
Hanya dua baris, diiringi suara gitar, dinyanyikan dalam bahasa Inggris dan Spanyol. Kesederhanaan itulah yang menjadikan Feliz Navidad sebagai lagu klasik selama liburan Natal dan Tahun Baru.
Lagu hit karya José Feliciano asal Puerto Rico ini tidak hanya tenar di Amerika Latin., tapi juga telah menaklukkan tangga lagu di dunia berbahasa Inggris sejak dirilis pada 1970.
Lagu ini adalah satu-satunya tembang dari penyanyi Amerika Latin yang bertengger di Billboard’s Holiday 100, tepatnya di peringkat 12.
Dinyanyikan ulang oleh bintang-bintang seperti Celine Dion, Michael Bublé, Raphael, dan Gloria Gaynor, lagu ini juga secara tak terduga terus diadaptasi hingga sekarang: dari K-pop BTS hingga grup musik metal It Dies Today.
“Lagu ini telah dinyanyikan ulang berkali-kali karena kesederhanaan dan kemudahan replikasinya. Tetapi juga karena lagu ini dwibahasa. Ketika Feliciano merilis lagu ini, hanya ada sedikit musik Natal dwibahasa, dan itu membuatnya langsung mudah diingat dan istimewa,” kata Leila Cobo, pimpinan Billboard Latin, kepada BBC Mundo.
Cobo menambahkan bahwa “Feliciano menulis lagu itu nyaris semacam kelakar.”
“Sebenarnya, saya tidak ingin merekamnya karena terlalu sederhana. Produsernyalah yang berkeras,” tambahnya.
Produsernya adalah Rick Jarrard, yang kemudian menjadi teman dekat dan kolaboratornya.
Jarrard jugalah yang memintanya untuk menulis single untuk album tersebut, yang akhirnya juga diberi judul Feliz Navidad (Selamat Natal).
“Saya merasa panik,” kata sang penyanyi dalam sebuah wawancara dengan acara Today di NBC News.
“Karena begitu banyak lagu Natal yang indah telah ditulis, oleh orang-orang seperti Irving Berlin. Dan saya berpikir, bagaimana saya akan menulis lagu yang setara dengan lagu-lagu itu?” ujarnya.
Tapi penyanyi—yang kini berusia 80 tahun dengan tujuh Grammy Awards dan satu Latin Grammy selama enam dekade berkarya—berhasil melakukannya.
Kini lagu karya Feliciano itu didengar setiap Natal di seluruh dunia.
Tetapi, inspirasi untuk lagu yang mengabadikan namanya itu menghampirinya tatkala Feliciano berada dalam salah satu momen tergelap dan tersulit dalam kariernya.
Dampak lagu kebangsaan
José Feliciano adalah seorang tuna netra sejak lahir, yang berasal dari Lares, di wilayah barat Puerto Rico.
Kesuksesannya dalam bermusik dimulai pada 1960-an.
Saat itu dia sudah bernyanyi dalam bahasa Inggris.
Keluarganya bermigrasi ke New York ketika dia baru berusia lima tahun.
Di sana dia belajar gitar dan memadukan ritme Latin dengan soul dan blues di panggung-panggung Greenwich Village.
Pada 1968, berkat versinya dari lagu The Doors, Light My Fire, dia menduduki puncak tangga lagu Billboard dan menerima dua Grammy.
Beberapa kritikus menganggapnya sebagai salah satu gitaris terbaik yang masih hidup saat itu, dengan daya cipta dan kemampuan interpretasi yang luar biasa.
Namun, orisinalitas itu tidak selalu dipahami.
Pada 7 Oktober 1968, Feliciano yang berusia 23 tahun, tiba dengan berkacamata hitam dan gitarnya di laga kelima Seri Dunia Bisbol antara Detroit Tigers dan St. Louis Cardinals.
Di depan stadion yang penuh sesak, dia melantunkan The Star-Spangled Banner, lagu kebangsaan Amerika Serikat. Dia melakukannya dengan cara yang tidak konvensional, dengan sentuhan blues, soul, dan jazz, serta banyak ritme, jauh dari kelaziman.
Tigers menang, tetapi setelah laga berakhir, aspek olahraga itu menjadi hal yang paling sedikit dibicarakan.
Penampilan Feliciano mendapat kecaman luas dari penonton, yang mencemoohnya, menganggap penampilannya tidak sopan. Media-media, seperti mengamini suara publik, menyebut nyanyiannya sebagai “penghujatan.”
Mereka bahkan meminta agar dia dideportasi, meskipun dia adalah warga negara AS karena dia lahir di Puerto Rico.
“Itu menghancurkan karier saya,” ujar sang musisi dalam sebuah wawancara pada 2006 dengan Kantor berita Associated Press.
“Stasiun radio berhenti memutar musik saya. Itu adalah masa yang sangat sulit bagi saya,” tambahnya.
Menurut sang penyanyi, versi yang dia lantunkan bertujuan untuk menyoroti warisan keturunan Afrika di negara itu, yang dia kenal secara mendalam karena dia tumbuh di komunitas New York yang beragam.
“Yang terpenting, saya ingin mengungkapkan cinta yang saya rasakan untuk negara tempat saya tinggal ini. Ketika Anda seorang pelopor, itu sulit. Saya melakukannya dengan cara saya sendiri, dengan perasaan, dengan jiwa,” lanjutnya.
Major League Baseball mencatat dalam sebuah unggahan blog bahwa Feliciano adalah artis pertama yang membawakan lagu kebangsaan dengan gaya mereka sendiri selama pertandingan.
Dan atas prestasinya, membuka jalan bagi artis-artis selanjutnya seperti Jimi Hendrix dan Whitney Houston untuk membawakan versi mereka sendiri.
Setelah kontroversi itu, dan di tengah boikot oleh sejumlah stasiun radio, Feliz Navidad dirilis.
Nostalgia Puerto Rico
“Kami tidak ingin merilis album Natal yang sentimental. Jadi kami memutuskan untuk melakukannya dengan cara lain,” kata Feliciano kepada NPR pada 2020, ketika lagu hitnya memasuki usia 50 tahun.
Itulah mengapa melodi “Feliz Navidad” terdengar ceria, kata sang penyanyi dalam wawancara yang sama.
Hal ini tidak berarti lagu tersebut tidak dipenuhi nostalgia, emosi yang sama, menginspirasinya untuk menulisnya, ungkapnya.
Feliciano, yang tumbuh dewasa di keluarga dengan 11 saudara kandung, mengenang aktivitasnya selama musim panas di kawasan utara AS ketika dia mengurung diri di studio RCA, Los Angeles.
Ketika itu dia memproduksi album bersama Jarrard, dan dia mengaku sangat merindukan orang-orang yang dicintainya.
Kemudian dia teringat bagaimana keluarganya di Puerto Riko merayakan Malam Natal: dengan parrandas, lagu-lagu Natal yang biasanya dinyanyikan orang Puerto Riko dari rumah ke rumah.
Lagu-lagu itu tidak seperti yang dinyanyikan di AS karena diiringi oleh suara tamborin plena dan instrumen lain seperti marakas dan cuatro (mirip gitar, tetapi dengan 10 senar dan suara bernada tinggi).
“Ada lagu-lagu Natal lain yang dwibahasa. Misalnya, ada lagu karya Hugo Ríos, ‘Mamacita, ¿dónde está Santa Claus?’
“Tetapi ‘Feliz Navidad‘ adalah sebuah karya tersendiri. Lagu itu mengungkapkan kegembiraan yang saya rasakan di Natal dan, pada saat yang sama, kenyataan bahwa saya merasa sangat kesepian.
“Saya merindukan keluarga saya, saya merindukan menyanyikan lagu-lagu Natal bersama mereka. Saya merindukan seluruh suasana Natal,” katanya dalam wawancaranya dengan Associated Press.
Cobo, dari Billboard Latin, mengatakan bahwa “Feliz Navidad” mengingatkannya pada “Despacito,” lagu terkenal karya sesama warga Puerto Rico, Daddy Yankee dan Luis Fonsi.
“Saya pikir pada saat itu, ‘Feliz Navidad‘ pasti merupakan sebuah pencerahan bagi orang-orang yang tidak berbahasa Spanyol dan menyadari bahwa mereka dapat mengucapkan Selamat Natal dalam bahasa lain,” kata jurnalis, editor, dan penulis tersebut.
“Dia membayangkan kemungkinan komersialisasi musik dalam bahasa Spanyol,” katanya.
Pada 2009, ‘Feliz Navidad’ dimasukkan ke dalam Grammy Hall of Fame.
Kehidupan Feliciano, yang pada saat menciptakan lagu tersebut sedang mengalami salah satu periode tersulitnya, “benar-benar berubah”.
“Album ini (‘Feliz Navidad’) mengukuhkannya sebagai seorang artis yang juga menyanyikan musik orisinal dan yang belum pernah dirilis.
“Dan lagu dengan judul yang sama adalah lagu yang paling diingat dan dinyanyikan ulang oleh penyanyi lain. Lagu itu juga yang memberinya penghasilan terbesar setiap tahunnya,” komentar Cobo.
Feliciano mengatakan kepada Today bahwa dia percaya lagunya sangat sukses “karena lagu itu menyatukan kita semua”: “Tidak ada yang bisa marah karena seseorang menyanyikan ‘Feliz Navidad‘ dalam bahasa Spanyol atau Inggris.”
Pada 2006, jurnalis Associated Press Adrian Sainz bertanya kepada penyanyi Puerto Rico itu: Bagaimana perasaannya ketika dirinya dianggap sebagai artis Amerika Latin pertama dalam sejarah yang berhasil menembus pasar Anglo-Saxon.
Dia menjawab bahwa dia merasa “bangga” dan senang “membuka pintu” bagi penerjemah berbahasa Spanyol lainnya.
Dia menambahkan: “Saya hanya berharap kita tidak kehilangan apa yang telah kita perjuangkan dengan susah payah.”
- ‘Kami sudah mengenal Natal sebelum nenek moyangmu menganut Kristen’ – Dampak lagu amal yang menstereotipe rakyat Ethiopia selama puluhan tahun
- Mengapa lagu Natal ‘All I Want for Christmas is You’ menjadi hit setiap tahun?
- Seperti apa tradisi perayaan Natal di Islandia, Venezuela, Jepang hingga Australia?
- Demi misa Natal, satu keluarga di Aceh Tengah berjuang menembus titik longsor – Bagaimana para penyintas banjir-longsor Sumatra menjalani Natal?
- Natal penuh keprihatinan di Gaza dan umat Kristiani ‘yang lelah karena perang’
- Foto-foto Natal di Hutanabolon yang luluh lantak akibat banjir hingga ‘sinterklas’ pengatur lalu lintas di Solo
- ‘Kami sudah mengenal Natal sebelum nenek moyangmu menganut Kristen’ – Dampak lagu amal yang menstereotipe rakyat Ethiopia selama puluhan tahun
- Seperti apa tradisi perayaan Natal di Islandia, Venezuela, Jepang hingga Australia?
- Mengapa lagu Natal ‘All I Want for Christmas is You’ menjadi hit setiap tahun?



