Tragis! Warga Meninggal Rebutan Beras Bantuan Banjir di Tapanuli Tengah

Posted on

Bupati Tapanuli Tengah Konfirmasi Korban Tewas dalam Rebutan Beras, Krisis Pangan Melanda Pasca Banjir Bandang

Bupati Tapanuli Tengah, Masinton Pasaribu, mengonfirmasi adanya korban jiwa dalam insiden perebutan beras yang terjadi di gudang Bulog Tapanuli Tengah, Sumatra Utara, pada Sabtu (29/11) lalu. Tragedi ini menambah pilu bagi warga yang tengah berjuang mengatasi dampak banjir dan longsor yang melanda wilayah tersebut.

“Yang meninggal dunia satu ibu, anaknya satu dalam perawatan,” ungkap Masinton pada hari Selasa (02/12), meskipun ia belum memberikan rincian lebih lanjut mengenai identitas korban maupun kronologi kejadian.

Menurut saksi mata, insiden yang disebut sebagai “penjarahan” ini bermula dari antrean panjang program “tebus beras murah” yang kemudian berubah menjadi kekacauan. “Karena sudah terlalu padat [antrean] di situ, jadi rusuh orang,” ujar seorang saksi.

Peristiwa tragis ini terjadi setelah Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga terisolasi selama berhari-hari akibat banjir dan longsor yang melanda sejak Selasa (25/11). Selain insiden di gudang Bulog, sebagian warga juga dilaporkan mengambil paksa barang-barang kebutuhan di supermarket.

Upaya Hukum dan Realita di Lapangan

Pihak kepolisian telah menangkap 16 orang terkait dengan insiden di supermarket, namun mengklaim akan mengupayakan restorative justice, sebuah pendekatan penyelesaian di luar jalur hukum.

Di sisi lain, ahli pangan menyoroti rumitnya birokrasi dalam prosedur penyediaan pangan saat kondisi darurat. Mereka berpendapat bahwa insiden perebutan dan penjarahan beras di gudang Bulog seharusnya dapat dihindari dengan persiapan cadangan pangan yang memadai.

Kondisi di Tapanuli Tengah dan Sibolga masih memprihatinkan, dengan listrik, internet, air bersih, dan kebutuhan pangan yang sempat terputus total. Meskipun beberapa titik sudah mulai teraliri listrik, termasuk sinyal seluler yang masih belum stabil, antrean untuk mendapatkan beras dan BBM masih menjadi pemandangan sehari-hari. Sebagian besar warung dan toko sembako masih tutup.

Kisah di Balik Kekacauan: Apa yang Terjadi di Gudang Bulog?

Informasi mengenai jumlah korban meninggal dalam kericuhan di gudang Bulog Tapanuli Tengah masih simpang siur. Namun, konfirmasi dari Bupati Masinton Pasaribu membenarkan adanya korban jiwa, seorang ibu yang meninggal dunia dan anaknya yang sedang menjalani perawatan.

Leonvi, seorang saksi mata yang melintas di dekat gudang Bulog di Jalan Padang Sidempuan, menuturkan bahwa insiden terjadi saat ada program “tebus murah” beras dari Bulog. “Tapi karena sudah terlalu padat di situ, jadi rusuh orang,” katanya. Akibatnya, lalu lintas lumpuh total selama sekitar dua jam, hingga akhirnya Leonvi memilih berjalan kaki. Ia menyaksikan kendaraan yang terparkir tak beraturan dan orang-orang keluar dari gudang sambil menggendong karung beras. “Ada yang 50kg, ada yang sampai dua karung dibawa juga 50kg, pokoknya ricuh lah di situ,” tambahnya.

Leonvi juga mendengar kabar adanya korban meninggal akibat tertimpa karungan beras dan terinjak-injak di gudang Bulog, bahkan menyebutkan angka enam orang meninggal dan dua sekarat. Namun, BBC News Indonesia belum dapat memverifikasi informasi ini secara independen.

Penjarahan beras di gudang Bulog menjadi bagian dari serangkaian aksi serupa di minimarket lainnya, yang videonya kemudian viral di media sosial. Polisi telah menangkap 16 orang dalam insiden ini, yang disebut sebagai “penjarahan” di minimarket.

Kasi Humas Polres Sibolga, AKP Suyatno, menyatakan bahwa belasan warga yang mengambil barang di gerai tanpa membayar akan menempuh Restorative Justice (RJ) atau penyelesaian di luar proses hukum. “Rencananya mau di-RJ-kan, sudah ada petunjuk dari pimpinan atas, akan dilaksanakan,” kata Suyatno. Mereka dituduh mengambil sejumlah barang kebutuhan, seperti minuman dan makanan kemasan, gula, hingga perlengkapan mandi seperti sabun. Insiden ini terjadi di Kota Sibolga dan sekitarnya setelah bantuan tak kunjung tiba lebih dari tiga hari pascabencana.

Untuk mencegah penjarahan lebih lanjut, petugas gabungan dari Polisi dan TNI kini berjaga di depan minimarket atau swalayan di Kota Sibolga.

Jeritan Warga: ‘Uang Kami Tidak Laku’

Lina Situmorang, seorang warga Kota Sibolga, mengaku ikut terdampak bencana banjir dan longsor. Banyak akses menuju keluar dari kediamannya masih tertutup material. Ia mengungkapkan bahwa dirinya memiliki kebiasaan menyetok makanan seminggu sekali.

Beruntung, dua hari sebelum bencana, Lina sudah membeli bahan-bahan makanan, yang membuat keluarganya bertahan berhari-hari tanpa bantuan dari luar. Namun, persediaan makanan tersebut kini sudah habis, dan keluarganya hanya bisa makan nasi putih. Kebutuhan perut semakin mendesak.

“Dari memasak pun kita bahan-bahan makanan di rumah tidak ada. [bahan-bahan] yang mau dibeli pun tidak ada,” kata ibu dari empat anak ini. Menurut Lina, sampai hari ini, “warung, pasar tutup semua”. “Warung-warung kecil nggak ada yang berani buka. Takut dijarah, mati nanti orangnya,” katanya. Harga telur melonjak menjadi Rp.5.000 per butir, itupun sulit didapatkan. “Uang kami nggak laku. Mohonlah dulu bantuannya,” kata Lina dengan nada hampir putus asa.

Situasi Terkini di Sibolga dan Sekitarnya

Bella Victoria, seorang pekerja di media lokal Radio Tapanuli, pada hari Selasa (02/11), menyaksikan masih banyak antrean di Sibolga dan sekitarnya, mulai dari bank, BBM, hingga beras dari Bulog. “Bank BCA dan juga Bank BRI [sudah buka] yang sampai sekarang masih antrean panjang,” katanya.

Selain itu, beberapa lokasi juga sudah dialiri listrik. Namun, antrean beras menjadi masalah yang paling menonjol. “Semakin banyak, di sini. Sudah berlangsung sekitar 2-3 hari. Dan orang-orang masih mengantre untuk bulog. Dan juga untuk toko-toko masih banyak yang tutup,” kata Bella.

Ia juga mengatakan bahwa bantuan sejak banjir bandang 25 November sudah mulai masuk melalui helikopter, “namun masih belum rata,” tambahnya. Daerah perkotaan seperti Sibolga Julu sudah mulai pulih, namun desa-desa kecil seperti Hutanabolon, Sitahuis, dan Sipangi masih memerlukan pemerataan dalam pembagian sembako.

Bella juga menyoroti keterbatasan persediaan bahan pangan di pertokoan, yang menyebabkan warga “memerlukan untuk mempunyai dana yang cukup besar untuk bisa bertahan hidup di Sibolga Tapteng ini.” Ia meyakini bahwa tidak semua warga memiliki dana yang cukup, karena harta mereka sudah direnggut oleh bencana, yang memicu terjadinya penjarahan. “Kita doakan tidak ada kasus-kasus kejahatan yang meningkat,” tambahnya.

Kekhawatiran Penyakit Pascabanjir

Selain kebutuhan pangan yang mendesak, warga di Sibolga dan sekitarnya saat ini juga mengalami krisis air bersih. Damai Mendrofa, seorang warga Tapanuli Tengah di Kecamatan Pandan, mengatakan bahwa masyarakat saat ini memanfaatkan air parit untuk kebutuhan mencuci. “Di parit-parit, aduh, sakit, nangis. Tidak, tidak bisa saya katakan [berkata-kata],” katanya terisak.

Mendrofa juga mengkhawatirkan penggunaan air yang tidak steril ini akan menimbulkan penyakit di kemudian hari, karena PDAM masih belum pulih. “Masyarakat akan susah minum, masyarakat akan susah mandi, pakaiannya akan semakin tidak steril,” katanya.

Dampak ikutan lainnya adalah potensi penyakit dari polusi. Sejauh ini, masyarakat sudah mulai membakar sampah di depan rumah masing-masing. “Kalau pengangkutan sampah tidak baik, maka pilihan terakhir masyarakat adalah [sampah] dibakar… itu semua dilakukan dalam skala besar, dalam skala masif, maka ini akan menjadi sumber penyakit bagi masyarakat,” katanya.

Lodewik FS. Marpaung, warga Tapanuli Tengah lainnya, mengatakan bahwa sebagian masyarakat juga memanfaatkan air sumur. Air sungai sudah tidak berfungsi sama sekali karena “kalau [menggunakan air] sungai, semua kuning. Bau tercemar karena banyak bangkai,” tambahnya.

Urgensi Cadangan Pangan Daerah

Khudori, Pengurus Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), menduga bahwa penjarahan minimarket dan gudang Bulog di Sibolga dan sekitarnya dipicu oleh keterlambatan logistik bantuan akibat kondisi wilayah yang terisolasi. “Bencana banjir dan longsor yang terjadi tidak hanya merenggut banyak korban jiwa dan luka, tapi juga merusak infrastruktur jalan. Ketika jalan putus atau rusak, distribusi logistik terganggu,” katanya.

Menurutnya, bencana seperti banjir dan longsor yang sudah rutin terjadi di Indonesia semestinya menyadarkan “otoritas yang berkuasa untuk menyiapkan segala sesuatunya dengan baik”. “Terbukti kali ini otoritas yang berkuasa tampak kewalahan menghadapi situasi lapangan,” tambahnya.

Terkait dengan kebutuhan pangan mendesak di saat darurat, pemerintah sebenarnya memiliki instrumen cadangan pangan pemerintah (CPP) yang setiap saat bisa digerakkan untuk melayani kebutuhan bencana dan darurat, termasuk darurat pascabencana.

“Bahkan, dalam Peraturan Badan Pangan Nasional (Bapanas) No. 30/2023 tentang Penyaluran CPP untuk Menanggulangi Bencana dan Keadaan Darurat, pangan yang bisa disalurkan ada sembilan jenis: beras, bawang, cabai, daging unggas, telur unggas, daging ruminansia, gula konsumsi, minyak goreng, dan ikan kembung,” kata Khudori.

Namun, ia menilai bahwa prosedur penyaluran untuk bencana dan keadaan darurat dalam Peraturan Bapanas ini terbilang cukup panjang dan “kental nuansa birokratisnya apabila dibandingkan dengan mekanisme penyaluran sebelumnya yang diatur dalam Peraturan Menteri Sosial No. 22/2019 tentang Prosedur dan Mekanisme Penyaluran Cadangan Beras Pemerintah (CBP) untuk Penanggulangan Keadaan Darurat Bencana dan Kerawanan Pangan Pasca Bencana”. Diduga, prosedur birokratis ini memperlambat penyaluran CBP ke warga.

Pada prosedur yang baru, kepala daerah dan menteri atau kepala lembaga mengajukan penyaluran CPP kepada Kepala Bapanas, disertai dengan jumlah penerima, organisasi pemda yang menyalurkan, dan kesanggupan menanggung biaya distribusi, termasuk dilampiri penetapan status keadaan darurat bencana. Setelah itu, Bapanas menganalisis, baru kemudian menugaskan Bulog.

“Selain BULOG, Bapanas juga bisa menugaskan BUMN Pangan lain. Sebelum menugaskan penyaluran CPP kepada BULOG/BUMN Pangan dengan jumlah tertentu, sesuai Pasal 11 Ayat 2 Peraturan Bapanas No. 30/2023,” katanya. Pada tahapan berikutnya, Bapanas mesti mendapatkan persetujuan dari RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) atau Menteri BUMN jika menugaskan BUMN Pangan lain.

Khudori mencontohkan penanganan tsunami di Aceh pada Desember 2004 dan gempa di Yogyakarta pada Mei 2006. Saat itu, gubernur, bupati/wali kota meminta Bulog menyalurkan CBP pada saat terjadi bencana. “Saat itu komputer macet dan aliran listrik mati, boro-boro mencari mesin ketik. Otoritas berwenang hanya menuliskan permintaan CBP ke Bulog di kardus mi instan. Yang penting, ada yang mencatat baik-baik. Setelah situasi memungkinkan, pemda dan Bulog menyusun laporan. Saat itulah kebutuhan administrasi dilengkapi,” katanya.

“Intinya, berkaca dari kejadian tsunami Aceh dan gempa di Yogyakarta, taat prosedur tentu harus. Akan tetapi, kecepatan penanganan dengan menyesuaikan situasi lapangan harus jadi pilihan utama.”

Ia menambahkan, keterlambatan penyaluran bantuan, baik pangan, minuman maupun logistik lain, tidak saja bisa berujung penjarahan tapi juga mengancam keselamatan warga. “Jangan sampai karena taat prosedur justru ada nyawa melayang,” katanya. Selain itu, ia juga menyoroti cadangan pangan yang tidak merata di daerah, padahal cadangan pangan ini sangat penting di saat-saat darurat seperti bencana. “Pembelajaran penting bahwa cadangan pangan itu penting, seberapa pun besarnya. Jadi kalau ada urgensi, ada situasi terurat, itu setiap saat bisa digerakkan [salurkan],” katanya.

Dalam keterangan lainnya, Menteri Sosial Syaifullah Yusuf menepis insiden yang disebut penjarahan di gudang Bulog Tapanuli Tengah dan Sibolga. “Kan sudah dijelaskan sama Kepala BNPB ya bahwa itu bukan penjarahan, memang dibagi-bagi ke masyarakat,” kata Gus Ipul, sapaan Saifullah, seperti dikutip dari Tempo.co, Selasa, (02/12). Ia mengakui bahwa pengiriman logistik ke wilayah Sibolga dan sekitarnya terlambat karena kerusakan infrastruktur dan jalur jalan yang tertimbun tanah longsor. “Pemerintah mengerahkan seluruh kekuatan di bawah komando Kepala BNPB, serta dibantu juga oleh Kapolri dan Panglima TNI,” kata Gus Ipul.

Berdasarkan data teranyar dari BNPB pada Selasa (02/12) pukul 21:04 WIB, jumlah korban meninggal menyusul banjir dan longsor di Sumatra mencapai 744 jiwa. Badan ini juga melaporkan 551 jiwa belum ditemukan, dan 2.600 korban luka. Di Sumatera Utara, korban jiwa mencapai 301 jiwa, dan 163 orang dinyatakan hilang. Para korban tersebar di Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Pakpak Bharat, Kota Padangsidimpuan, Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Nias.

Nanda Fahriza Batubara di Medan, Bella Victoria dan Leonvi di Tapanuli Tengah berkontribusi dalam reportase ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *