
jateng.jpnn.com, SEMARANG – Kabar baik berembus bagi sebagian masyarakat terkait program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pemerintah kini tengah merencanakan kebijakan strategis berupa pemutihan tunggakan iuran BPJS Kesehatan, yang dijadwalkan akan direalisasikan pada akhir tahun 2025. Rencana ini, meski menjanjikan, kemungkinan besar akan ditujukan secara spesifik hanya bagi peserta dari kelompok masyarakat miskin yang saat ini telah terdaftar sebagai Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI JK).
Rencana pemutihan ini masih dalam tahap pembahasan intensif di tingkat pusat, sebagaimana diungkapkan oleh Kepala BPJS Kesehatan Cabang Semarang, Sari Quratul Ainy. Wacana krusial ini pertama kali muncul setelah disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhaimin Iskandar. “Regulasi mengenai penghapusan tunggakan ini sedang dibicarakan di tingkat pusat. Informasi yang kami terima, penghapusan tersebut hanya untuk peserta miskin yang saat ini sudah aktif sebagai PBI JK,” jelas Sari di Semarang, Rabu (12/11), memberikan gambaran awal mengenai cakupan kebijakan.
Sari melanjutkan penjelasannya bahwa kelompok yang dimaksud adalah para peserta BPJS Kesehatan mandiri yang sebelumnya memiliki tunggakan iuran, lalu status kepesertaannya dialihkan menjadi penerima bantuan iuran dari APBN atau APBD. Meskipun kini status kepesertaan mereka aktif dan mereka dapat mengakses layanan kesehatan, tunggakan iuran lama mereka masih tercatat dalam sistem BPJS Kesehatan. “Kami masih menunggu aturan teknis dari pemerintah pusat. Harapannya, kebijakan ini bisa menjaga keberlanjutan program dan memastikan arus kas BPJS tetap stabil agar tidak terjadi defisit tahun depan,” ujarnya, menyoroti pentingnya regulasi yang komprehensif.
Di Kota Semarang sendiri, fenomena tunggakan iuran paling signifikan berasal dari peserta mandiri kelas 3. Menariknya, sebagian besar dari mereka kini telah beralih status menjadi peserta Universal Health Coverage (UHC) yang biaya iurannya ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah daerah. Meskipun demikian, status aktif mereka sebagai peserta UHC memungkinkan mereka tetap mengakses layanan kesehatan, namun tunggakan iuran yang terjadi sebelum keikutsertaan dalam program UHC masih menjadi beban yang belum terselesaikan.
Untuk membantu masyarakat mengatasi tunggakan iuran yang ada, BPJS Kesehatan bersama para kader Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) gencar menjalankan program rehabilitasi iuran (Rehab). Program ini dirancang agar peserta dapat mencicil tunggakan sesuai dengan kemampuan finansial mereka. “Kami terus memberikan edukasi agar peserta bersedia mencicil. Kalau menunggu pemutihan tanpa kepastian, risikonya besar. Data penerima bantuan iuran juga terus diperbarui, bisa saja nanti mereka tidak lagi terdaftar sebagai PBI dan harus melunasi tunggakan dalam jumlah besar,” tegas Sari, menggarisbawahi urgensi untuk bertindak proaktif.
Sari juga dengan tegas mengimbau masyarakat agar tidak menunda pembayaran iuran dengan alasan menunggu kebijakan pemutihan. “Kami mengharapkan peserta mandiri yang selama ini rutin membayar agar tetap melanjutkan kewajibannya. Pemutihan tidak berlaku untuk semua peserta, pasti ada kriteria tertentu,” katanya, mengingatkan bahwa kebijakan ini akan sangat terseleksi. Lebih lanjut, ia juga mengingatkan tentang adanya risiko denda pelayanan bagi peserta yang memiliki tunggakan dan membutuhkan rawat inap dalam waktu kurang dari 45 hari setelah melunasi tunggakan tersebut. Namun, jika tidak dirawat inap dalam jangka waktu tersebut, denda tidak akan dikenakan.
Hingga saat ini, pemerintah pusat belum mengeluarkan petunjuk teknis (juknis) yang lebih rinci mengenai kategori masyarakat miskin yang akan menerima penghapusan tunggakan. Belum dipastikan pula apakah kriteria tersebut akan merujuk pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) atau sumber data lain yang relevan. “Secara teknis kami masih menunggu. Pemerintah pasti mempertimbangkan aspek keadilan, siapa yang benar-benar berhak. Mungkin regulasinya baru akan keluar di akhir tahun,” pungkas Sari, menanti kejelasan lebih lanjut dari pemerintah pusat mengenai implementasi kebijakan penting ini.



