Presiden AS Donald Trump telah menetapkan tenggat waktu yang ketat selama 3-4 hari bagi Hamas untuk memberikan respons terhadap proposal perdamaian dan gencatan senjata yang komprehensif di Gaza. Proposal berisikan 20 poin ini, yang mendapat dukungan penuh dari sejumlah negara Arab serta Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, menggarisbawahi upaya mendesak untuk meredakan konflik.
Dengan nada peringatan keras, Trump menegaskan di Gedung Putih, seperti yang dikutip Al Jazeera pada Rabu (1/10), bahwa, “Hamas akan menyetujuinya atau tidak, dan jika tidak, situasi ini akan berakhir dengan sangat menyedihkan.” Pernyataan ini menunjukkan keseriusan dan konsekuensi yang mengintai di balik keputusan Hamas.
Ketika ditanya mengenai potensi ruang negosiasi terkait proposal tersebut, Trump secara lugas menjawab, “Tidak banyak,” menandakan sedikitnya fleksibilitas dalam syarat-syarat yang diajukan.
Trump juga menyampaikan apresiasinya kepada Netanyahu atas persetujuan yang diberikan terhadap inisiatif perdamaian ini, menunjukkan adanya konsensus penting dari pihak Israel.
Sementara itu, perkembangan penting menunjukkan bahwa tim negosiasi Hamas dilaporkan tengah meninjau dan mempelajari detail proposal Trump. Konfirmasi atas kabar ini datang langsung dari Kementerian Luar Negeri Qatar, yang berperan sebagai mediator kunci dalam proses ini.
Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al Thani mengungkapkan bahwa beberapa poin dalam proposal tersebut masih memerlukan klarifikasi dan ruang untuk negosiasi lebih lanjut. Meskipun demikian, ia menyuarakan harapannya agar semua pihak dapat menanggapi proposal ini secara konstruktif dan memanfaatkan peluang krusial ini untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan.
Sheikh Mohammed lebih lanjut memaparkan, “Kami telah menjelaskan kepada Hamas dalam pertemuan kami kemarin, bahwa tujuan utama kami adalah menghentikan perang,” menekankan prioritas utama dalam upaya mediasi mereka.
Ia menambahkan bahwa Hamas telah menunjukkan sikap bertanggung jawab dan berjanji akan mempelajari proposal tersebut dengan seksama, memberikan indikasi awal adanya keseriusan dalam mempertimbangkan tawaran tersebut.
Di sisi lain, Fatah, faksi politik Palestina yang memiliki dominasi di Otoritas Palestina di Tepi Barat, menyatakan menyambut baik upaya Amerika Serikat untuk mengakhiri peperangan dan menjamin perlindungan bagi warga sipil di wilayah tersebut.
Melalui laporan kantor berita Palestina, Wafa, Fatah menegaskan kesiapannya untuk berkolaborasi dengan semua pihak guna mengamankan gencatan senjata, memfasilitasi masuknya bantuan kemanusiaan vital ke Gaza, memastikan pembebasan semua sandera serta tahanan Palestina, dan membentuk mekanisme internasional yang efektif untuk melindungi hak-hak warga Palestina.
Selain itu, Fatah juga mengulang kembali janji Presiden Mahmoud Abbas untuk menyelenggarakan pemilihan umum setahun setelah konflik berakhir, sebagai bagian dari visi mereka untuk masa depan Palestina.
Namun, pandangan yang berbeda muncul dari Abbas Zaki, seorang pejabat senior Fatah. Ia secara terbuka mengecam proposal AS, menyebutnya sebagai “dokumen penyerahan diri tanpa persetujuan Palestina yang sah.” Zaki memperingatkan bahwa penerimaan proposal semacam itu berpotensi melanggengkan penghinaan, melegitimasi pendudukan, dan secara fundamental memecah belah persatuan rakyat Palestina.
Abbas Zaki bahkan melangkah lebih jauh, menuduh Amerika Serikat dan Israel berupaya secara sistematis melenyapkan esensi dari perjuangan Palestina itu sendiri.