Dewas KPK didesak periksa komisioner terkait penghentian kasus korupsi izin tambang nikel di Sultra

Posted on

caristyle.co.id – , JAKARTA — Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menghentikan penyidikan korupsi terkait pemberian izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra) memunculkan kecurigaan publik. Mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang meminta Dewan Pengawas (Dewas) KPK turun tangan melakukan audit dan penyelidikan internal di KPK terkait penerbitan surat penghentian penyidikan (SP3) atas kasus yang merugikan keuangan negara sekitar Rp2,7 triliun itu.

“Dalam permasalahan ini, Dewas di KPK harus bekerja. Karena Dewas itu, kan kerjanya untuk mempelajari kinerja-kinerja dari pimpinan-pimpinan KPK, staf-staf KPK. Panggil pimpinannya, panggil penyidiknya untuk menjelaskan alasan kenapa itu (kasusnya) dihentikan,” kata Saut saat dihubungi Republika dari Jakarta, Senin (29/12/2025).

Saut menegaskan, KPK juga punya tanggung jawab hukum, maupun moral dalam menjelaskan utuh ke publik tentang alasan penerbitan SP3 atas kasus korupsi yang sudah menetapkan mantan Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman (ASW) sebagai tersangka. Karena kata Saut, kinerja pemberantasan korupsi di KPK harus berbasis pada transparansi, ekuntabilitas, dan keadilan untuk publik.

Saut khawatir penerbitan SP3 dalam kasus tersebut memicu masalah internal yang berdampak pada kualitas KPK sendiri. “KPK harus bertanggung jawab di situ. Dan sekali lagi, pemberantasan korupsi itu ada adigium dia (KPK) harus transparan, dijelaskan ke publik, akuntabel, prosesnya jelas nggak ini, bebas dari conflict of interest, apakah (penanganan kasus ini) sudah bebas dari konflik kepentingan, terus fairness, sudah adil nggak ini dalam pelaksanaannya,” ujar Saut.

Alasan SP3 tak dapat diterima

Saut merupakan wakil ketua KPK periode 2015-2019. Saut adalah pemimpin di KPK yang mengumumkan peningkatan hukum kasus korupsi pemberian IUP nikel di Konawe Utara itu pada 2017.

Saut yang pada 3 Oktober 2017 mengumumkan Aswad Sulaiman sebagai tersangka atas perannya sebagai Pj Bupati Konawe Utara 2007-2009 dan Bupati Konawe Utara periode 2011-2016. Saut menceritakan pada saat pengusutan kasus itu nyaris tak ada perdebatan berarti di level penyidik maupun di tingkat komisioner.

“Saya lupa waktu itu berapa skornya di level pimpinan waktu itu (saat penetapan tersangka). Tetapi dalam kasus ini, pimpinan itu sangat solid,” kata Saut.

Dan ketika itu, kata Saut mengungkapkan pengusutan korupsi di sektor pertambangan nikel, bagian dari program KPK dalam membantu pemerintah untuk penyelamatan kerugian negara di lingkup sumber daya alam dan mineral. “Dan kalau dari sisi formil maupun materiilnya, tidak ada keragu-raguan di situ,” kata Saut.

Dalam kasus tersebut, pun pengusutannya sudah sampai level ke pihak-pihak lain. Menurut Saut, kasus korupsi pemberian IUP nikel di Konawe Utara itu ada dugaan keterlibatan dan keterkaitannya dengan lembaga-lembaga maupun unit-unit bisnis milik negara lainnya.

“Di situ, ada melibatkan pihak lain, di antaranya karena itu juga menyangkut ekspor (nikel), yang itu ada (dugaan) keterlibatan bea cukai, dan juga ada keterkaitannya dengan Antam,” ujar Saut.

Dia menerangkan, ada banyak lahan-lahan pertambangan yang selama ini dimiliki maupun dalam penguasaan sah PT Aneka Tambang (Antam). Namun sengaja dialihkan dengan cara melanggar hukum ke perusahaan-perusahaan pertambangan lain.

Menurut Saut, pengusutan kasus itu sampai pada penetapan Aswad Sulaiman sebagai tersangka bukan proses yang mudah. Karena itu, menurut Saut, menjadi tak masuk akal penjelasan dari KPK tentang alasan-alasan penghentian kasus tersebut.

“Kami membacakan itu (penetapan tersangka) melalui kegiatan yang diawali adanya pengaduan masyarakat, pendalaman, kroscek, double check, sampai masuk ke level penyelidikan. Pemaparan di tingkat direktur, di tingkat deputi, sampai ke tingkat pimpinan. Kemudian naik lagi ke tingkat penyidikan, pemaparan lagi di tingkat direktur, di tingkat Satgas, tingkat deputi, dan sampai ke tingkat pimpinan. Dan itu semua ada proses bukti-bukti yang disampaikan dalam pemaparan,” ujar Saut.

Tersangka mantan Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman (tengah), bersiap meninggalkan gedung KPK usai diperiksa di Jakarta, Selasa (17/10). – (Antara/Sigid Kurniawan)

Saut melihat ada dua alasan yang disampaikan KPK melalui pemberitaan tentang alasan penerbitan SP3 kasus tersebut. Pertama, terkait alasan KPK yang menyampaikan penghentian penyidikan kasus tersebut karena tak adanya cukup bukti menyangkut kerugian negara dalam Pasal 2, maupun Pasal 3 UU Tipikor yang disangkakan terhadap Aswad Sulaiman.

Kata Saut, alasan pertama itu mengada-ada.

“Memang (Rp) 2,7 triliun (kerugian negara) yang kami sampaikan saat itu menghitungnya gampang?,” kata Saut.

Dia memastikan, KPK dalam menetapkan Aswad Sulaiman sebagai tersangka, sudah mengantongi hasil penghitungan kerugian negara dari lembaga-lembaga auditor yang dijadikan satu alat bukti. “Jadi kalau disebut itu tidak cukup buktinya, itu kan kita juga melibatkan banyak pihak. Kita tidak mungkin bicara sampai kerugian negara sebesar itu tanpa adanya bukti. Dan bukti-bukti itu sudah ada di KPK,” kata Saut.

Memang, kata Saut, dalam praktiknya penghitungan kerugian negara Rp2,7 triliun itu belum diuji ke pengadilan. Namun begitu, Saut memastikan adanya hasil penghitungan kerugian negara terkait korupsi pemberian IUP nikel di Konawe Utara tersebut, merupakan satu alat bukti.

Dan kedua, kata Saut, alasan KPK menghentikan kasus tersebut karena menyangkut soal kadaluarsa delik suap. Saut memastikan, alasan tersebut mencong dari ketentuan batas waktu pembebasan perkara tindak pidana korupsi.

“Kasus itu, tidak ada urusannya dengan kadaluarsa. Saya pikir alasan itu (kadaluarsa) gugur disebut sebagai alasan dihentikannya penyidikan,” ujar Suat.

Saut kembali mengungkapkan, dalam pengusut kasus tersebut pada 2017, penyidik ada menemukan bukti-bukti menyangkut pemberian suap oleh banyak perusahaan-perusahaan pertambangan yang mendapatkan percepatan IUP. Dan dalam menetapkan Aswad Sulaiman sebagai tersangka, penyidik punya bukti-bukti terkait penerimaan Rp 13 miliar pada saat menjabat sebagai Pj Bupati, maupun bupati defenitif Konawe Utara.

“Jadi kalau dia (KPK) bilang itu kadaluarsa, itu nggak seperti itu. Dan kalau dinyatakan KPK itu tidak cukup buktinya, saya kira itu sudah dua alat buktinya,” ujar Saut.

Menurut Saut, Dewas KPK harus menyelidiki apa latar belakang penerbitan SP3 kasus tersebut. KPK, pun harus menjelaskan gamblang ke masyarakat tentang alasan-alasan hukum mengapa kasus korupsi yang sudah menetapkan tersangka, dan sudah mengantongi angka kerugian negara tersebut malah disetop.

“Bagaimana penyidikan bisa dibuka kembali, katanya kalau ada bukti-bukti baru, nggak ada itu. Bukti lamanya juga sudah banyak itu. Bukti baru apalagi yang diperlukan? Itu tadi kita sebut dua saja sudah cukup,” kata Saut.

Juru Bicara KPK Budi Prasetyo sebelumnya mengatatakan, penghentian penyidikan (SP3) kasus korupsi pertambangan nikel di Konawe Utara demi kepastian hukum terhadap pihak-pihak yang selama ini diyakini terlibat. “Pemberian SP3 ini, untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum kepada para pihak terkait. Karena setiap proses hukum harus sesuai dengan normar-norma hukum,” kata Budi melalui pesan singkat, Ahad (28/12/2025).

Penerbitan SP3 itu, pun kata Budi menjelaskan sesuai aturan dan kewenangan KPK dalam penanganan suatu perkara tindak pidana korupsi. Terutama kata dia menyakut soal penerapan pasal 5 Undang-undang (UU) 19/2019 yang menyangkut soal kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, proporsionalitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusan.

Terkait dengan kurangnya alat bukti, kata Budi, kasus korupsi yang sudah menjerat Pj Bupati Konawe Utara 2007-2009, dan Bupati Konawe Utara 2011-2018 Aswad Sulaiman (ASW) itu terkait dengan penggunaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor 31/1999 dan 20/2001. Pasal-pasal dalam penerapan tersangka itu menyangkut soal adanya kerugian keuangan negara.

Dalam perjalanan pengusutan kasusnya di KPK, kata Budi, penyidik gagal melengkapi bukti-bukti tentang penjeratan pasal-pasal menyangkut kerugian keuangan negara itu. “Penerbitan SP3 oleh KPK itu sudah tepat. Karena tidak terpenuhinya kecukupan alat-alat bukti dalam proses penyidikan yang dilakukan, Pasal 2, Pasal 3-nya itu, yaitu terkendala dalam penghitungan kerugian keuangan negara,” ujar Budi.

Selanjutnya, kata Budi dalam penyidikan terkait kasus tersebut, juga ada menyangkut soal penggunaan pasal-pasal suap. Dalam penyidikan, kata Budi, tuduhan penerimaan suap tersebut terjadi pada 2009. Dan lama waktu peristiwa penerimaan suap itu dikatakan Budi mengandung sifat kedaluwarsa

“Kemudian dengan tempus perkara yang sudah 2009, ini juga berkaitan dengan daluwarsa perkaranya, yakni terkait pasal suapnya,” kata Budi.

Ia mengatakan, karena adanya kedaluwarsa menyangkut penjeratan pasal-pasal suap, serta tak cukupnya bukti menyangkut kerugian keuangan negara, penyidik, kata Budi memilih untuk menerbitkan SP3. “Jadi karena sudah kadalursa, terus kerugian negara nggak ditemukan, makan (penyidikan kasusnya) dihentikan (SP3) seluruhnya,” kata Budi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *