Presiden Prabowo Subianto: 330 Ribu Smart TV untuk Sekolah Indonesia – Sebuah Kebijakan Kontroversial
Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk membagikan 330.000 televisi pintar (smart TV) kepada sekolah di seluruh jenjang pendidikan telah memicu kontroversi. Inisiatif ini, yang diumumkan pada peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025, bertujuan untuk mendukung proses belajar mengajar, khususnya pembelajaran jarak jauh dan mengatasi kekurangan guru di beberapa daerah.
Namun, rencana ambisius ini mendapat kecaman dari berbagai pihak. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai kebijakan ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam memahami masalah fundamental pendidikan Indonesia. Ia khawatir proyek ini akan berujung pada korupsi, mengingat kasus pengadaan laptop era Mendikbudristek Nadiem Makarim yang merugikan negara hingga Rp 1,98 triliun.
Kekhawatiran tersebut diperkuat oleh fakta bahwa pengadaan smart TV senilai Rp 7,9 triliun dilakukan melalui penunjukkan langsung, tanpa proses tender. Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah LKPP, Setya Budi Arijanto, menjelaskan bahwa hal ini mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 2025 yang menyatakan program digitalisasi tidak wajib dilelang. Namun, keputusan ini menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan potensi penyimpangan anggaran.
Surat edaran bernomor 2200/C4/DM.00/02/2025 tertanggal 14 Agustus 2025 dari Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah meminta seluruh sekolah untuk mengisi formulir kesediaan menerima bantuan smart TV. Rencana ini, menurut surat edaran tersebut, merupakan tindak lanjut Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2025 tentang Percepatan Pelaksanaan Program Pembangunan dan Revitalisasi Satuan Pendidikan.
Prabowo sendiri telah beberapa kali menegaskan komitmennya terhadap proyek ini. Ia menekankan bahwa smart TV akan menjadi solusi bagi siswa di sekolah yang kekurangan guru, memungkinkan mereka mengikuti pembelajaran daring. Ia juga menargetkan distribusi 100.000 unit smart TV pada November 2025, dan berharap nantinya setiap kelas memiliki satu unit smart TV yang menampilkan konten pembelajaran berkualitas.
Pada 11 September 2025, Prabowo mengumumkan bahwa 10.000 sekolah telah menerima smart TV. Ia kembali menegaskan tujuan kebijakan ini adalah memberikan akses kepada anak-anak di seluruh Indonesia, termasuk daerah 3T (terluar, terdepan, dan tertinggal), untuk belajar dari guru-guru terbaik melalui pembelajaran jarak jauh.
Namun, respon dari para guru beragam. Kepala Sekolah SMKN 7 Padang, Evy Fitriana, menyambut baik inisiatif ini, mengingat infrastruktur di sekolahnya memadai. Sebaliknya, guru-guru di daerah terpencil seperti Kepulauan Mentawai dan Papua mengungkapkan keraguan mereka. Keterbatasan infrastruktur, terutama akses listrik dan internet yang buruk, menjadikan smart TV sebagai investasi yang sia-sia.
Kristin Filiana Maringga, Kepala Sekolah SMAN 1 Pagai Utara Selatan, dan Sutarji, guru SMPN 14 Koya Koso di Jayapura, menyatakan bahwa infrastruktur yang minim di sekolah mereka akan membuat smart TV tidak berfungsi optimal. Rahmatullah, guru SD Negeri Inpres Tanjung Ria Jayapura, bahkan menyarankan agar anggaran tersebut dialihkan untuk perbaikan infrastruktur sekolah yang lebih mendesak.
Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, dan Ubaid Matraji dari JPPI sepakat bahwa pemerintah seharusnya memprioritaskan hal-hal mendasar seperti peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru, perluasan akses pendidikan, dan perbaikan infrastruktur. Mereka menekankan bahwa jutaan anak Indonesia masih belum mengenyam pendidikan, dan anggaran seharusnya diprioritaskan untuk mengatasi masalah tersebut.
Retno menganalogikan guru sebagai sopir yang handal mampu mengendarai berbagai jenis mobil (kurikulum). Peningkatan kualitas guru menjadi kunci keberhasilan pendidikan, bukan sekadar penyediaan teknologi canggih. Ia juga menyoroti pentingnya kesejahteraan guru, terutama di daerah terpencil, untuk memastikan komitmen mereka dalam memajukan pendidikan.
Ubaid Matraji juga menyoroti harga smart TV yang dipatok pemerintah sebesar Rp 26 juta per unit, yang dianggapnya terlalu tinggi dibandingkan harga pasaran. Ia khawatir pengadaan tanpa tender ini akan mengulang kesalahan masa lalu, yang berujung pada kasus korupsi seperti pengadaan laptop Chromebook sebelumnya. Wana Alamsyah dari Indonesia Corruption Watch juga memperingatkan potensi penyelewengan dana akibat pengadaan tanpa tender.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menyatakan bahwa smart TV hanya akan diberikan kepada sekolah yang telah mengajukan permohonan, dan menepis isu bahwa sekolah internasional juga akan menerima perangkat tersebut. Namun, hingga saat ini, tanggapan resmi dari Kementerian terkait kontroversi ini masih belum jelas.
Wartawan Halbert Chaniago di Padang dan Muhammad Ikbal Asra di Jayapura berkontribusi dalam laporan ini.
- Kisah anak-anak Raja Ampat arungi laut demi pendidikan dan melawan kemiskinan
- ‘Jurang si kaya dan si miskin bakal makin lebar akibat ketimpangan pendidikan saat pandemi’
- Darurat sekolah rusak: ‘Yang sekolah bisa lakukan ya, tidak bisa apa-apa’
- Eks Mendikbudristek Nadiem Makarim tersangka korupsi pengadaan laptop – Bagaimana duduk perkaranya?
- Kemensos beli 15.000 laptop untuk Sekolah Rakyat – ‘Pengadaan paling empuk bagi praktik korupsi’