Pemerintah Indonesia kini membuka kesempatan bagi Warga Negara Asing (WNA) untuk menduduki posisi strategis di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Keputusan ini sontak memicu beragam sorotan dari berbagai kalangan, yang mempertanyakan aspek dasar hukum, aturan turunan, iklim praktik “bagi-bagi jabatan,” hingga transparansi dalam proses rekrutmen.
Presiden Prabowo Subianto secara tegas menyatakan telah mengubah regulasi untuk memungkinkan ekspatriat memimpin BUMN Indonesia. Hal ini disampaikan Prabowo saat berdiskusi dengan Chairman dan Editor in Chief Forbes, Steve Forbes, di Hotel St Regis, Jakarta, pada Rabu (15/10). Langkah ini merupakan implementasi dari instruksinya kepada Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) untuk mengadopsi “standar bisnis internasional.”
Selain itu, Prabowo juga memerintahkan BPI Danantara untuk memangkas jumlah BUMN hingga tiga perempat dari sekitar 1.000 perusahaan yang ada. Ia meyakini bahwa dengan mengurangi jumlah perusahaan pelat merah, imbal hasil keuntungan BUMN bagi negara dapat meningkat secara signifikan, targetnya mencapai 1% atau 2%.
Peluang WNA menjadi bos BUMN bukanlah hal baru di beberapa perusahaan. Saat ini, Garuda Indonesia telah memiliki dua direksi BUMN yang diisi oleh WNA, yaitu Neil Raymond Mills sebagai direktur transformasi dan Balagopal Kunduvara sebagai direktur keuangan dan manajemen risiko.
Apa alasan pemerintah kasih peluang WNA jadi bos BUMN?
Alasan utama di balik kebijakan pemberian peluang bagi WNA BUMN ini, menurut Presiden Prabowo, adalah untuk memastikan pengelolaan BUMN selaras dengan standar bisnis internasional. Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, juga menegaskan bahwa tidak ada salahnya merekrut orang asing dalam BUMN, terutama jika kompetensi WNI dirasa belum mencukupi untuk sementara waktu. Ia mencontohkan analogi perekrutan pelatih sepak bola dari luar negeri berdasarkan kapabilitasnya.
Kepala Badan Pengaturan BUMN (BP BUMN), Dony Oskaria, menambahkan bahwa payung hukum untuk mengisi posisi perusahaan plat merah dengan WNA sudah diatur dalam undang-undang, menegaskan “keseriusan kita melakukan perubahan terhadap BUMN-BUMN kita.” Ketentuan yang memungkinkan WNA menjadi direksi BUMN tercantum dalam Undang-Undang BUMN terbaru. Meskipun syarat utama anggota direksi persero adalah WNI, klausul Pasal 15A Ayat (3) menyatakan: “Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a [WNI] dapat ditentukan lain oleh BP BUMN.” Ini menjadi dasar hukum bagi pengecualian tersebut.
Apa potensi kelebihan merekrut WNA di BUMN?
Keterlibatan ekspatriat di BUMN membawa sejumlah potensi kelebihan yang signifikan. Pertama, menurut Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia, Toto Pranoto, WNA dapat membantu BUMN bersaing di pasar internasional. Ini sangat relevan dalam konteks inovasi produk dan layanan baru (RnD) atau strategi pemasaran, yang esensial ketika BUMN Indonesia berupaya menembus pasar global.
Kedua, para profesional asing diharapkan membawa prinsip Good Corporate Governance (GCG) yang sesuai dengan pengalaman internasional mereka. Dengan standar pengelolaan internasional yang diterapkan, perusahaan negara Indonesia di masa depan diharapkan akan semakin familiar dengan model-model best practice GCG. Prinsip GCG mencakup transparansi, akuntabilitas, perlakuan adil, tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), pengelolaan risiko, dan independensi dewan direksi.
Meskipun demikian, Toto Pranoto mendorong perlunya aturan yang lebih rinci terkait perekrutan WNA di BUMN. Regulasi tersebut harus mencakup aspek jangka waktu kerja, kontrak perjanjian yang mewajibkan transfer of knowledge dari ekspatriat ke tenaga lokal, serta kebutuhan untuk coaching atau mentoring bagi staf lokal. Selain itu, perjanjian kerahasiaan informasi penting BUMN juga krusial agar tidak terjadi kebocoran yang dapat berdampak negatif.
Herry Gunawan dari lembaga riset NEXT Indonesia Center juga melihat potensi positif. Ia berpendapat bahwa ekspatriat cenderung lebih patuh pada tata kelola korporasi global dan tidak memiliki beban kepentingan politik lokal, yang seringkali menjadi masalah di BUMN.
- DPR sahkan Revisi UU BUMN – Kementerian BUMN dihapus, diubah menjadi Badan Pengaturan
- Sejumlah pendukung Prabowo-Gibran dapat jabatan komisaris BUMN – Praktik ‘bagi-bagi jabatan’ berlandaskan ‘politik balas budi’?
- Puluhan pejabat Kemenkeu rangkap jabatan sebagai komisaris BUMN, hasilkan miliaran rupiah ‘dalam rangka pengawasan’
Apa potensi kelemahan merekrut WNA di BUMN?
Di balik potensi kelebihan, Herry Gunawan juga menyoroti sejumlah potensi kelemahan dari kebijakan ini. WNA, seperti halnya manusia pada umumnya, memiliki keterikatan jaringan, terutama dengan ekosistem di luar Indonesia. Jaringan ini bisa meliputi bisnis pengadaan barang/jasa, vendor, dan kepentingan luar negeri lainnya, yang berisiko mengabaikan kepentingan nasional.
Kekhawatiran lainnya adalah potensi “silau” terhadap WNA, yang dapat membentuk persepsi bahwa orang asing otomatis lebih kompeten, padahal belum tentu demikian. Herry khawatir bahwa hal ini bisa membuat kita terlena. Lebih lanjut, membuka peluang bagi WNA untuk menduduki kursi direksi BUMN juga dianggap mengabaikan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) lokal. Selama ini, pemerintah telah menggunakan sistem talent pool sebagai wadah untuk mencari direksi dan komisaris BUMN yang memiliki kapabilitas mumpuni. Herry menekankan bahwa banyak talenta Indonesia yang siap dan mampu menduduki posisi direksi, dan persoalan integritaslah yang seringkali menjadi fokus.
Apa problem utama di BUMN?
Herry Gunawan menilai langkah pemerintah membuka peluang WNA ini sebagai “sinyal keras” dari Presiden Prabowo kepada direksi BUMN untuk memperbaiki kinerja dan menekan korupsi BUMN. Namun, ia menegaskan bahwa solusi utama bukanlah mengganti direksi lokal dengan asing, melainkan penegakan hukum yang tegas terhadap koruptor di BUMN, termasuk penyitaan aset mereka. Herry juga menyoroti praktik politik balas jasa di jajaran komisaris, di mana banyak pengurus partai politik mendapatkan jatah kursi meskipun dilarang oleh Peraturan Menteri BUMN 2023. Menurutnya, selama BUMN masih menjadi “dagangan politik,” profesionalisme yang masuk akan sulit bertahan.
Senada dengan Herry, LSM antikorupsi ICW memandang ketentuan WNA menjadi direksi BUMN sebagai kebijakan yang tidak sesuai dengan akar permasalahan yang ada saat ini. Menurut ICW, argumen Presiden Prabowo untuk mencapai standar bisnis internasional tidak cukup kuat. Data ICW menunjukkan bahwa pada Agustus 2021, 98 dari 107 BUMN telah tersertifikasi SNI ISO 37001:16 tentang Sistem Manajemen Anti Penyuapan, sebuah sertifikasi berstandar internasional.
ICW juga melaporkan bahwa pada periode 2016-2024, tercatat 234 kasus korupsi yang melibatkan 400 pejabat BUMN sebagai tersangka, dengan total kerugian negara mencapai Rp68 triliun. Oleh karena itu, penunjukan ekspatriat dan penerapan standar internasional tidak secara otomatis menjamin perusahaan bersih dari korupsi, seperti dijelaskan peneliti hukum ICW, Erma Nuzulia.
ICW menggarisbawahi tiga catatan penting terkait kebijakan ini: pertama, potensi proses seleksi yang tidak transparan dalam penunjukan WNA sebagai anggota direksi BUMN; kedua, hambatan dalam penindakan tindak pidana korupsi terhadap WNA; dan ketiga, status serta kewajiban warga negara asing sebagai anggota direksi BUMN. Poin terakhir menekankan bahwa WNA sebagai penyelenggara negara dapat dikenakan pasal suap dan gratifikasi, serta wajib melaporkan harta kekayaan melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). ICW meminta aparat penegak hukum seperti Kejaksaan RI dan KPK untuk tidak tebang pilih dalam menindak kasus yang melibatkan WNA.
Bagaimana status WNA yang menjadi direksi BUMN di mata hukum?
Juru bicara KPK, Budi Prasetyo, memastikan bahwa WNA yang menjabat di BUMN memiliki status sebagai penyelenggara negara. Dengan status ini, mereka wajib melaporkan aset dan kekayaannya melalui LHKPN. KPK menegaskan dapat menindak pidana WNA yang ditunjuk sebagai direksi BUMN jika terbukti ada dugaan fraud atau tindak pidana korupsi, mengingat BUMN mengelola keuangan negara dan organ di dalamnya adalah penyelenggara negara.
Senada, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Anang Supriatna, menyatakan bahwa status kewarganegaraan tidak menghalangi penegakan hukum di Indonesia. Hukum positif Indonesia berlaku penuh selama tindak pidana dilakukan di wilayah hukum Indonesia.
Namun, ICW memiliki catatan kritis terkait penegakan hukum, khususnya terhadap kasus suap yang terjadi di luar wilayah Indonesia. Salah satu kelemahan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) adalah kekosongan aturan mengenai yurisdiksi ekstrateritorial, yang menyebabkan suap di luar wilayah Indonesia sulit ditindak. Penindakan kasus yang melibatkan pihak asing juga memerlukan kerja sama dengan negara lain melalui mekanisme Mutual Legal Assistance (MLA) atau bantuan timbal balik, yang seringkali menemui kendala.
ICW memberikan contoh kasus Rolls-Royce yang melibatkan Emirsyah Satar, di mana pemberi suap yang merupakan warga Inggris tidak dapat ditindak pidana karena suap tidak terjadi di wilayah hukum Indonesia. Contoh lain adalah kasus korupsi E.C.W. Neloe, mantan Direktur Utama PT Bank Mandiri, yang diduga mengalihkan sebagian besar asetnya ke Swiss Bank. Indonesia pada saat itu tidak memiliki perjanjian MLA dengan Swiss, sehingga kesulitan mendapatkan informasi rekening, dan pengembalian kerugian keuangan negara tidak maksimal.
Apa yang mungkin terjadi ke depan?
Aturan dalam UU BUMN terbaru yang membuka peluang bagi WNA menjadi bos BUMN disebut “aneh” oleh Herry dari NEXT Indonesia Center. Ia berargumen bahwa ayat pengecualian yang mengubah norma dasar harus memiliki aturan turunan yang jelas, sesuai dengan hierarki hukum (teori Stufenbau). Herry memprediksi bahwa jika diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK), kemungkinan besar ayat pengecualian tersebut akan dihapus.
Tantangan lainnya bagi WNA yang menjadi direksi BUMN adalah apakah mereka akan ikut terbawa arus tata kelola yang buruk atau justru mampu melakukan perubahan. Toto Pranoto berpendapat bahwa para profesional asing mungkin tidak akan mau mempertaruhkan reputasi mereka jika sistem tata kelola (bad governance) masih kental di BUMN. Ia memperkirakan bahwa enam bulan hingga setahun cukup untuk melihat apakah kehadiran mereka membawa dampak positif yang signifikan.
- Empat hal yang perlu diketahui soal seruan tarik uang dari bank BUMN – Mengapa dikaitkan dengan Danantara?
- Rangkap jabatan menteri – ‘Kalau menteri saja dilarang, apalagi wakil menteri’
- Indonesia kehilangan Rp5,8 triliun akibat 24 BUMN rugi di 2017