Jcaristyle.co.id – Nama Mantan Perdana Menteri (PM) Inggris, Tony Blair, kembali menjadi sorotan tajam di tengah krisis Gaza. Meski banyak pihak, baik di dunia Arab maupun Inggris, masih menganggapnya sebagai penjahat perang akibat perannya dalam invasi dan pendudukan Irak 2003 yang didasari tuduhan palsu senjata pemusnah massal, kini Blair dilaporkan terlibat dalam penyusunan rencana 21 poin Donald Trump untuk mengakhiri Perang Gaza. Keterlibatan sosok kontroversial ini sontak menimbulkan keraguan dan perdebatan sengit.
Menurut laporan Al Jazeera, meski peran pasti Blair belum sepenuhnya terungkap, garis besar rencana yang digagas Donald Trump ini sudah mulai jelas. Setelah berbagai upaya perdamaian yang gagal di Gaza, mantan Presiden AS itu kini mengajukan usulan baru yang mengejutkan, salah satunya adalah membuka peluang bagi terbentuknya negara Palestina merdeka di masa depan. Ini adalah perubahan signifikan dari posisi Trump sebelumnya yang kerap menolak solusi dua negara, sebuah gagasan yang kini justru didukung banyak negara Barat seperti Inggris, Prancis, dan Kanada.
Rencana perdamaian Trump mencakup beberapa poin krusial. Di antaranya adalah pembebasan 48 sandera di Gaza sebagai imbalan masuknya bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan, gencatan senjata, dan pembebasan tahanan Palestina dari penjara Israel. Selain itu, Hamas diminta untuk melucuti senjatanya, dengan tawaran amnesti bagi para pejuang yang bersedia berhenti bertempur, sementara mereka yang menolak diberi opsi untuk meninggalkan Gaza. Dokumen tersebut juga dengan tegas menyatakan bahwa warga Palestina tidak boleh dipaksa keluar dari wilayah mereka; jika ada yang keluar secara sukarela, mereka tetap berhak kembali ke rumahnya.
Usulan ini menandai perubahan haluan yang drastis bagi Trump, yang sebelumnya sempat mengemukakan ide-ide ekstrem seperti pembersihan etnis di Gaza atau bahkan ingin memindahkan dua juta penduduknya. Ia juga pernah merilis video berbasis kecerdasan buatan yang menampilkan visi “Gaza Riviera”. Proposal terbarunya ini diklaim menawarkan jalan realistis menuju negara Palestina, sebuah narasi yang sangat berbeda dari retorika masa lalunya.
Namun, di balik upaya perdamaian ini, ada elemen lain yang memicu kontroversi. Amerika Serikat dan Israel berencana mempertahankan Gaza Humanitarian Foundation (GHF), sebuah organisasi yang menuai kritik karena didirikan untuk menggantikan peran PBB dan lembaga bantuan internasional di Gaza. GHF telah dikaitkan dengan insiden penembakan yang menewaskan banyak warga sipil, termasuk anak-anak, oleh tentara Israel dan tentara bayaran AS saat berebut bantuan. Investigasi juga mengungkapkan bahwa GHF terhubung dengan tokoh-tokoh Israel dan Boston Consulting Group (BCG), dengan staf BCG di AS terlibat dalam proyek ini meskipun melanggar aturan risiko internal mereka.
Trump telah menyampaikan rencananya kepada para pemimpin Qatar, Arab Saudi, Mesir, Yordania, Indonesia, dan Turki dalam Sidang Majelis Umum PBB di New York. Akan tetapi, dengan agresi militer Israel yang terus menghancurkan Gaza dan upaya pencaplokan Tepi Barat, banyak pihak menilai bahwa rencana ini mungkin hanya bersifat sementara dan menghadapi tantangan besar. Hingga saat ini, baik Israel maupun Hamas belum memberikan tanggapan resmi terhadap proposal tersebut.
Di Mana Posisi Blair?
Tony Blair, yang di masa lalu mendukung George W. Bush dalam invasi Irak, kini dilaporkan terlibat aktif dalam rencana perdamaian Gaza melalui organisasinya, Institute for Global Change. Rencana Trump bahkan mempertimbangkan Blair untuk memimpin lembaga baru bernama Gaza International Transition Authority (GITA), yang bertugas mengatur Gaza setelah Hamas digulingkan. GITA diharapkan mendapat mandat PBB, namun pada awalnya akan mengesampingkan Otoritas Palestina (PA), karena Israel menolak memberikan peran kepada mereka. PA sendiri diminta untuk melakukan reformasi besar, menyusun ulang konstitusi, dan menggelar pemilu sebelum bisa mengambil alih GITA yang akan mengurus pembangunan kembali Gaza. Untuk menjaga keamanan, pasukan internasional, mayoritas dari negara-negara Arab dan Muslim, rencananya akan dikerahkan untuk melatih pasukan Palestina. Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, bahkan telah menyatakan kesiapan untuk mengirim ribuan pasukan perdamaian dalam pidatonya di UNGA, yang ditutup dengan kata “shalom”. Blair sendiri belum mengeluarkan komentar resmi, dan lembaganya sempat membantah keras kabar pertemuannya dengan PM Israel Benjamin Netanyahu pada Januari 2024.
Mengapa Sangat Kontroversial?
Keterlibatan Tony Blair dalam inisiatif perdamaian ini memang menuai banyak pertanyaan. Setelah mundur sebagai PM pada tahun 2007, Blair diangkat menjadi utusan Timur Tengah untuk PBB, AS, Uni Eropa, dan Rusia, dengan tugas mendukung pembangunan ekonomi Palestina serta membantu reformasi pemerintahan dan keamanan. Meskipun ia mundur pada tahun 2015, ia tetap aktif melalui organisasinya. Namun, banyak pihak di Timur Tengah melihat kiprahnya secara negatif, mengingat dampak dahsyat Perang Irak yang menewaskan ratusan ribu warga dan mengubah wajah kawasan.
Hingga kini, Blair masih dicap sebagai penjahat perang dan dianggap tokoh yang secara politik “beracun” baik di Inggris maupun Timur Tengah. Banyak pihak menilai ia gagal sebagai utusan perdamaian karena tidak mampu menghentikan ekspansi permukiman ilegal Israel atau mendorong lahirnya negara Palestina. Bahkan, sebagian menuduhnya justru memperlambat proses kenegaraan karena kedekatannya dengan Israel. Oleh karena itu, kehadirannya dalam rencana Gaza saat ini menimbulkan keterkejutan dan keraguan besar akan objektivitasnya.
Di luar sosok Blair, rencana 21 poin Trump ini juga dikritik sebagai bentuk penjajahan gaya baru tanpa jaminan bahwa Palestina bisa benar-benar memerintah dirinya sendiri. Media Israel menilai usulan ini mungkin lebih moderat dibandingkan ide-ide ekstrem yang beredar di Washington dan Tel Aviv, yang cenderung mendorong pengusiran besar-besaran warga Palestina. Namun, dengan infrastruktur Gaza yang terus dihancurkan Israel dan banyaknya warga sipil yang terbunuh setiap hari, masa depan rencana ini tetap diselimuti keraguan. Israel sendiri telah menegaskan bahwa mereka akan tetap menguasai keamanan Gaza, apa pun rencana yang ditawarkan, menambah kompleksitas dan ketidakpastian terhadap setiap upaya perdamaian yang diajukan.