
Kisah Repan, Warga Baduy yang Ditolak Rumah Sakit: Antara Miskomunikasi dan Hak Kesehatan Masyarakat Adat
Kisah pilu dialami Repan, seorang remaja dari suku Baduy Dalam, ketika mencari pertolongan medis di Jakarta. Tangan terluka akibat pembegalan, ia justru ditolak rumah sakit karena tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta membantah adanya penolakan, mengklaim insiden tersebut sebagai miskomunikasi. Namun, kejadian ini kembali menyulut diskusi mengenai jaminan kesehatan yang masih terbatas bagi masyarakat adat di Indonesia.
Minggu subuh (26/10), Repan (16), menjadi korban pembegalan di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Sekelompok orang tak dikenal menyerangnya, menyebabkan luka di tangan kirinya saat ia mencoba menangkis sabetan senjata tajam. Dengan luka menganga, Repan mencari pertolongan ke rumah sakit terdekat, namun sayang, ia ditolak karena tidak memiliki KTP.
Penolakan ini memicu kembali perdebatan mengenai hak kesehatan masyarakat adat. Masyarakat Baduy Dalam, seperti Repan, memang memiliki aturan adat yang melarang kepemilikan identitas elektronik. Sebenarnya, mereka tetap bisa mengakses layanan kesehatan tanpa KTP atau kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), asalkan berada di wilayah Provinsi Banten. Sayangnya, kemudahan ini tidak berlaku di luar Banten, seperti yang dialami Repan di Jakarta.
Pengamat kesehatan menyayangkan kejadian ini, menekankan perlunya pemerintah dan otoritas kesehatan untuk lebih kreatif dalam mengakomodasi kebutuhan unik masyarakat adat seperti Baduy Dalam. Timbul Siregar, Koordinator BPJS Watch, menegaskan, “Jangan sampai administrasi mengalahkan hak perlindungan sosial.”
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Habuwono menegaskan bahwa pelayanan kesehatan adalah hak setiap warga negara, “dengan NIK maupun tanpa NIK.” Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menampik adanya penolakan, menyebutnya sebagai “miskomunikasi.”
Kronologi Pembegalan dan Penolakan Rumah Sakit
Subuh yang nahas itu, sekitar pukul 04.00 WIB, Repan berjalan kaki di Jalan Pramuka Raya, Cempaka Putih. Empat orang dengan dua sepeda motor menghampirinya. Salah seorang pelaku merampas tasnya, sementara yang lain mengacungkan senjata tajam.
Repan berusaha mempertahankan tasnya, namun pelaku menyerangnya. Ia menangkis sabetan celurit kecil dengan tangan kirinya, mengakibatkan luka sobek yang cukup dalam dan goresan di pipi kirinya. “[Tangan] langsung keluar darah,” ujarnya.
Meski terluka, Repan sempat mengejar para pelaku yang kabur. Akibat kejadian ini, ia menderita kerugian sekitar Rp4,5 juta, terdiri dari 10 botol madu (seharga Rp150 ribu per botol) dan uang tunai Rp3 juta hasil penjualan madu.
Jalanan sepi saat kejadian. Setelahnya, Repan mencari rumah sakit terdekat. Namun, alih-alih mendapat pertolongan, ia justru dimintai KTP dan dokumen pribadi. “Saya jawab tidak ada [KTP], lalu mereka nanya umur. Saya jawab ‘saya 16 tahun’,” tuturnya.
Petugas rumah sakit menyarankan Repan untuk pergi ke rumah sakit lain yang lokasinya tidak jauh. Repan sempat mencoba mencari, namun karena tidak tahu pasti lokasinya, ia kembali ke rumah sakit pertama. Di sana, petugas hanya membalut lukanya dengan kain kasa tanpa membersihkan atau memberikan obat. “Dibungkus saja, tidak pakai obat, tidak dibersihin dulu,” keluhnya. Bahkan, pemasangan kain kasa dilakukan di luar ruang perawatan.
Setelah membalut luka, petugas menyuruh Repan pulang ke Baduy Dalam. “Pulang aja dulu, jangan jualan lagi. Pulang ke kampung, nemuin orang tua,” ucap petugas seperti ditirukan Repan.
Menyadari perjalanan pulang ke Baduy Dalam membutuhkan waktu tiga hari berjalan kaki dalam kondisi terluka, Repan memutuskan mencari kenalan keluarganya, Johan Chandra, di Tanjung Duren, Jakarta Barat, yang berjarak sekitar 11 kilometer.
Johan, yang dipanggil Repan dengan sebutan ‘Pak Nelo’, adalah pelanggan madunya dan pernah berkunjung ke Baduy Dalam.
Repan tiba di rumah Johan sekitar pukul 08.30 WIB. Johan awalnya mengira Repan sudah mendapat penanganan medis karena tangannya sudah dibalut. “[Tapi] ia ngeluh sakit sambil menangis,” ungkap Johan.
Khawatir, Johan membawa Repan ke klinik terdekat. “Setelah [kain kassa] dibuka oleh staf, saya kaget, darahnya langsung berpancuran,” cerita Johan. Repan langsung lemas karena darahnya terus mengucur.
Pihak klinik menyarankan agar Repan dibawa ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut. Johan mengajak Repan ke Rumah Sakit Ukrida yang berjarak sekitar dua kilometer dari rumahnya, namun Repan bersikeras berjalan kaki. “Ia juga meminta saya menghubungi Ata [paman Repan] untuk mengabari keluarga di Baduy, tapi saat itu tak bisa [dihubungi],” kata Johan.
Ata, yang ditemui di Rumah Singgah Pemerintah Provinsi Banten di Jakarta Selatan pada Kamis malam (6/11), baru mengetahui kabar keponakannya terluka pada 31 Oktober, lima hari setelah kejadian. Ata, yang tinggal di Baduy Luar, sedang berada di perkebunan yang tidak terjangkau sinyal telepon.
Ata menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Johan. “Keluarga sangat berterima kasih atas pertolongan Pak Nelo. Kalau tidak ada pertolongan pertama yang diberikan Pak Nelo, mungkin tidak terselamatkan.”
Saat ini, Repan masih berada di Rumah Singgah Pemerintah Provinsi Banten, menunggu proses hukum kasus pembegalan. Ia didampingi oleh Ata dan seorang paman lainnya, Dani Saeputra. Dani mengatakan bahwa laporan kepolisian telah dibuat di Mapolsek Cempaka Putih pada 2 November 2025, namun belum ada perkembangan yang jelas.
Selain kedua pamannya, beberapa warga Baduy Luar juga menjenguk Repan di rumah singgah.
Enip, seorang panggiwa desa (setingkat Ketua RW), mengatakan bahwa langkah hukum ini diambil agar kejadian serupa tidak menimpa warga Baduy lainnya saat berdagang ke Jakarta. “Kalau terus menerus dibiarkan, [pelaku] enggak ditangkap, itu akan menyebar luas dan tambah banyak,” ujarnya.
Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menyangkal adanya penolakan layanan kesehatan bagi masyarakat Baduy di rumah sakit Pemda DKI Jakarta, dan menyebutnya sebagai “miskomunikasi”. Pramono mengaku telah memanggil kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta terkait hal ini. “Jadi, untuk warga Baduy, tidak benar ada penolakan dari rumah sakit,” tegasnya. “Tidak ada sama sekali larangan bagi rumah sakit untuk menerima pasien. Kepala dinas juga turun mengecek ke lokasi, dan hasilnya tidak ada penolakan. Jadi, itu sama sekali tidak benar.”
“Masak Administratif Mengalahkan Hal Konstitusional?”
Koordinator BPJS Watch, Timbul Siregar, menjelaskan bahwa penolakan layanan kesehatan seperti yang dialami Repan seharusnya tidak terjadi jika fasilitas kesehatan mengikuti asas keselamatan pasien yang diatur dalam UU Nomor 44 Tahun 2009. Undang-undang tersebut mewajibkan rumah sakit untuk melaksanakan sistem keselamatan pasien, seperti tertuang dalam Pasal 13 huruf k, serta menyelenggarakan pelayanan yang aman dan antidiskriminasi yang mengutamakan keselamatan pasien (Pasal 29 ayat 1 huruf f).
“Jadi, enggak bisa ditanya KTP-nya mana, JKN atau bukan. Enggak bisa,” tegas Timbul.
Selain itu, Repan adalah korban penganiayaan yang seharusnya dikecualikan dari kategori pasien yang ditanggung jaminan kesehatan nasional (JKN). Berdasarkan Pasal 52 ayat 1 huruf R Perpres 82 Tahun 2018, tanggung jawab pembiayaan korban penganiayaan dialihkan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), bukan JKN. Pasal tersebut menyebutkan: ‘pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.’
“Jadi, saudara kita warga Baduy itu, terlepas enggak punya KTP, enggak bisa ditolak karena dia korban penganiayaan. Dia [pembiayaan] di LPSK,” jelas Timbul.
Timbul menyadari bahwa anggaran LPSK tidak besar karena pemotongan anggaran. Namun, ia menyarankan agar LPSK bersikap “kreatif”, misalnya dengan menghubungi Pemerintah Provinsi Banten untuk membantu menutupi biaya perawatan medis Repan.
Kasus Repan, menurut Timbul, mencerminkan perlindungan kesehatan yang masih setengah hati terhadap masyarakat adat di Indonesia. Lembaga dan otoritas masih terjebak dalam “birokrasi kaku”, alih-alih substansi perlindungan hak warga negara. Masyarakat Baduy saat ini memang dapat mengakses jaminan kesehatan tanpa dokumen di Banten, namun banyak dari mereka yang sering bepergian ke Jakarta untuk berdagang.
Timbul mengusulkan agar pemerintah daerah membekali warga Baduy, terutama Baduy Dalam, dengan identitas tertentu jika mereka meninggalkan wilayah Banten. “Kasih lah KTP dummy atau apapun,” sarannya. “Itu kan administratif saja sebenarnya. Masak administratif mengalahkan hal konstitusional?”
Pengamat kesehatan masyarakat Universitas Indonesia, Hermawan Saputra, juga berpendapat bahwa pemerintah seharusnya tidak terjebak pada hal normatif. Ia mengakui bahwa kartu identitas memang memudahkan identifikasi peserta jaminan kesehatan nasional, namun pemerintah perlu bersikap lentur dan kreatif dalam menghadapi masyarakat adat.
Untuk masyarakat Baduy Dalam yang tidak diperkenankan memiliki KTP elektronik, Hermawan menyarankan “jaminan kolektif” yang bisa digunakan di luar wilayah Banten. Model ini mirip dengan asuransi kesehatan perusahaan yang mendaftarkan seluruh pegawainya. “Menjadikannya jaminan kolektif, itu bisa diatur secara khusus,” katanya, dan pola ini juga dapat diterapkan pada masyarakat adat lain seperti Suku Anak Dalam di Jambi.
“Harusnya tidak ada yang bisa mempersulit hanya karena identitas di lapangan. Itu bisa dijembatani pemerintah daerah,” pungkas Hermawan.
Enip, selaku Panggiwa Desa Kanekes, mengapresiasi Pemerintah Banten yang selama ini memberikan layanan kesehatan yang cukup baik bagi masyarakat Baduy, meskipun tanpa KTP atau dokumen lainnya. Pemerintah Banten kerap membantu masyarakat Baduy mengakses layanan kesehatan di rumah sakit umum daerah. “Ditangani dulu, baru diurus identitasnya ke desa,” kata Enip.
Pihak rumah sakit umum daerah Banten memberikan waktu tiga hari bagi Enip untuk mengurus berkas administrasi warga Baduy yang sakit. Berkas tersebut meliputi surat keterangan tidak mampu atau surat keterangan rawat inap yang kemudian diserahkan ke dinas sosial. “Ada atau tidak ada KTP akan tetap dilayani,” tegas Enip. “Jangan ditanyakan identitas dulu orang Baduy Dalam, karena sampai kapan pun Baduy Dalam itu tidak boleh punya identitas atau KTP.”
Selain rumah sakit umum daerah, masyarakat Baduy juga dapat memanfaatkan puskesmas yang berlokasi di kampung-kampung perbatasan Baduy Luar, seperti di Cijahe. “Di Cijahe [kampung berbatasan Baduy] itu ada. Jadi kalau orang Baduy sakit, mereka akan ke sana,” kata Enip. “Enggak ada dokter yang ke dalam. Bukan karena menolak medis, tapi kalau ke dalam bawa obat tidak boleh. Intinya, orang Baduy yang datang, mereka yang meminta obat.”
Siapa Suku Baduy?
Masyarakat Baduy terbagi menjadi dua kelompok: Baduy Dalam dan Baduy Luar. Mereka tinggal di 69 kampung yang berada di bawah satu desa, yaitu Kanekes. Antropolog Universitas Indonesia, Iman Fachruliansyah, menjelaskan bahwa Baduy Dalam adalah kelompok masyarakat adat yang masih sangat teguh memegang tradisi turun-temurun, sementara Baduy Luar lebih terbuka terhadap pengaruh dari luar. “Baduy Dalam itu seperti penjaga gawang, sementara Baduy Luar semacam buffer dengan budaya luar,” jelas Iman.
Masyarakat Baduy Dalam memiliki sejumlah pantangan, termasuk tidak diperkenankan memiliki KTP, menggunakan kendaraan bermesin, dan barang-barang elektronik. Oleh karena itu, saat berdagang ke luar wilayah kampung, warga Baduy Dalam seperti Repan harus berjalan kaki, meskipun jaraknya lebih dari 100 kilometer ke Jakarta.
Sebaliknya, Baduy Luar lebih terbuka terhadap pengaruh luar, seperti menggunakan ponsel pintar dan kendaraan bermesin. “Gadget itu boleh, tapi asal [Baduy] di luar. Biasanya itu dimiliki orang mereka yang punya network dengan orang luar dan menggunakan itu untuk berjualan,” kata Iman.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Baduy Dalam masih bercocok tanam dan menyimpan hasil panen padi di lumbung, meskipun terkadang juga membeli beras dari kampung sekitar. Mereka juga tidak boleh mengembangbiakkan hewan berkaki empat. “Ayam masih boleh [diternak], tapi biasanya dipotong saat perayaan tertentu, seperti habis panen raya,” terang Iman.
Pengalaman di Suku Anak Dalam
Keterbatasan akses layanan kesehatan juga dialami oleh masyarakat adat Suku Anak Dalam yang mendiami wilayah Jambi dan sebagian Sumatera Selatan. Meskipun tidak ada larangan memiliki KTP, KK, atau BPJS, mereka seringkali kesulitan mendapatkannya. Pengendum Tampung, seorang warga Suku Anak Dalam yang aktif dalam pemberdayaan suku, mengatakan bahwa sejak empat tahun lalu, jumlah warga pemilik BPJS “belum sampai 20 orang.” “Warga tidak menolak BPJS sebenarnya,” kata Pengendum.
Hidup di tengah belantara hutan Bukit Dua Belas, mayoritas Suku Anak Dalam hidup bertani dan menetap di gubuk di tengah hutan. Hanya sebagian kecil yang masih hidup berpindah. Per 2024, jumlah Suku Anak Dalam mencapai 5.000 jiwa.
Selain sulit mendapatkan BPJS, masyarakat Suku Anak Dalam juga kesulitan mengakses fasilitas kesehatan. Dari dalam hutan tempat mereka tinggal di Meranti, Jambi, mereka harus berjalan sekitar 12 kilometer untuk mencapai puskesmas terdekat yang berlokasi di perkampungan transmigran. “Itu hanya untuk berobat bidan atau mantri,” terang Pengendum. Jika ingin mengakses dokter, mereka harus menempuh tambahan 12 kilometer ke RSUD Meranti.
RSUD Meranti menyediakan ruang perawatan khusus bagi Suku Anak Dalam, namun kondisinya tidak terawat karena jarang dipakai. Pengendum menjelaskan bahwa masyarakat umum tidak mau dirawat di ruang yang sama dengan Suku Anak Dalam. “Mereka [pengelola RSUD] selalu bilang, masyarakat umum enggak mau satu ruangan dengan suku anak dalam, sehingga inisiatif buatkan satu ruangan khusus,” katanya. “Tapi itu enggak terawat. Di samping ruangan bahwa tempat orang membuang sampah.”
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menepis adanya diskriminasi dalam akses layanan kesehatan bagi masyarakat adat. “Kesehatan itu hak semua masyarakat di Indonesia, dengan atau tanpa NIK,” tegasnya pada 6 November 2025. Ia juga mengaku telah mendengar kasus Repan dan berjanji akan memperbaiki sistem agar kejadian serupa tidak terulang. “Nanti kami perbaiki. Kami akan telusuri supaya mendapatkan perawatan yang benar.”
- ‘Sekarang sudah lega’ – Mengapa putusan MK jadi kabar bahagia masyarakat adat yang tinggal di hutan?
- Perusahaan terbatas pertama milik masyarakat adat didirikan di Papua – ‘Kami harus mandiri dengan aset dan potensi kami’
- Kisah ‘keberhasilan’ masyarakat adat Knasaimos di Papua, apa konsekuensinya dan bisakah ditiru masyarakat adat lain?



