapi juga sebagai pusat dakwah. Dakwah ini tidak sempit bicara tentang cara ibadah yang sifatnya formal saja,” kata Amanah. Namun, ia menyayangkan adanya proses tekstualisasi, di mana arti masjid disederhanakan hanya menjadi sekadar tempat salat. Di sisi lain, fanatisme sempit juga turut berperan dalam pergeseran fungsi masjid yang kian sempit dan eksklusif.

“Kembali lagi secara historis, masjid itu harus terbuka untuk semua kalangan. Bahkan pada zaman Rasul juga terbuka untuk orang-orang yang tidak beragama Islam. Nah ini dari waktu ke waktu, terutama di sini, bergeser masjid seolah-olah hanya tempat ibadah yang semakin sempit dan eksklusif,” jelasnya, prihatin terhadap perubahan ini. Amanah pun menyoroti ironi bertumbuhnya jumlah masjid di Indonesia dengan bangunan yang megah, namun tidak sejalan dengan kualitas kesalehan sosial.

“Jumlah masjid setiap tahun bertambah. Tapi apakah kualitas kesalehan sosial kita bertambah? Tidak, justru mundur. Jadi, orang-orang kita itu memahami seolah-olah kesalehan itu hanya dalam ibadah formal. Hanya kesalehan ritual.” Ia menekankan bahwa kesalehan sosial, salah satunya, termasuk mengasihi orang-orang yang membutuhkan, tertindas, dan tidak mendapat keadilan, seperti yang termaktub dalam Al-Quran. “Para musafir ini kan membutuhkan, harus disayangi dong karena tidak punya tempat istirahat. Apalagi masjid ini kan rumah Allah dan dulu kan tidak pernah ada masalah,” ucap Amanah.

Riset bertajuk “The Broader Political Significance of Houses of Worship: Theory and Evidence from Indonesian Mosques” yang ditulis Nathanael Gratias Sumaktoyo menemukan situasi serupa: pertumbuhan masjid yang pesat tak sejalan dengan toleransi dan inklusivitas. Nathanael menganalisis data lokasi lebih dari 300.000 masjid, data panel dari lebih dari 16.000 responden, dan sensus 2010. Terekam dari 1990-2022, jumlah masjid meningkat sekitar 80%, dari 155 ribu menjadi 280 ribu. Sebagai perbandingan, pertumbuhan populasi Indonesia dari 1990-2020 meningkat sekitar 50%.

Hasil analisis menunjukkan bahwa pertumbuhan masjid ini seringkali terkait dengan sikap penolakan terhadap isu-isu non-Islam, baik itu tetangga beda agama, keberadaan rumah ibadah lain, atau pernikahan beda agama. Hasil riset juga memperlihatkan adanya keterikatan kuat pada kelompok lokal sendiri, sehingga di luar kelompok tersebut, bahkan yang seagama, tetap ada batasan. Temuan ini berhubungan dengan peran masjid sebagai saluran informasi dan komunikasi dalam komunitas, namun persoalannya adalah fungsi penting ini seringnya tidak disertai diskursus kritis, bahkan kadang cenderung searah. Alih-alih meningkatkan religiusitas atau memperkuat identitas agama, yang terjadi justru bentuk intoleransi dan tidak inklusif.

Isu premanisme di lingkungan keagamaan

Melihat perkara di Sibolga ini, antropolog dari UI, Amanah Nurish, juga menyebutnya sebagai salah satu fenomena premanisme di ruang ibadah. Dalam konteks ini, pelaku seolah memiliki kuasa penuh terhadap ruang masjid tersebut, sehingga berani melarang orang lain beristirahat atau tidur di sana, padahal ironisnya, pelaku juga tengah tidur di dalam masjid.

“Kita melihat Indonesia seolah-olah premanisme itu kaitannya dengan hal-hal di luar konteks urusan agama atau tempat ibadah bahkan. Bentuknya dalam ormas misalnya,” ujar Amanah. “Nah, sekarang buktinya premanisme terjadi di dalam ruang-ruang ibadah itu sendiri. Pertanyaannya adalah kenapa? Saya bilang ini dampak juga dari adanya kegagalan di dalam berdakwah.”

Amanah menjelaskan bahwa tempat ibadah, khususnya masjid, kini kerap menjadi ruang kekuasaan bagi pihak-pihak tertentu. Menurutnya, siapa pun yang berafiliasi atau kerap berada di masjid – entah sebagai pengurus, takmir, atau marbot – seringkali mendapatkan kapital simbolik sebagai kekuatan. “Ruang ibadah di Indonesia itu, siapapun yang nempel menjadi bagian dari masjid entah pengurus, entah takmir, entah marbot, entah apapun itu. Itu tuh memang menjadi kapital simbolik sebagai power,” ujar Amanah.

“Nah, persoalannya adalah siapa yang di situ. Ya, ternyata isinya orang preman-preman. Jangan dikira masjid itu ruang aman. Menurut saya, di Indonesia ini masjid bukan ruang aman lagi untuk saat ini, terutama masjid-masjid kecil yang rentan dijadikan ruang kekuasaan.”

Abdil Mughis Mudhoffir, dalam tulisannya “Indonesian vigilantes are voicing a conservative Islam, but they are not becoming terrorists”, menuturkan bahwa pasca Reformasi 1998, kelompok preman yang berkaitan dengan agama banyak bermunculan. Sebagian besar berdalih untuk upaya penegakan moralitas Islam. Hal ini berbeda dengan era Soeharto, di mana kelompok preman umumnya mengusung sentimen nasional dan mengklaim sebagai pembela Pancasila.

Menguatnya konservatisme Islam pasca reformasi ini tidak bisa dilepaskan sebagai respons atas meningkatnya kerentanan ekonomi dan kekecewaan politik. Perkembangan zaman modern dengan industrialisasi yang pesat diklaim akan memperbesar jumlah kelas menengah terdidik yang menjadi tulang punggung lahirnya masyarakat sekuler dan politik demokrasi yang liberal. Namun di Indonesia, perkembangan zaman hingga kini pada kenyataannya justru menghasilkan kecemasan sosial-ekonomi.

Bahkan menurut catatan World Bank, kelas menengah Indonesia yang bertumbuh saat ini adalah golongan yang secara ekonomi rentan jatuh kembali menjadi kelas bawah jika terjadi krisis. Akibatnya, golongan ini acapkali memilih berpaling pada agama sebagai langkah mengatasi kecemasan tersebut. Alih-alih mengusung sekularisasi, banyak kelas menengah Muslim justru berpaling pada agama untuk mengatasi kecemasan sosial-ekonomi mereka. Fenomena ini semakin kental terjadi di kalangan menengah ke bawah. Dalam kasus Sibolga ini, tindakan pelaku yang bahkan tega mengambil Rp10 ribu dari kantong korban usai mengeroyoknya hingga meregang nyawa menjadi cerminan nyata dari masalah ini.

Masih adakah masjid yang ramah?

Antropolog dari UI, Amanah Nurish, menekankan bahwa semestinya semua masjid di Indonesia ramah pada semua orang, sebagaimana yang pernah berlaku berpuluh tahun lalu. Namun, pada kenyataannya, rumah ibadah kini seringkali dibatasi bahkan dikunci dan digembok selepas waktu salat. Ada pula masjid yang melarang perempuan untuk datang, atau mengusir anak-anak dengan alasan mengganggu kekhusyukan beribadah.

Konsep masjid yang ramah pun kini menjadi sesuatu yang mendapat perhatian khusus, seperti Masjid Sejuta Pemuda At-Tin di Sukabumi, Jawa Barat. Anggy Sulaiman, salah satu pendiri masjid ini, berangkat dari keresahan dan keinginan tulus untuk menghidupkan kembali fungsi masjid yang ramah bagi semua orang.

“Karena masjid kan menjadi simbol bagaimana agama itu hidup di tengah-tengah masyarakat. Jadi, kalau masjidnya ramah maka akan membuat suasana yang positif di tengah-tengah masyarakat,” ujar Anggy. Ia menambahkan bahwa “Masjid dan keramahan itu semestinya bukan sesuatu yang spesial, karena memang seharusnya seperti itu. Kenapa kemudian Masjid Sejuta Pemuda ini menjadi spesial? Karena hari-hari ini, tidak dikerjakan lagi (keramahan) dengan alasan ketakutan.”

Anggy menyebut sebagian ketakutan itu berupa kekhawatiran kehilangan kotak amal dan piranti masjid lainnya, padahal hal tersebut sebenarnya bisa dicegah tanpa harus mengorbankan keramahan suasana masjid. “Mengurus masjid itu bukan hanya bangunannya, tapi juga manusianya,” katanya, menekankan pentingnya pembinaan karakter jamaah dan pengurus.

Selama dua tahun berjalan, masjid yang dikelola oleh para anak-anak muda ini telah menjadi oase. Mereka menyediakan makanan gratis tiap jam sarapan, makan siang, dan makan malam. Dalam sebulan, tersedia 13.000 porsi makanan dan minuman gratis yang bisa disantap para jamaah maupun siapa pun yang mampir di sana. Makanan dimasak oleh warga sekitar, dan sebagian bahkan diberikan pada warga lansia serta disabilitas yang tidak mampu datang ke masjid.

Masjid ini juga terbuka bagi para musafir dan memberikan keleluasaan untuk singgah maksimal tiga hari, lengkap dengan fasilitas kasur lipat dan bantal. Jumlah musafir yang datang pun silih berganti, mencapai puluhan orang. Ada bagian tertentu yang memungkinkan jamaah untuk duduk-duduk setelah salat, bahkan mereka yang hanya ingin beristirahat sejenak karena lelah di jalan juga diperbolehkan. “Dalam segala kebaikan yang dilakukan itu pasti mengundang kebaikan yang lain, semua ini juga karena ada saja yang infaq sedekah,” kata Anggy.

Kini, masjid ini tengah direnovasi menjadi lebih luas, sehingga bisa menjalankan fungsinya makin optimal. “Masjid harus sebagai tempat yang ramah dan sebagai tempat yang menjadi pusat pelayanan bagi masyarakat,” pungkas Anggy, memberikan harapan akan masa depan masjid yang lebih inklusif.

  • PNS Palembang wajib salat Subuh berjamaah; tugas pemkot ‘bukan mengadministrasi kesalehan individu’
  • Ritual Asyura oleh komunitas Syiah di Bandung sempat dilabeli ‘sesat’ – Apa yang terjadi?
  • Masjid Salafi di Aceh Barat ‘dilarang gelar salat Jumat’ – ‘Setiap kelompok harus saling menghargai’, kata sosiolog
  • Pemprov Jakarta ‘menurunkan’ spanduk seruan tidak mensalatkan warga pro-Ahok
  • Pengeras suara masjid jadi polemik, pemerintah ‘tak bisa intervensi’
  • Jemaah Ahmadiyah Sukabumi: ‘Masjid kami dibakar, jadi sarang kelelawar, dan tidak boleh diperbaiki’

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *