Tragedi Ponpes Al Khoziny: Dramatisnya Evakuasi Korban Reruntuhan oleh Tim Penyelamat

Posted on

Tragedi pilu reruntuhan bangunan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, pada 29 September 2025, menyisakan duka mendalam. Namun, di balik tumpukan beton dan puing yang membisu, terukir kisah heroik tim penyelamat yang tak kenal lelah berjuang mengeluarkan korban.

Dengan sorot mata menerawang, Elfram Yuliawan, anggota SAR Yogyakarta, mengenang kembali saat ia berdiri di hadapan musala Pesantren Al-Khoziny yang ambruk. Di telinganya masih terngiang jelas jerit minta tolong dan panggilan pilu anak-anak yang terperangkap dalam reruntuhan bangunan tersebut. “Kami berusaha terus menenangkan mereka,” ujarnya lirih, menggambarkan betapa mencekamnya suasana saat itu.

Elfram dan timnya sangat menyadari bahwa mereka berpacu dengan waktu. Terbentang ‘golden time’ yang krusial bagi para korban untuk bertahan hidup, waktu yang sangat terbatas mengingat sebagian besar dari mereka menderita cedera serius di dalam reruntuhan. “Waktu peluang hidup ini yang harus saya manfaatkan, dan itu sangat terbatas,” tutur pria berusia 38 tahun itu kepada wartawan Ronny Fauzan di dekat lokasi Ponpes Al Khoziny pada Sabtu (04/10). Namun, misi penyelamatan ini bukan sekadar soal kecepatan, melainkan juga dihadapkan pada kesulitan medan yang ekstrem dan jumlah korban yang tidak sedikit.

Musala itu ambruk secara tragis pada pukul 15.00 WIB, saat proses pengecoran lantai tiga tengah berlangsung dan salat Asar berjamaah sedang dilaksanakan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menduga, tiang pondasi tidak mampu menahan beban pengecoran, menyebabkan bangunan runtuh total hingga ke lantai dasar. Bencana ini menjebak puluhan santri dan pekerja di bawah timbunan material. Kepala Basarnas, Marsekal Madya TNI M. Syafeii, menjelaskan bahwa kondisi reruntuhan bangunan tersebut adalah tipe ‘pancake’, di mana material beton bertumpuk rata dengan celah yang sangat sempit, menambah kompleksitas evakuasi korban.

Emi Freezer, Kasubdit Basarnas, menerangkan alasan krusial mengapa alat berat seperti ekskavator tidak bisa langsung diterjunkan. Ia menganalogikan reruntuhan bangunan sebagai “jaring laba-laba” yang sangat rapuh. “Struktur penyangga benar-benar runtuh total. Intervensi sedikit saja bisa mengubah pola runtuhan dan memicu rambatan getaran ke seluruh sektor bangunan,” jelas Emi. Kerumitan ini diperparah dengan guncangan gempa bermagnitudo 6,5 di lepas pantai Pulau Madura pada 30 September 2025, sehari setelah insiden tersebut. “Gempa waktu itu semakin menyulitkan karena menyebabkan perubahan struktur bangunan,” tambah Elfram, menegaskan betapa berlapisnya tantangan yang dihadapi tim penyelamat.

Berbagai faktor yang rumit itulah yang membuat Elfram Yuliawan mengakui bahwa misi evakuasi korban di Ponpes Al Khoziny ini adalah yang terberat sepanjang kariernya. Padahal, Elfram memiliki rekam jejak panjang dalam operasi penyelamatan, termasuk penugasan di Turki dan Myanmar untuk evakuasi dari bangunan runtuh, serta berbagai lokasi bencana di Indonesia. “Ya, di sini ini [yang terberat],” ungkapnya dengan berat. “Ini karena jumlah korban yang sangat banyak dan kompleksitas kesulitan yang luar biasa,” tambahnya, menggambarkan skala tantangan yang jauh melampaui pengalaman sebelumnya.

Di tengah keputusasaan tragedi reruntuhan itu, secercah harapan muncul saat Elfram mendengar suara-suara minta tolong dari celah-celah sempit. Dengan cepat, ia dan rekan-rekannya berinisiatif menanyakan nama dan usia para korban. Salah satunya adalah Syahlendra Haical, yang bersama rekan-rekannya ditemukan di “titik A2.” “Sabar ya nak, ya,” pinta Elfram dan petugas lainnya, mencoba menenangkan Haical. Sebelum mencoba menjangkau mereka, tim SAR gabungan harus memastikan stabilitas bangunan runtuh untuk menghindari getaran susulan atau perubahan struktur mendadak. Berbagai metode diterapkan: penggunaan shoring dari kayu, ram jack atau dongkrak, serta lifting belt untuk menahan atap yang menjepit Haical. Namun, upaya awal ini hanya berhasil menjangkau bahu Haical, belum cukup untuk mengeluarkannya. Tidak menyerah, tim penyelamat memutar otak dan akhirnya mendapatkan ide brilian: membuat terowongan. “Akses menuju Haical sangat sempit. Kami membuat lubang selebar sekitar 60 sentimeter, dan posisi kami merangkak di dalamnya,” jelas Elfram. Dengan kerja keras dalam posisi tiarap di celah kecil, menembus beton setebal 40 sentimeter, terowongan itu berhasil dibuka. Hanya dalam empat menit yang menegangkan, Syahlendra Haical berhasil dikeluarkan dari jeratan puing. “Kami berusaha semaksimal mungkin, karena keluarganya pasti berharap Haical bisa selamat,” ucap Elfram, menggambarkan betapa terbayarnya segala jerih payah saat melihat korban berhasil dievakuasi.

  • Kesaksian korban selamat Ponpes Al Khoziny: ‘Antara sadar dan mimpi dalam gelap’
  • Gedung Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo runtuh – Korban meninggal mencapai 36 orang
  • Kesaksian santri ikut pengecoran Ponpes Al Khoziny – ‘Seandainya masih di atas bangunan, tentu ikut jatuh’

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *