Evaluasi Tata Ruang Pasca Banjir Sumatra: Mungkinkah Pemerintah Bertindak?

Posted on


Bencana banjir dan longsor yang memorak-porandakan sejumlah wilayah di Sumatra Utara, Sumatra Barat, serta Aceh memicu pertanyaan mendasar: Sejauh mana upaya mitigasi yang akan ditempuh pemerintah ke depan? Apa saja yang perlu diperbaiki secara mendasar? Dan seberapa siapkah pemerintah dengan kebijakan yang ada saat ini?

Langkah mitigasi bencana banjir, seperti yang terjadi berulang kali di Sumatra, haruslah menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya. Demikian pandangan dua peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dihubungi BBC News Indonesia.

Menurut para peneliti tersebut, banjir di Sumatra sebagian besar disebabkan oleh perubahan alih fungsi lahan, yang ditandai dengan pemberian izin konsesi kepada perusahaan-perusahaan. Artinya, penanggulangan bencana alam di masa mendatang tidak bisa mengabaikan faktor ini.

“Untuk mitigasi, tentu saja fungsi-fungsi alami hutan harus sebisa mungkin dipertahankan, bahkan ditingkatkan,” tegas salah seorang peneliti. Ini adalah kunci untuk mencegah banjir yang lebih parah.

Sumatra bukanlah wilayah pertama yang mengalami dampak buruk banjir akibat perubahan alih fungsi lahan. Sebelumnya, Bali pada September lalu, serta Kalimantan Selatan pada tahun 2021, juga mengalami hal serupa. Ini menunjukkan pola yang mengkhawatirkan di berbagai daerah di Indonesia.

Presiden Prabowo Subianto, menurut Ketua MPR Ahmad Muzani, telah menerima laporan mengenai “dugaan pembalakan liar” sebagai salah satu faktor pemicu banjir di Sumatra. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah mulai menyadari adanya masalah serius terkait pengelolaan hutan.

Sementara itu, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menegaskan bahwa bencana di Sumatra menjadi “momentum yang baik untuk kita mengevaluasi kebijakan.” Namun, wujud evaluasi tersebut belum dijelaskan secara rinci. Masyarakat menunggu tindakan nyata.

Pada akhirnya, pemerintah tidak menampik adanya hubungan antara deforestasi dan bencana banjir di Sumatra. Pengakuan ini adalah langkah awal yang penting.

Pemerintah menyatakan akan menelusuri praktik penggundulan hutan yang terungkap dari banyaknya gelondongan kayu yang terbawa arus banjir. Ini adalah indikasi jelas adanya aktivitas ilegal yang merusak lingkungan.

“Saat ini, Satgas Penertiban Kawasan Hutan (SPKH) sudah turun tangan menelusuri dugaan gelondongan kayu yang banyak terbawa arus banjir,” papar Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Praktikno.

“Pemerintah terus menelusuri pihak-pihak yang diduga melakukan pelanggaran melalui analisis citra satelit.” Teknologi ini diharapkan dapat membantu mengidentifikasi pelaku perusakan hutan.

Dari Kalimantan, Bali, sampai Halmahera: Banjir karena Alih Fungsi Lahan

Awal tahun 2021 menjadi pengalaman pahit bagi masyarakat Kalimantan Selatan. Banjir besar melanda daerah mereka, meliputi 11 kabupaten atau kota. Bencana ini meninggalkan luka mendalam.

Konsekuensinya sangat dahsyat. Lebih dari 300.000 orang terdampak, termasuk kehilangan tempat tinggal, mengungsi, bahkan meninggal dunia. Banjir ini adalah tragedi kemanusiaan.

Kerugian finansial mencapai Rp1,3 triliun, mencakup kerusakan rumah dan infrastruktur, hilangnya mata pencaharian, hingga terhentinya kegiatan ekonomi. Perekonomian lumpuh akibat bencana ini.

Pemerintah menyatakan bahwa penyebab banjir besar di Kalimantan Selatan adalah curah hujan yang sangat tinggi, sekitar 8 sampai 9 kali lipat dari biasanya. Kapasitas sungai tidak mampu menampung air yang melimpah.

“Faktor lainnya yaitu beda tinggi hulu dan hilir sangat besar, sehingga suplai air dari hulu dengan energi dan volume yang besar menyebabkan waktu konsentrasi air berlangsung cepat dan menggenangi dataran banjir,” ungkap pemerintah. Penjelasan ini menyoroti faktor geografis yang memperparah situasi.

Namun, organisasi sipil dan lingkungan seperti Walhi Kalimantan Selatan memiliki pandangan berbeda. Mereka menilai bahwa banjir 2021 juga disebabkan oleh melemahnya daya dukung alam akibat pembangunan yang tidak terkendali.

Data Walhi Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa dari 3,7 juta hektare luas wilayah tersebut, hampir 50% merupakan area pertambangan dan perkebunan sawit. Terdapat 157 perusahaan tambang batu bara dengan 814 lubang tambang di Kalimantan Selatan.

Hutan di Kalimantan Selatan, yang memiliki fungsi ekologis penting, “terus menyusut dari tahun ke tahun,” menurut Walhi. Ini adalah alarm bagi kelestarian lingkungan.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (sebelum dipecah) menunjukkan bahwa tutupan hutan di Kalimantan Selatan pada tahun 1990 masih sekitar 52%—tepatnya 1,9 juta hektare. Namun, pada tahun 2019, tutupan hutan tinggal kurang dari 1 juta hektare—24% dari luas wilayah.

Pengurangan luas tutupan hutan terjadi secara signifikan pada periode 1996-2000, mencapai hampir 840.000 hektare—setara dengan 208.000 hektare setiap tahunnya. Kehilangan hutan ini sangat mengkhawatirkan.

Perhitungan tim dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) menunjukkan “perbedaan mencolok” antara data kawasan hutan dan luas tutupan hutan pada tahun 2018. Hanya 48% dari kawasan hutan yang masih berupa hutan. Sisanya, 52%, berbentuk area nonhutan.

Secara keseluruhan, kawasan tutupan hutan hanya tinggal 20,72% dari total area Kalimantan Selatan. Ini adalah bukti nyata kerusakan lingkungan yang terjadi.

Pemerintah membantah bahwa banjir disebabkan oleh perubahan fungsi lahan yang memengaruhi Daerah Aliran Sungai (DAS). Klaim ini bertentangan dengan temuan berbagai pihak.

Menurut pemerintah, posisi DAS di Kalimantan Selatan “masih terjaga dengan baik.” Banjir disebabkan oleh “anomali cuaca” dan “bukan soal luas hutan di DAS Kalimantan Selatan.” Penjelasan ini menuai kritik dari berbagai kalangan.

Beralih ke Halmahera Tengah dan Halmahera Timur di Maluku Utara, banjir setinggi tiga meter pada Juli 2024 melumpuhkan dan mengisolasi belasan desa, memaksa ribuan warga mengungsi. Kondisi ini sangat memprihatinkan.

Pemerintah menyatakan bahwa pemicu banjir adalah intensitas hujan yang tinggi. Penjelasan ini dinilai terlalu sederhana.

Namun, narasi pemerintah dibantah oleh dua organisasi lingkungan, Forest Watch Indonesia (FWI) dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Mereka berpendapat bahwa ada faktor lain yang lebih signifikan.

Data FWI menunjukkan bahwa hilangnya tutupan hutan memperparah keadaan banjir. Sepanjang tahun 2021 hingga 2023, FWI mencatat adanya 13% kehilangan tutupan pohon—atau hutan—di kawasan Halmahera Tengah.

Hilangnya hutan terjadi bersamaan dengan meningkatnya aktivitas penambangan nikel, yang menyebabkan degradasi lingkungan dan meningkatkan risiko bencana hidrometereologi—termasuk banjir. Aktivitas ini diduga menjadi penyebab utama.

Laporan JATAM menunjukkan bahwa 23 izin tambang nikel berada di atas lahan seluas lebih dari 227.000 hektare di Halmahera Tengah. Empat di antaranya melintasi batas administratif Halmahera Tengah dan Halmahera Timur.

Secara rinci, total luas izin yang dikuasai perusahaan nikel mencapai 95.000 hektare—sekitar 42% dari area Halmahera Tengah. Dari jumlah tersebut, 21.000 hektare telah dibuka untuk tambang, yang sebagian besar berada di kawasan hutan maupun hulu sungai.

Belum lama ini, pada bulan September, giliran Bali yang dilanda banjir. Belasan titik terdampak akibat gelombang ekuatorial yang menghasilkan hujan lebat, menurut pemerintah. Penjelasan ini belum sepenuhnya menjawab pertanyaan publik.

Akibatnya, lebih dari 10 orang meninggal, ratusan dievakuasi, dan kerugian materi diperkirakan mencapai miliaran rupiah. Dampak banjir ini sangat besar.

Banjir di Bali bahkan disebut sebagai yang terparah dalam satu dekade terakhir, menurut pejabat di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bali. Ini adalah peringatan serius bagi pemerintah daerah.

Namun, beberapa akademisi berpendapat bahwa banjir di Bali tidak hanya disebabkan oleh faktor alam. Ada faktor lain yang turut berperan.

“Berkurangnya hutan yang berubah menjadi area terbangun membuat air hujan lebih banyak menjadi aliran permukaan daripada masuk ke dalam tanah. Aliran permukaan yang besar inilah yang dapat memicu banjir bandang,” kata Guru Besar Bidang Geomorfologi Lingkungan dari Fakultas Geografi UGM, Djati Mardianto.

Pakar perencanaan kota di Fakultas Teknik UGM, Bakti Setiawan, menilai bahwa “tata ruang dan perkembangan kota yang tidak terkontrol” merupakan faktor penting yang tidak bisa diabaikan dalam kasus banjir di Bali.

“Jadi tantangan utamanya adalah penataan ruang dan kota yang lemah dalam mengantisipasi risiko bencana,” tuturnya. Penataan ruang yang baik adalah kunci untuk mencegah banjir.

Pantauan Walhi menunjukkan bahwa Bali “menghadapi degradasi hutan mangrove yang sangat parah serta hilangnya kawasan pesisir yang menjelma kawasan perhotelan.” Di Denpasar, hutan mangrove di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai mengalami penyusutan seluas 62 hektare.

‘Pertahankan Hutan di Hulu, Supaya di Hilir Tidak Kena’

Rekapitulasi Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir, bencana banjir rutin terjadi lebih dari 1.000 kali setiap tahunnya.

Pada tahun 2020, tercatat sekitar 1.500 bencana banjir, menjadi yang terbanyak dibandingkan jenis bencana lainnya (32,69%). Ini menunjukkan betapa rentannya Indonesia terhadap banjir.

Setahun kemudian, angkanya melonjak menjadi 1.800, dan lagi-lagi menempati urutan pertama dalam daftar bencana yang paling sering terjadi (33,23%).

Jumlah banjir sempat menurun pada tahun 2022 dengan total 1.530 peristiwa. Meskipun turun, banjir tetap menjadi bencana nomor satu di Indonesia (43,23%).

Pemandangan serupa terlihat pada tahun 2023, ketika jumlah banjir kembali menurun menjadi 1.250. Penurunan ini memberikan sedikit harapan.

Namun, pada dua tahun berikutnya, yaitu 2024 dan 2025, angka bencana banjir kembali meningkat. Catatan tahun ini menempatkan bencana banjir sebagai yang terbesar sejak BNPB mulai mengumpulkan data pada tahun 2008. Totalnya mencapai 1.920 peristiwa. Ini adalah rekor yang memprihatinkan.

Peneliti dari Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air BRIN, M. Fakhrudin, menjelaskan bahwa bencana banjir memang terkait dengan fenomena alam seperti curah hujan tinggi atau anomali cuaca.

Namun, ia menambahkan bahwa pembahasan tentang banjir harus mencakup kontribusi pembangunan yang tidak berkelanjutan.

“Di daerah hulu, hutan berfungsi untuk menyerap hujan sebanyak-banyaknya. Air kemudian mengalir ke bawah. Sering kali, daerah hulu ini beralih fungsi, sehingga seharusnya menyerap hujan banyak, tapi tidak. Akibatnya, di daerah hilir terjadi banjir,” paparnya.

Menurut Fakhrudin, tindakan strategis bagi pemerintah adalah mempertahankan area-area yang memiliki fungsi alami—yaitu menyerap air hujan. Peran hutan, katanya, “wajib ditingkatkan.”

Jika tidak, ia melanjutkan, hutan akan semakin kehilangan kemampuannya dalam mencegah—atau mengurangi risiko—bencana alam. Ini adalah peringatan serius.

“Misalnya, di daerah hulu, kita harus mempertahankan hutan supaya hujan sebanyak-banyaknya meresap ke dalam tanah. Sehingga di hilir kita akan mengurangi efek daripada banjir itu,” tegasnya.

Data Global Forest Watch menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan 11 juta hektare hutan primer basah dari tahun 2002 hingga 2024. Ini menyumbang 34% dari total kehilangan tutupan pohon dalam periode yang sama. Area total hutan primer basah di Indonesia—pada linimasa itu—menyusut 11%.

Analisis lain menunjukkan bahwa dalam rentang tahun 2001 hingga 2024, sekitar 76% kehilangan tutupan pohon terjadi di wilayah yang didominasi oleh deforestasi. Ini adalah bukti nyata dampak buruk deforestasi.

Secara konkret, Fakhrudin mengatakan bahwa pemerintah seharusnya mulai mengaudit kawasan hutan, termasuk izin-izin di dalamnya yang diduga mengubah kondisi permukaan atau tutupan lahan. Audit ini sangat penting untuk mengungkap pelanggaran.

Pemerintah, kata dia, juga perlu membuat pemetaan wilayah—mana yang rawan, bagaimana kondisinya, serta seperti apa proyeksi ke depan. Pemetaan ini akan membantu dalam perencanaan mitigasi bencana.

“Termasuk dengan, misalnya, apakah perizinan kita evaluasi, tunda, atau cabut sementara atau seperti apa,” ujar Fakhrudin. Tindakan tegas diperlukan untuk melindungi lingkungan.

“Itu yang perlu dilakukan, dan itu memerlukan juga koordinasi kuat antara masing-masing sektor pemerintahan dengan bisa memberikan data yang benar-benar bagus dan detail sehingga perencanaan tersebut bisa melihat masalah secara keseluruhan.” Koordinasi yang baik adalah kunci keberhasilan.

Penanganan banjir, di sisi lain, menerapkan prinsip kebijakan berdasarkan sains (science-based policy), sebut Fakhrudin. Artinya, data-data yang telah dikumpulkan digunakan sebagai pedoman dalam mengambil keputusan.

Namun, Fakhrudin menerangkan bahwa manajemen data di Indonesia masih lemah. Ini adalah masalah serius yang perlu segera diatasi.

“Saya menemukan beberapa tempat yang awalnya saja bagus, setelah itu maintenance-nya sangat amat minim,” aku Fakhrudin.

Dalam konteks bencana banjir, data digunakan untuk memprediksi pola maupun kesimpulan akhir—apakah akan berpotensi terjadi banjir. Data-data ini, idealnya, dicatat melalui interval yang begitu rapat; per jam serta hari.

“Banjir itu datanya harus per jam. Dan kerapatan data tentang hujan ini juga masih jauh dari harapan. Sehingga kita, dalam merekomendasikan, juga kadang-kadang tidak tepat,” ucapnya.

Sejauh ini, pihak yang menjadi acuan untuk perkara hujan dan banjir adalah Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) serta Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Kedua lembaga ini memegang peran penting dalam penyediaan data.

Keduanya memegang data sehubungan curah hujan, water level, sampai debit sungai. Data ini sangat krusial untuk peringatan dini.

Fakhrudin berpandangan bahwa pengetahuan soal data tidak boleh berhenti di level pusat saja, atau cukup di beberapa instansi terkait. Ia meminta agar pemahaman serta implementasi data diturunkan hingga tingkat bawah—terlebih masyarakat di daerah bersangkutan.

“Sering kali kesadaran untuk mengubah perspektif ini belum sepenuhnya terbentuk. Data-data dasar itu banyak yang belum menyadari bahwa itu sangat penting, sebab berhubungan dengan di hulu,” paparnya.

“Sehingga concern kita terhadap pembangunan data, maintenance data, segala macam, termasuk alat-alat, itu juga lemah.” Investasi dalam data dan infrastruktur sangat penting.

Pengurangan Anggaran dan Komitmen Politik Kebencanaan

Kebijakan efisiensi anggaran yang dicetuskan pemerintahan Prabowo Subianto menyasar alokasi yang diberikan kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Pemangkasan anggaran ini menimbulkan kekhawatiran.

Awalnya, berdasarkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2025, BNPB memperoleh Rp1,4 triliun.

Namun, perubahan muncul usai rapat rekonstruksi anggaran bersama Komisi VIII DPR pada Februari lalu. Dana BNPB dipangkas sebesar Rp470 miliar sehingga ‘hanya’ menjadi Rp956 miliar. Pengurangan ini cukup signifikan.

Dana yang ada rencananya akan diutamakan BNPB untuk program ketahanan bencana senilai Rp701 miliar. Sisanya, Rp249,5 miliar, digunakan dalam dukungan manajemen. Prioritas anggaran perlu dievaluasi.

Kepala BNPB, Letjen Suharyanto, memastikan bahwa penghematan anggaran tidak memengaruhi kapasitas BNPB dalam merespons bencana. Pernyataan ini perlu dibuktikan.

“Artinya, untuk pelayanan publik atau masyarakat terdampak bencana tetap bisa kami laksanakan secara maksimal, meski ada efisiensi karena yang diefisiensikan itu adalah pelaksanaan tugas yang bersifat rutin di kantor pusat,” ucapnya.

Penanganan bencana alam membutuhkan komitmen politik yang aktif alih-alih kebijakan reaktif, demikian menurut analisis ilmuwan kebencanaan dari Charles Darwin University Australia, Jonatan Lassa.

Dalam urusan bencana alam, komitmen politik merupakan elemen krusial guna memperkuat ketahanan. Tanpa komitmen politik yang kuat, upaya mitigasi akan sulit berhasil.

Namun, komitmen politik seperti tidak muncul ketika sudah masuk di sektor kebencanaan. Pemerintah lebih fokus terhadap agenda pembangunan ekonomi serta pemenuhan janji politik, terang Jonatan. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan bencana belum menjadi prioritas utama.

Bencana kerap dipersepsikan sebagai peristiwa yang tidak mendesak saat kondisi sedang “normal,” dan oleh sebab itu bisa dipikir belakangan. Persepsi ini perlu diubah.

Begitu bencana terjadi, pemerintah seketika mengalokasikan dana darurat yang besar. Saat krisis selesai, pemerintah kembali ke setelan semula: kebijakan ekonomi. Pola ini menunjukkan kurangnya perencanaan jangka panjang.

Gejala semacam ini ditemukan Jonatan di Indonesia. Pada tahun 2015, ia memberikan gambaran bahwa BNPB menyediakan dana jumbo untuk merespons kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Alokasi dana lalu menurun dan meningkat kembali tiga tahun setelahnya bertepatan dengan gempa bumi yang menghancurkan Nusa Tenggara Barat (NTB) serta Sulawesi Tengah. Ini menunjukkan bahwa anggaran kebencanaan bersifat fluktuatif dan reaktif.

Pada Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, alokasi untuk BNPB disebut anjlok hingga Rp491 miliar. Penurunan ini sangat mengkhawatirkan.

Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, menjelaskan bahwa anggaran BNPB masih tersedia sebesar Rp500 miliar. Pemerintah berkomitmen untuk menambah anggaran jika memang diperlukan.

“Nanti tergantung permintaan BNPB. Anda tahu saya kaya. Tapi, uangnya cukup, dari pos darurat bencana kalau enggak salah, dan itu tinggal BNPB ajukan ABT (Anggaran Belanja Tambahan) ke kita, nanti kita [Kementerian Keuangan] proses. Kita, mah, siap terus,” Purbaya menanggapi.

Peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Atina Rizqiana, menekankan bahwa pemotongan anggaran untuk BNPB, juga Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), mencerminkan prioritas fiskal pemerintahan Prabowo yang hanya “mengutamakan sektor-sektor yang dianggap lebih strategis secara politis.”

Yang dimaksud Atina merentang dari hilirisasi, keamanan, serta pemenuhan proyek masif seperti Makan Bergizi Gratis (MBG). Prioritas ini perlu ditinjau ulang.

“Mengingat pemotongan dilakukan sama sekali bukan karena pertimbangan risiko bencana di Indonesia yang semakin menurun. Akibatnya, pemerintah justru mengambil risiko fiskal yang jauh lebih besar,” dia menjawab pertanyaan BBC News Indonesia.

Atina khawatir bahwa pemangkasan anggaran ini akan berdampak terhadap menurunnya kemampuan monitoring risiko maupun deteksi dini kebencanaan. Ini adalah risiko yang sangat serius.

“Juga respons yang lambat, baik secara kebijakan serta penanganan di lapangan, sampai berkurangnya kecepatan melakukan pemulihan pascabencana,” tambahnya.

Menurut Atina, sektor pencegahan dan mitigasi kebencanaan “harus kembali menjadi prioritas” sebab berkelindan dengan status Indonesia sebagai negara rawan bencana. Ini adalah investasi penting untuk masa depan.

Tidak hanya itu, penguatan anggaran harus “terintegrasi dalam sistem tata ruang serta kebijakan daerah,” ujar Atina. Integrasi ini akan memastikan efektivitas penggunaan anggaran.

“Di mana setiap daerah, baik yang rawan maupun rendah bencana, harus memiliki sistem pencegahan dan mitigasinya sendiri yang kuat,” katanya. Kemandirian daerah dalam penanganan bencana sangat penting.

Dukungan kepada kebijakan kebencanaan, dalam jangka pendek, dapat dimulai dengan “moratorium izin tambang dan sawit,” tandas Atina. Langkah ini akan membantu mengurangi kerusakan lingkungan.

“Tidak lupa, tagih secara tegas kewajiban perusahaan dalam melakukan reklamasi dan rehabilitasi lingkungan,” jelasnya. Perusahaan harus bertanggung jawab atas dampak lingkungan yang mereka timbulkan.

‘Kalau Berhari-hari Masih Chaos, Kita Perlu Mempertanyakan Pemerintah’

Peneliti di Pusat Riset Kependudukan BRIN, Gusti Ayu Ketut Surtiarti, mengungkapkan bahwa bencana di Sumatra tidak bisa disempitkan dalam wacana fenomena alam belaka. Ada faktor lain yang turut berperan.

Riset Ketut banyak berfokus pada pengurangan risiko bencana, kerentanan penduduk, serta resiliensi komunitas. Penelitian ini memberikan wawasan penting.

Sama seperti yang terjadi di Bali, banjir dan longsor di tiga provinsi di Sumatra “diperparah berkurangnya kawasan resapan yang memadai,” menurut Ketut.

Pemicunya, Ketut berujar, adalah aktivitas pembangunan. Bencana di Sumatra, Ketut meneruskan, sudah seharusnya membuat pemerintah memikirkan ulang pembangunan macam apa yang hendak digalakkan lantaran daya efeknya sangatlah besar.

Pembenahan bisa direalisasikan dengan, pertama-tama, membenahi transparansi secara menyeluruh.

Dalam konteks pembangunan, masyarakat perlu dilibatkan lantaran mereka yang tahu kondisi tempat tinggalnya, termasuk dengan kemungkinan-kemungkinan munculnya bencana. Partisipasi masyarakat sangat penting.

Prinsip dasarnya, pembangunan harus diterapkan dari bawah ke atas, bukan malah sebaliknya. Pembangunan harus responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

“Idealnya itu apa pun yang terjadi masyarakat itu tahu. Ini kita bicara ideal. Kalau kita bicara tentang pembangunan itu, sebenarnya, kita ada Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan). Jadi, [sifatnya] dari [aspirasi] bawah ke atas [pemerintah],” tegasnya.

“Sebaliknya juga pembangunan itu harusnya ada informasi dari atas ke bawah, begitu idealnya. Dan sebenarnya apa pun masyarakat harus tahu.” Keterbukaan informasi adalah kunci keberhasilan pembangunan.

Aksi penanggulangan serta mitigasi risiko dalam bencana memiliki benang merah yang mengikat, dan keduanya bisa direspons dengan keterlibatan aktif pemerintah serta masyarakat untuk mewujudkan participatory mapping (pemetaan partisipatoris), sebut Ketut.

“Jadi ada upaya untuk memetakan kerentanan, risiko, dan komunitas terhadap bencana alam,” tandas Ketut. Pemetaan ini akan membantu dalam perencanaan mitigasi bencana.

Di tataran yang paling sederhana, participatory mapping dapat dijalankan dengan community asset mapping (pemetaan aset komunitas), Ketut menjelaskan.

“Yang saya petakan adalah sosialnya. Sosial itu memetakan lingkungan kita. Misalnya, orang yang punya sumber daya ini ada di sini, bisa diakses di sini, termasuk finansial, materi, sampai barang,” papar Ketut.

“Atau, misalnya, kalau ada yang perawat bisa hubungi dia. Ada dokter bisa ke sana. Kalau mau juragan beras di situ.”

Aset-aset itu lalu disambungkan, membentuk semacam jaringan, ujar Ketut. Jaringan inilah yang dimanfaatkan tatkala situasi darurat. Jaringan komunitas dapat menjadi penyelamat dalam situasi darurat.

Pada waktu bencana, 72 jam pertama—atau tiga hari—merupakan “emergency response,” tambah Ketut. Dengan kata lain, “kita tidak bisa berharap bantuan dari luar karena asumsinya infrastruktur kolaps,” terang Ketut.

Perhitungan 72 jam ditarik dari kemampuan maksimal manusia bertahan “tanpa mengonsumsi apa pun.” Ketut menyebutnya survival mode (mode bertahan).

“Jadi memang 72 jam pertama itu memang terisolasi. Bahkan kita harus tahu, misalnya, letak kebun jagung di mana, kebun pepaya di mana, atau siapa yang punya genset, contohnya, untuk bisa bertahan,” imbuhnya.

Persoalannya, praktik pemetaan ini “belum maksimal di Indonesia,” kata Ketut. Ini adalah tantangan yang perlu diatasi.

Ketut menilai pemerintah lebih bisa punya andil signifikan dalam membangun “pemetaan” tersebut.

Dengan begitu, masyarakat tidak dibiarkan tanpa bekal memadai andaikata bencana alam lahir dan keadaan di lapangan memang membutuhkan proses maupun waktu untuk menempuh evakuasi. Pemerintah memiliki peran penting dalam memberikan bekal kepada masyarakat.

“Kalau lebih dari 72 jam, misalnya, masih chaos, berarti kita perlu mempertanyakan pemerintah itu bagaimana,” pungkasnya.

  • Kesaksian masyarakat di daerah terisolir di Aceh Tengah – ‘Stok sembako hanya dua sampai tiga hari lagi’
  • Foto-foto sebelum dan sesudah banjir melanda Aceh, Sumbar, dan Sumut
  • Warga meninggal saat rebutan beras bantuan banjir di gudang Bulog Tapanuli Tengah – ‘Pembelajaran cadangan pangan itu penting’
  • Masyarakat adat O’hangana Manyawa di Halmahera terjepit industri nikel, citra primitif, dan dugaan kriminalisasi
  • Di balik tambang mineral milik China yang menggurita di Indonesia, Argentina, dan Kongo
  • ‘Tiga hari minum air hujan’ – Banjir bandang melanda Halmahera Tengah, murni akibat cuaca atau aktivitas pertambangan nikel?
  • Banjir Bali terparah sepanjang satu dekade, korban meninggal bertambah menjadi 16 orang
  • Tragedi 1965 dan ‘mantra ampuh’ di balik citra surgawi pariwisata Bali
  • Mengubur mimpi punya tanah di Bali – Warga ‘terjepit’ di tengah perkembangan wisata dan kebutuhan hidup
  • Penampakan kayu gelondongan yang hanyut bersama banjir di Sumatra
  • Gelombang penyakit ancam anak-anak korban banjir Sumatra di tengah capaian imunisasi dasar yang sangat rendah
  • Pengakuan warga Kabupaten Agam, Aceh Tengah dan Tapanuli Tengah yang terisolasi – ‘Demi makan, kami harus menembus kubangan lumpur”
  • Setidaknya 770 orang meninggal dunia, pemerintah berkukuh tak tetapkan bencana nasional di Sumatra
  • Prabowo didesak tetapkan banjir dan longsor di Sumatra sebagai bencana nasional – ‘Masyarakat sampai menjarah demi bertahan hidup’
  • ‘Mama saya meninggal dalam keadaan salat’ – Akhir perjuangan anak mencari sang ibu yang hilang di tengah banjir bandang Sumbar
  • Ribuan orang mengungsi akibat banjir dan longsor di Sumatra Utara, akibat perusakan hutan atau cuaca ekstrem?
  • Mengapa sistem peringatan dini banjir sering gagal selamatkan nyawa?
  • ‘Rasanya ngeri sekali’ – Gunung Lewotobi Laki-laki di NTT meletus
  • Banjir terjadi setiap hari di berbagai daerah di Indonesia, ‘kebijakan pemerintah hangat-hangat tahi ayam’
  • ‘Saya sudah muak’ – Banjir berulang di Bekasi-Jakarta-Tangsel bikin warga luapkan kekesalan, pemerintah dituding tidak pernah serius menanganinya
  • Indonesia diguncang gempa bumi ribuan kali per tahun – Apa yang harus dilakukan saat gempa bumi terjadi?
  • Peringatan 20 tahun tsunami Aceh: Cerita dua penyintas yang memilih tinggal di zona berbahaya – ‘Kita sudah enggak takut lagi tinggal di pantai’
  • Apakah teknologi bisa selamatkan penduduk dari tanah longsor?
  • Kisah anak mencari ayahnya yang jadi korban longsor area tambang emas ilegal di Gorontalo – Mengapa aktivitas ini ‘dibiarkan’ terus beroperasi?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *