
Penantian mengenai besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 akan berakhir pada Jumat, 21 November mendatang. Namun, menjelang pengumuman krusial tersebut, tarik-ulur sengit masih mewarnai perundingan antara serikat buruh dan asosiasi pengusaha, tanpa ada titik terang mengenai angka kenaikan. Muncul pertanyaan besar: apakah ‘jalan tengah’ yang digagas pemerintah akan benar-benar menjadi solusi adil bagi semua pihak, atau justru lebih memihak kepentingan pengusaha?
Dari kubu buruh, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersikeras menuntut kenaikan UMP 2026 sebesar 6,5% hingga 10,5%. Tuntutan ini didasarkan pada perhitungan cermat yang melibatkan angka inflasi, proyeksi pertumbuhan ekonomi, serta parameter indeks tertentu. Presiden KSPI, Said Iqbal, bahkan telah mengeluarkan peringatan keras pada Rabu (12/11) di Jakarta: “Jika tidak ada satu pun usulan yang disetujui, maka aksi mogok nasional akan digelar.”
Di sisi lain, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyuarakan harapan agar penentuan UMP 2026 menggunakan “formula yang adil”. Ketua Apindo, Shinta Kamdani, pada Rabu (05/11) di Jakarta, menekankan pentingnya keputusan yang “tidak mengagetkan” dan “benar-benar fair bagi pengusaha dan pekerja,” mencerminkan keinginan akan kestabilan dan prediktabilitas.
Pemerintah, melalui Kementerian Ketenagakerjaan, memikul tanggung jawab besar dengan tenggat waktu hingga 21 November 2025 untuk mengumumkan formula UMP yang baru. Tenaga Ahli Utama Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luthfi Ridho, pada Kamis (13/11) di Jakarta, mengisyaratkan bahwa keputusan pemerintah akan mencoba merangkul kepentingan kedua belah pihak. “Memang mungkin tidak setinggi apa yang diharapkan buruh, tetapi juga tidak serendah apa yang diinginkan para pengusaha,” ujarnya, menggambarkan upaya mencari titik ekuilibrium.
Secara historis, formula dasar perhitungan UMP diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023, yang merupakan perubahan dari PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Aturan ini menjadi pedoman dalam penetapan UMP untuk tahun 2024 dan 2025. Namun, untuk UMP 2026, landasan hukumnya akan berbeda secara signifikan. Perubahan ini menyusul Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang diterbitkan pada 31 Oktober 2024. Putusan penting ini mencabut dan merevisi beberapa pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya yang berkaitan dengan metode penghitungan upah minimum, karena dianggap tidak selaras dengan UUD 1945. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli pada Senin (13/10) di Jakarta telah menegaskan komitmen pemerintah: “Ya benar, harus [sesuai putusan MK dan poin-poinnya]. Itu nomor satu. Jadi pemerintah wajib dan kita kemudian berkomitmen untuk melaksanakan keputusan MK.” Formula baru UMP dipastikan akan mengakomodasi putusan tersebut.
‘Hidup Terasa Berat dengan Kenaikan Harga: Kisah Palupi, Buruh Garmen dengan Upah Jauh di Bawah UMK’
Di balik angka-angka dan perdebatan, ada realitas keras yang dihadapi pekerja seperti Palupi, 55 tahun. Buruh pabrik garmen di Palur, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah ini, hidup di rumah berukuran 5×5 meter peninggalan orang tuanya. Ia berbagi rumah yang padat itu bersama keponakan beserta dua anaknya, sementara anak kandungnya sendiri sudah berkeluarga dan tinggal terpisah. Ruang tamu tak ada, hanya sepasang kursi dan kasur, ditemani televisi tabung 14 inci dan kulkas lawas. Dapur sempit dan kamar mandi berada di sisi kanan, sedangkan Palupi tinggal di lantai dua bersama putri sulung keponakannya. “Kecil [rumahnya]. Ini nek mboten [kalau tidak dibuat] ditingkat ya tidak cukup,” tuturnya kepada wartawan Fajar Sodiq dari BBC News Indonesia.
Sebagai buruh di divisi helper, Palupi bertugas menyeterika, membersihkan sisa benang jahitan baju, hingga mengemas produk. Ia mengakui upahnya lebih rendah dibandingkan karyawan di divisi menjahit. “Gajinya Rp60 ribu per hari, gaji itu dibayarkan dua minggu sekali. Ya tinggal Rp60 ribu dikalikan dua belas hari jadi Rp700 ribu lebih,” ungkapnya. Angka ini sangat jauh di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) Karanganyar yang mencapai Rp2.437.110.
Meski demikian, Palupi tetap bersyukur karena penghasilan tersebut masih bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, meskipun sangat pas-pasan. “Ya pengeluaran besar untuk bayar listrik, bayar ledeng (PDAM) dan untuk makan sehari-hari itu sehari bisa Rp20 ribu,” jelasnya. Keterbatasan ini membuat Palupi mengeluh bahwa upahnya tidak menyisakan ruang untuk menabung. Setiap dua pekan, upahnya selalu habis tak bersisa untuk biaya hidup. Ia merasakan benar bahwa upah yang diterima saat ini tidak sebanding dengan lonjakan harga barang-barang kebutuhan pokok. Dengan kondisi ini, Palupi sangat berharap agar perusahaan garmen tempatnya bekerja dapat menaikkan upahnya mendekati UMK. “Berat dengan kenaikan harga-harga. Harapannya ada kenaikan gaji jadi Rp2 juta biar mencukupi,” harapnya.
‘Gaji Belum Dibayar, Tuntutan UMP pun Surut: Perjuangan Lisna di Tengah Ancaman PHK’
Ketika akhir tahun tiba, para buruh di berbagai daerah lazimnya sibuk menyuarakan tuntutan kenaikan UMP melalui aksi unjuk rasa. Lisna Nurlaelanti, 41 tahun, biasanya menjadi bagian dari gerakan tahunan ini. Namun, tahun ini ia turun ke jalan bukan untuk menuntut kenaikan UMP, melainkan demi pembayaran upah yang ditunggak perusahaan selama dua bulan. “Berharap naik (UMP) mah tipis. Minta dibayarkan yang kewajibannya saja dulu,” ungkap Lisna kepada wartawan Yuli Saputra dari BBC News Indonesia.
Ibu dua anak ini telah dirumahkan oleh manajemen PT Namasindo Plas Bandung selama dua bulan, dan selama itu pula upahnya tidak dibayarkan oleh pabrik plastik tempatnya mengabdi selama 19 tahun. Suaminya, Suryadi, yang bekerja di pabrik yang sama, juga dirumahkan dan upahnya belum dibayar selama tiga bulan. Keluarga Lisna yang tadinya mengandalkan gaji ganda dengan total lebih dari Rp6 juta setiap bulan, kini tiba-tiba kehilangan sumber pendapatan. Tabungan mereka pun lambat laun terkuras demi membiayai kebutuhan sehari-hari.
Untuk menyambung hidup, Lisna dibantu suaminya kini berjualan donat yang dititip di warung-warung sekitar rumah. “Kadang [donatnya] habis bisa dapat Rp50 ribu, kadang enggak. Ya Insyaallah kalau buat makan mah ada, tapi kan itu juga gak sepenuhnya dari situ. Kadang dikasih sama mertua, kayak beras. Kakak-kakak juga ngasih karena tahu sudah tiga bulan gak gajian,” tuturnya pilu. Beban terberat yang harus dihadapi adalah kewajiban membayar cicilan KPR sebesar Rp1,5 juta per bulan, yang mau tak mau harus dipenuhi. Lisna terpaksa meminjam uang dari saudara untuk melunasi cicilan tersebut, yang masih harus dibayarnya hingga empat tahun ke depan. “Saya juga bingung karena ada cicilan KPR juga. Saya minta ditalangin dulu sama kakak, saudara. Kalau gaji sudah keluar, baru dibayar. Kalau bank kan gak bisa nunggak, harus ada tiap bulannya,” kata Lisna.
Lisna merasakan kondisi ekonomi semakin sulit. Harga-harga kebutuhan pokok terus merangkak naik, namun tidak diiringi dengan kenaikan upah yang sebanding. Ia mengingat, setiap tahun dia dan rekan buruh lainnya selalu berdemo menuntut kenaikan upah. Namun, tuntutan buruh tersebut jarang sekali dipenuhi. “Tiap tahun, kami selalu demo, demo terus. Kami minta naik Rp300 ribu, dikasih Rp100 ribu juga susah. Harus panas-panasan dulu, hujan-hujanan dulu. Padahal cuma minta kenaikan Rp200-300 ribu, di-acc-nya cuma Rp100 ribu,” keluhnya, warga Batujajar Kabupaten Bandung Barat itu.
Melihat kondisi pabrik tempat ia dan suami bekerja, Lisna tidak lagi berharap banyak soal kenaikan UMR. PT Namasindo Plas, produsen kemasan plastik seperti galon dan botol, telah mengalami penurunan produktivitas sejak awal tahun ini. Lisna yang awalnya bekerja di departemen galon, bahkan harus dipindah ke departemen lain karena ketiadaan pesanan. “Kalau lihat kondisi pabrik, gak tahu saya juga bingung. Penginnya mah naik upahnya. Cuma gimana, kita juga lihat kondisinya kayak gitu mah, kita juga gak bisa nuntut banyak. Sebenarnya kasihan juga ke yang punya pabrik, tapi gimana kita juga sama dituntut kebutuhan sehari-hari,” ungkap Lisna.
Sebanyak 600 buruh PT Namasindo Plas Bandung, termasuk Lisna dan suaminya, telah dirumahkan dengan alasan pabrik tidak sanggup membayar tagihan listrik, sehingga produksi dihentikan. Para buruh ini telah melakukan aksi menginap di depan pabrik selama dua minggu, menuntut tiga hal: pembayaran upah beserta denda keterlambatannya, pelunasan tunggakan BPJS Ketenagakerjaan sejak Desember 2024, dan pengembalian seluruh pekerja. “Harapan saya dan teman-teman, ingin tetap bisa bekerja kembali. Namun dengan kondisi saat ini yah pasrah saja. Yang penting hak-hak kami bisa didapat,” pungkas Lisna.
Mengapa Buruh Mendesak Kenaikan UMP di Atas 6,5% dan Menolak Isu PHK?
Kelompok-kelompok buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersikukuh menuntut kenaikan UMP 2026 antara 6,5% hingga 10,5%. KSPI mengajukan tiga usulan perhitungan yang mereka nilai layak. Usulan pertama adalah kenaikan sebesar 6,5%, yang merujuk pada besaran kenaikan UMP tahun sebelumnya, 2025. Usulan kedua, menurut Presiden KSPI Said Iqbal pada Rabu (12/11) di Jakarta, adalah sebesar 7,77%. Angka ini diperoleh dari kombinasi angka inflasi 2,65% dan pertumbuhan ekonomi 5,12% yang ditetapkan Badan Pusat Statistik (BPS), ditambah faktor indeks tertentu sebesar 1,0. Sementara itu, usulan ketiga, yang paling banyak disuarakan dalam aksi-aksi buruh belakangan ini, adalah kenaikan antara 8,5% hingga 10,5%.
Menanggapi narasi yang menyebut kenaikan upah akan memicu pemutusan hubungan kerja (PHK), Said Iqbal melontarkan keraguan. Ia menilai, sepanjang tahun 2024 hingga 2025, PHK terbesar justru terjadi di Jawa Tengah, provinsi dengan upah minimum terendah di Indonesia. Menurutnya, akar masalah utama PHK bukanlah upah, melainkan menurunnya daya beli masyarakat akibat upah yang murah selama satu dekade terakhir. “Jadi jangan menakut-nakuti buruh dengan isu PHK. Nyatanya, upah rendah pun banyak PHK. Masalahnya bukan upah, tapi aturan pemerintah yang salah arah,” tegas Said Iqbal dalam keterangan tertulis yang diterima BBC News Indonesia, Kamis (13/11).
KSPI juga menuntut agar formula perhitungan UMP 2026 menggunakan indeks tertentu yang berkisar 0,9% sampai 1,0% atau 1,0% sampai 1,4%, dan menolak keras jika indeks tersebut diturunkan menjadi 0,2%–0,7%. Indeks tertentu ini merupakan variabel krusial yang merepresentasikan kontribusi buruh terhadap pertumbuhan ekonomi, selaras dengan semangat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 tertanggal 31 Oktober 2024. Putusan ini, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, mencabut dan merevisi beberapa pasal dalam UU Cipta Kerja yang mengatur penghitungan upah minimum. “Berapa nilai indeks tertentu? Tergantung nilai makroekonomi terhadap nilai inflasi, nilai makroekonomi terhadap nilai pertumbuhan ekonomi,” jelas Iqbal. Ia berargumen bahwa jika indeks tertentu dalam pengupahan turun, maka daya beli juga akan merosot. Padahal, dengan inflasi Oktober 2025 yang diproyeksikan hanya 2,86%, buruh seharusnya berhak mendapatkan kenaikan upah yang lebih layak. Apabila tuntutan ini tidak dipenuhi, Said Iqbal mengancam akan ada aksi protes berskala besar yang digalang oleh Partai Buruh, KSPI, Koalisi Serikat Pekerja, dan KSPPB. “Aksi ini diperkirakan akan diikuti lima juta buruh dari lebih 5.000 pabrik di 300 kabupaten/kota dan 38 provinsi,” klaimnya.
Mengapa Pengusaha Meminta Formula UMP 2026 yang Berbasis Kondisi Ekonomi Daerah?
Di sisi pengusaha, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sangat berharap agar penetapan UMP 2026 dilakukan dengan “formula yang adil” yang mempertimbangkan “kondisi ekonomi di masing-masing daerah”. Ketua Apindo, Shinta Kamdani, menyoroti kenaikan UMP 2025 sebesar 6,5% yang disebutnya “tanpa formula yang jelas hingga mengejutkan banyak pihak, termasuk pengusaha sendiri.” Ia mengungkapkan adanya keberatan dari sejumlah pengusaha karena kondisi industri mereka yang beragam.
Menurut Shinta, kepastian rumusan atau formula penghitungan UMP sangat esensial untuk menciptakan keadilan dan prediktabilitas, mengingat setiap daerah memiliki dinamika ekonomi yang berbeda. “Sebenarnya formula itu dibuat karena tidak bisa sama semua rata. Ada daerah yang pertumbuhan ekonominya bagus, infrastrukturnya bagus, jadi kenaikannya bisa lebih tinggi. Tapi kalau semua disamaratakan, ya jadinya mengagetkan,” paparnya.
Apindo mendesak pemerintah untuk kembali menggunakan formula yang transparan dan berbasis data yang kuat untuk penentuan UMP 2026. Hal ini bertujuan agar kebijakan upah benar-benar mencerminkan kondisi riil ekonomi setiap daerah. “Harapan kami kali ini ada formula yang fair, yang bisa menunjukkan berbagai elemen kontribusi yang memang terjadi di daerah masing-masing. Karena memang upah minimum dasarnya dari setiap daerah, bukan nasional,” tegasnya. Tanpa pendekatan ini, dikhawatirkan pelaku usaha justru akan terbebani dan kesulitan untuk bertahan. Apindo berpandangan bahwa daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik wajar mendapatkan kenaikan upah yang lebih tinggi, sementara daerah dengan daya dukung ekonomi yang masih terbatas perlu diberikan “ruang penyesuaian” yang proporsional.
Titik Tengah Pemerintah dalam Penetapan UMP 2026: Antara Kesejahteraan Buruh dan Daya Saing Usaha
Momen pengumuman Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 semakin dekat, dijadwalkan pada Jumat, 21 November mendatang. Pemerintah terus mengklaim sedang merumuskan formula baru yang akan menjadi pijakan penetapan UMP ini. Tenaga Ahli Utama Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luthfi Ridho, memilih untuk tidak merinci detail rumus kenaikan tersebut. Namun, ia menegaskan bahwa pemerintah akan selalu mempertimbangkan kepentingan baik dari sisi pekerja maupun pengusaha. “Memang mungkin tidak setinggi apa yang diharapkan buruh, tetapi juga tidak serendah apa yang diinginkan para pengusaha,” ungkap Luthfi di Jakarta, Kamis (13/11). Ia menambahkan bahwa pemerintah berupaya mencari titik tengah dalam penetapan UMP 2026, dengan komitmen untuk “menjaga keseimbangan antara kesejahteraan pekerja dan daya saing dunia usaha.” Hal ini penting agar tidak terjadi eksploitasi pekerja, namun juga tidak sampai kehilangan daya saing dibandingkan negara lain seperti Vietnam, jelasnya.
Secara terpisah, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli pada Rabu (12/11) di Jakarta menjelaskan bahwa penetapan UMP 2026 masih dalam pembahasan intensif di Dewan Pengupahan Nasional hingga Dewan Pengupahan Provinsi. “Kami terus melakukan dialog sosial, mendapatkan masukan dari serikat pekerja dan kawan-kawan pengusaha di Apindo, tunggu saja,” katanya. Yassierli juga kembali menegaskan bahwa formula baru penentuan UMP akan sepenuhnya mengakomodasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2024. Salah satu poin penting dari putusan tersebut adalah pengembalian kewajiban pemberlakuan upah minimum sektoral (UMS). “Ya benar, harus [sesuai putusan MK dan poin-poinnya]. Itu nomor satu. Jadi pemerintah wajib dan kita kemudian berkomitmen untuk melaksanakan keputusan MK,” ujarnya pada Rabu (13/11) di Jakarta. Ia menambahkan bahwa UMP ke depan harus mempertimbangkan berbagai faktor, seperti standar hidup layak dan dinamika ekonomi tiap daerah. “Di situlah disampaikan bahwa UMP harus mempertimbangkan faktor ini, faktor ini. Makanya kita perlu melakukan kajian, kita perlu juga melakukan dialog sosial, mendapatkan masukan dari berbagai sektor,” jelasnya. Mengenai tuntutan buruh agar UMP 2026 naik 8,5%, Yassierli menganggap itu sebagai bagian dari aspirasi yang akan dipertimbangkan dalam rapat Dewan Pengupahan Nasional.



