
Banjir Sumatera: Anak-anak Rentan Terhadap Penyakit dan Trauma
Bencana banjir yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat telah menimbulkan dampak yang sangat besar, terutama bagi anak-anak. Mereka menjadi kelompok yang paling rentan terhadap berbagai masalah kesehatan, mulai dari penyakit menular hingga masalah kesehatan mental. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyoroti kerentanan ini dan menyerukan perhatian khusus terhadap kebutuhan anak-anak di tengah bencana.
Ancaman Penyakit Mengintai Anak-anak Korban Banjir
IDAI mencatat bahwa infeksi penyakit seperti diare, penyakit kulit, campak, tetanus, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), leptospirosis, hingga demam berdarah menjadi ancaman utama bagi anak-anak korban banjir. Upaya pencegahan melalui obat-obatan dan vaksinasi menjadi sangat penting. Sayangnya, tingkat capaian imunisasi dasar lengkap (IDL) di Sumatra Barat dan Aceh masih jauh di bawah target nasional, menambah risiko bagi anak-anak.
Selain masalah kesehatan fisik, anak-anak di wilayah banjir juga rentan terhadap masalah kesehatan mental, gangguan tumbuh kembang, serta potensi paparan kekerasan di pengungsian. “Harapan kami teman-teman yang merespon bencana di berbagai daerah tetap harus melihat anak-anak merupakan satuan yang komprehensif, seperti kesehatan fisik, tumbuh kembang, hingga aspek pendidikan,” kata Ketua Satgas Penanggulangan Bencana IDAI, dokter Kurniawan Taufiq Kadafi, Senin (01/12).
Melihat dampak yang begitu besar, IDAI mendorong pemerintah untuk menetapkan tragedi banjir di tiga provinsi di Sumatra itu sebagai bencana nasional. “Kami yakin ini bukan hanya heboh di medsos, tapi memang di alam nyata juga heboh. Dan mudah-mudahan pemerintah bisa juga memasukkan ini sebagai bencana nasional. Saya kira ini sudah cukup besar dampaknya,” kata Ketua Pengurus Pusat IDAI, dokter Piprim Basarah Yanuarso.
Data Korban Banjir dan Dampaknya pada Anak-anak
Data dari BNPB per Rabu (03/12) sore menunjukkan bahwa jumlah korban meninggal dunia akibat banjir dan longsor di tiga provinsi itu mencapai 810 orang, dan 612 jiwa dinyatakan hilang. Bencana ini juga menyebabkan sekitar 2.600 jiwa terluka, dan lebih dari 570.700 orang mengungsi. Sayangnya, data mengenai jumlah anak-anak yang menjadi korban belum diketahui secara pasti.
Diare dan Infeksi Kulit: Gelombang Penyakit Pertama
Sejak banjir melanda Sumatra pada akhir November, anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan terinfeksi berbagai penyakit. Diare dan infeksi kulit menjadi gelombang penyakit pertama yang mengancam. Studi kesehatan pada 2018 menunjukkan bahwa infeksi kulit, diare, dan infeksi saluran pernapasan biasanya muncul pada 10 hari pertama banjir. Penyakit-penyakit ini disebabkan oleh kontak antara anak-anak dengan air banjir yang terkontaminasi kuman berbahaya.

Di Sumatra Utara, IDAI telah memeriksa kesehatan anak-anak di tiga lokasi terdampak banjir sejak akhir November. Di Binjai, dari 66 anak yang diperiksa, 37 anak terjangkit ISPA, 18 orang mengalami diare, tujuh anak tinea (infeksi jamur kulit), dan empat terinfeksi bacterial dermatitis (peradangan kulit). Di Langkat, dari 125 anak yang diperiksa, IDAI mendapati 55 anak-anak terinfeksi ISPA, 12 diare, 35 tinea, dan 23 bacterial dermatitis. Sementara di Medan Barat, dari 54 anak yang diperiksa, mayoritas terjangkit ISPA (43 anak). “Selain itu, dari screening kegawatan anak, ada dua kasus dirujuk ke RS, dengan gejala pneumonia, jadi masih dirawat,” kata Wakil Ketua IDAI Cabang Sumatra Utara, Eka Airlangga.

Penyakit yang sama juga dilaporkan menginfeksi sejumlah anak di Sumatra Barat. “Contohnya di Kota Padang. Dari yang kami kunjungi, ISPA ada 80 kasus, diare empat kasus, kemudian penyakit kulit enam kasus, campak empat kasus,” kata Ketua IDAI cabang Sumatra Barat, dokter Asrawati. Selain itu, berdasarkan data hingga 28 November lalu, Asrawati mengatakan IDAI juga melaporkan empat anak meninggal dunia akibat banjir bandang dan longsor.

Sekelompok anak di Aceh yang terdampak banjir juga terjangkit oleh ragam penyakit yang sama. “Di Pidie Jaya, kasus ISPA. Lalu minggu ini sudah mulai ada diare. Kemudian ada pneumonia, infeksi saluran pernapasan bawah,” kata Ketua IDAI cabang Aceh, dokter Raihan. Raihan menambahkan, tim IDAI Aceh belum bisa mendata jumlah korban anak di wilayah yang terdampak parah dari Aceh Utara hingga Aceh Tamiang karena akses jalan menuju lokasi masih terputus.
Leptospirosis, Tetanus, dan Demam Berdarah: Ancaman Penyakit Lanjutan
Ketika banjir mulai surut, muncul ancaman penyakit lain seperti leptospirosis hingga tetanus, kata Ketua IDAI Aceh, dokter Raihan. Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang ditularkan melalui kontak dengan urin hewan, terutama tikus. Mikroorganisme ini seringkali menyerang tubuh anak saat mereka bersentuhan dengan air yang terkontaminasi, dengan masa inkubasi sekitar tujuh hingga 14 hari. Ciri-ciri pasien yang terserang leptospirosis adalah demam mendadak, sakit kepala, nyeri otot (terutama betis dan punggung), mata merah, serta kulit dan mata yang menguning (penyakit kuning).

Tetanus juga menjadi ancaman serius. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Clostridium tetani yang masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka. Ketika bakteri masuk ke dalam luka, terutama luka yang kotor atau tusuk, bakteri akan berkembang biak dan menghasilkan racun (neurotoksin) yang menyebabkan kekakuan dan kejang otot. Gejala awal tetanus biasanya muncul sekitar tujuh hingga 10 hari setelah infeksi, tetapi bisa juga mulai dari tiga hari hingga tiga minggu. Imunisasi DTP (Difteri, Tetanus, dan Pertusis) yang diberikan pada bayi dan balita menjadi salah satu upaya pencegahan yang bisa dilakukan. Jika tak segera ditangani, tetanus dapat menyebabkan komplikasi serius seperti pneumonia dan insufisiensi pernapasan yang dapat mengakibatkan kematian.
Selain itu, demam berdarah juga mengintai. Genangan air pascabanjir menjadi tempat ideal bagi nyamuk Aedes aegypti untuk berkembang biak.
Ancaman Kesehatan Mental dan Potensi Kekerasan di Pengungsian

Selain infeksi penyakit, masalah lain yang berpotensi menyerang anak-anak korban banjir adalah kesehatan mental, tumbuh kembang, dan potensi paparan kekerasan saat anak-anak berada di pengungsian. “Anak-anak merupakan satuan yang sifatnya komprehensif, termasuk di dalamnya aspek tumbuh dan kembang. Belum lagi aspek pendidikan anak yang terganggu, kehilangan registrasi identitas di rumah mereka yang terdampak bencana,” kata Ketua Satgas Penanggulangan Bencana IDAI, dokter Kurniawan Taufiq Kadafi. “Dan dalam posisi lama di kamp pengungsian, mungkin paparan kekerasan orang tua ke anak merupakan hal yang harus jadi perhatian,” ujarnya.
Kebutuhan Mendesak Anak-anak Korban Banjir
Di tengah kerentanan yang mengintai, IDAI menekankan pentingnya pemenuhan kebutuhan dasar anak-anak, seperti air bersih, makanan bergizi yang mudah diolah, dan imunisasi. Kadafi mencontohkan masalah pemberian mi instan yang seringkali diremas dan dimakan anak-anak tanpa cuci tangan. Oleh karena itu, perlu dipikirkan cara pengolahan makanan yang lebih aman dan higienis.
Selain itu, Ketua PP IDAI dokter Piprim Basarah Yanuarso menekankan pentingnya imunisasi bagi anak-anak di pengungsian. “Biasanya di pengungsian ada penyakit campak yang mudah sekali menyebar kemana-mana,” katanya.
Apalagi, tingkat capaian imunisasi dasar lengkap (IDL) di Sumbar pada Januari 2025 sebesar 0,9%, jauh dari target nasional yaitu 8,3%. Angka ini tidak jauh beda dengan yang terjadi di Aceh. Pada 2023, baru 20,8% anak-anak di Aceh yang telah menerima imunisasi dasar lengkap, jauh di bawah rata-rata nasional sebesar 95,3%. Tim IDAI pun akan melakukan imunisasi saat menemukan anak-anak korban banjir yang belum lengkap mendapatkan imunisasi. “Kalau kita menemukan anak yang belum lengkap imunisasi dan kita siapkan pos untuk melengkapi, karena kasus yang lain sampai hari ini juga ada ya, campak komplikasi ke pneumonia,” kata Ketua IDAI Sumatra Barat dokter Asrawati.
Kemudian, bagi ibu dan bayi yang menjadi korban banjir, proses menyusui ASI harus terus berlangsung karena lebih praktis dan steril dibandingkan dengan susu formula. “Memberikan formula seringkali pada keadaan dengan air yang tidak bersih itu meningkatkan risiko terjadi diare, kekurangan gizi pada bayi dan kematian bayi,” kata dokter Kadafi.
Selain itu, hal lain yang dibutuhkan anak-anak korban banjir adalah popok bayi, pakaian layak, selimut, perlengkapan mandi, dan obat-obatan.

Upaya Pemerintah dalam Penanganan Bencana
Pada Senin (01/12) kemarin, Presiden Prabowo Subianto menyatakan akan melakukan segala upaya untuk mengatasi kesulitan yang dialami pascabencana banjir di Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara. Prabowo menyampaikan hal itu saat mengunjungi lokasi banjir dan longsor di Tapanuli Tengah, Sumatra Utara. “Banyak jalan yang masih terputus, tapi kita segera melakukan segala upaya untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialami,” kata Prabowo.
Ia pun menyatakan bahwa pengiriman bantuan kepada korban bencana akan berlanjut setiap hari. Ia menyebutkan kapal besar yang sudah bisa mendarat di Sibolga hingga Hercules milik TNI akan dikerahkan. “Sekarang masalah BBM, tapi kapal besar sudah mendarat di Sibolga, kemudian Hercules terus kita kerahkan. Mungkin tiap hari berapa titik bisa didaratkan, ya,” katanya.
Usai berkunjung ke Tapanuli Tengah, Prabowo mengunjungi titik lokasi bencana di Kota Kutacane, Aceh Tenggara, Aceh, Senin (01/12).
Sebelumnya, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan hujan deras yang menyebabkan banjir besar dan longsor di banyak tempat itu disebabkan Siklon Senyar.



