caristyle.co.id JAKARTA. PT Adhi Karya Tbk (ADHI) tengah menghadapi beragam tantangan signifikan yang diproyeksikan berlanjut hingga akhir tahun 2025. Dua isu utama yang membayangi kinerja perseroan adalah ketidakpastian seputar rencana merger BUMN Karya serta penurunan signifikan dalam perolehan kontrak baru.
Direktur Utama ADHI, Entus Asnawi, menjelaskan bahwa proses persiapan merger antar entitas BUMN Karya masih terus berjalan, terutama dalam hal proyeksi target kinerja. Hal ini menjadi kompleks mengingat proses tersebut tidak hanya melibatkan perusahaan terbuka, tetapi juga BUMN dari perusahaan non-terbuka.
Sebagai informasi, pemerintah memiliki rencana besar untuk melebur emiten konstruksi milik negara. Kabar terkini menyebutkan bahwa BUMN Karya akan dikonsolidasikan menjadi tiga holding strategis. Dalam skema tersebut, PT Wijaya Karya (Persero) (WIKA) akan berpasangan dengan PT PP (Persero) Tbk (PTPP). Sementara itu, PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI) akan bertindak sebagai induk holding bagi PT Brantas Abipraya dan PT Nindya Karya. Terakhir, PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT) direncanakan akan bergabung dengan PT Hutama Karya (Persero).
Selain dinamika merger, ADHI juga menanti keputusan dari Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara). Keputusan ini krusial dalam mengatasi permasalahan kinerja yang berat, termasuk beban utang dan kerugian besar yang mendera para BUMN Karya. Di saat yang sama, pemetaan mendalam terkait persaingan usaha, kompetensi inti, dan kondisi keuangan masing-masing perusahaan juga masih terus dikaji untuk memastikan langkah strategis ke depan.
“Kami masih berproses terus. Untuk perusahaan terbuka, prosesnya akan lebih panjang dari yang non-tbk. Ini terkait kaitannya dengan pihak luar (kerjasama asing),” ujar Entus dalam acara Public Expose Live secara virtual, Senin (8/9), menekankan kompleksitas yang dihadapi perseroan.
Tantangan lain yang tak kalah penting bagi ADHI adalah penantian pembayaran proyek LRT Jabodebek Tahap I yang belum juga cair sebesar Rp 2,2 triliun. Berdasarkan Perpres Nomor 98 Tahun 2015, proyek LRT ini dibangun dalam dua tahap.
Tahap I, yang membentang sepanjang 44 kilometer, telah rampung dan beroperasi penuh sejak tahun 2023. Secara lebih rinci, LRT Jabodebek melayani tiga lintas utama: Cawang–Cibubur, Cawang–Dukuh Atas, dan Cawang–Bekasi Timur. Dari total nilai pembangunan sebesar Rp 25,5 triliun, ADHI baru menerima pembayaran sebesar Rp 23,3 triliun, menyisakan Rp 2,2 triliun yang masih tertunda.
Dalam perkembangan positif, ADHI telah menerima penegasan dari Kementerian Keuangan bahwa pembayaran sisa dana akan dilakukan melalui PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan skema penyertaan modal negara (PMN) atau subsidi. “Nanti KAI ke ADHI akan membayarkannya secara penuh. Ini sedang dalam proses amandemen. Masih menunggu kajian untuk mendapatkan angka-angka komersial yang nanti akan dibahas dengan Kementerian Keuangan,” terang Entus, optimis bahwa pembayaran akan segera terealisasi.
Di tengah upaya menyelesaikan pembayaran tahap pertama, ADHI juga secara paralel tengah menyusun skema pendanaan untuk proyek pembangunan LRT Jabodebek Tahap II. Entus mengungkapkan bahwa pihaknya sedang aktif mencari solusi pendanaan yang paling sesuai, termasuk melibatkan dana di luar pemerintah untuk bekerja sama dengan KAI. Diskusi intensif pun telah dilakukan dengan Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan.
“Kami bersama-sama sedang mencari bagaimana solusi pendanaan untuk pembangunan tahap II. Misalnya, lebih banyak melibatkan dana-dana di luar pemerintah untuk bekerja sama dengan KAI,” tambahnya, menandakan pendekatan kolaboratif dalam proyek strategis ini.
Perolehan kontrak baru ADHI menunjukkan tren penurunan signifikan. Hingga bulan Juli 2025, perseroan hanya mengantongi nilai kontrak baru Rp 3,8 triliun, anjlok dari Rp 12 triliun per Juli 2024. Kontrak baru yang diraih per Juli 2025 mayoritas berasal dari proyek gedung (42%), infrastruktur (26%), engineering & industri (16%), dan sisanya dari proyek lain-lain. Adapun, sumber pendanaan didominasi oleh BUMN (44%), APBN/APBD (22%), swasta (16%), dan pinjaman (1%).
Entus memprediksi bahwa porsi sumber pendanaan untuk nilai kontrak ADHI ke depan akan mengalami pergeseran. Perubahan ini didorong oleh semakin banyaknya proyek konstruksi berskala besar yang melibatkan pihak swasta, baik dari dalam maupun luar negeri. “Ini nanti mungkin akan memberikan tambahan persentase kontribusi ke asing,” paparnya, mengindikasikan diversifikasi sumber pendanaan.
Pergeseran strategi ini juga erat kaitannya dengan fokus perseroan pada proyek-proyek hilirisasi yang digarap ADHI tahun ini, baik sebagai kontrak baru maupun proyek yang sedang berjalan. Terbaru, ADHI secara resmi menerima Surat Penetapan Pemenang (Letter of Award/LOA) untuk kontrak Front-End Engineering Design (FEED) proyek “Indonesia INPEX Abadi Onshore LNG Project” dari INPEX Masela Ltd., anak perusahaan INPEX, perusahaan energi terbesar Jepang. Proyek strategis ini berlokasi di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku, dengan kapasitas produksi sekitar 9,5 juta ton LNG dan 35.000 barel kondensat per hari, dengan nilai kontrak FEED OLNG Inpex Masela sebesar Rp 60 miliar.
Selain kontrak FEED tersebut, ADHI juga memiliki beberapa proyek on-going yang berfokus pada bidang minyak dan gas (migas), pembangkit listrik, petrokimia, serta pertambangan dan industri. Beberapa proyek di antaranya adalah PUSRI III B yang diperoleh pada tahun 2023 senilai Rp 9,82 triliun, EPCC Jetty & Propylene Tank Balongan pada tahun 2024 senilai Rp 755,8 miliar, dan CHF ICB PTBA pada tahun 2025 senilai Rp 609,8 miliar. “Kami lebih memilih di sisi outside battery limit (OSBL) atau sarana dan prasarana pendukung dalam proyek hilirisasi,” jelas Entus, menggarisbawahi keahlian khusus ADHI dalam segmen ini.
Menanggapi penurunan kinerja dan raihan kontrak baru ADHI pada tahun 2025, Entus mengaitkannya dengan siklus lima tahunan di mana sektor konstruksi cenderung mengalami penurunan. Meskipun demikian, ADHI tetap optimistis mampu meningkatkan kembali kinerjanya, terutama dengan dukungan kuat dari kontrak-kontrak di proyek hilirisasi. “Ini kami masih menunggu beberapa lelang dan beberapa keputusan dari hasil tender dalam tiga-empat bulan,” katanya, mengisyaratkan potensi pertumbuhan di masa mendatang.
Prospek dan Rekomendasi Saham
Terlepas dari berbagai tantangan, kinerja saham ADHI justru menunjukkan tren positif. Melansir data RTI pukul 14.30 WIB, saham ADHI tercatat naik 11,63% dalam sebulan terakhir dan melonjak 35,85% sejak awal tahun (year to date/YTD). Kenaikan ini, menurut Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, dipicu oleh sentimen positif dari proyek FEED OLNG Inpex Masela yang diharapkan mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap kinerja perseroan.
Selain itu, penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) menjadi 5% juga menjadi katalis kuat, berpotensi mengurangi beban bunga pinjaman di sektor konstruksi. “Penurunan BI Rate diharapkan bisa membuat sektor infrastruktur konstruksi bisa lebih ekspansif,” ujarnya kepada Kontan, Senin (8/9), menyoroti dampak positif kebijakan moneter terhadap industri.
Terkait dinamika merger BUMN Karya, Nafan melihat bahwa kewenangan utama masih berada di tangan pemerintah, sehingga pasar cenderung bersikap wait and see terhadap perkembangan aksi korporasi tersebut. “Permasalahan yang dialami emiten BUMN Karya ini terkait arus kas negatif, dengan debt to equity ratio (DER) yang masih tinggi,” imbuhnya, menggambarkan kondisi fundamental yang perlu dicermati investor.
Meskipun demikian, Nafan meyakini bahwa masifnya proyek hilirisasi yang digarap ADHI dapat menjadi salah satu penopang utama kinerja perseroan. Hal ini sejalan dengan fokus pemerintah dalam meningkatkan hilirisasi di Tanah Air, yang mengharuskan emiten BUMN konstruksi siap mendukung pembangunan tersebut. “Tapi, investor juga harus melihat bagaimana raihan nilai kontrak baru ADHI ke depan, apakah mampu memulihkan kinerja fundamental perseroan,” sarannya, menekankan pentingnya monitoring capaian kontrak.
Senada, Head of Research Kiwoom Sekuritas, Liza Camelia Suryanata, mengamati bahwa di tengah penurunan pendapatan usaha sekitar 33% year on year (YoY) pada semester I 2025, laba bruto ADHI justru meningkat sekitar 10% YoY. Namun, efisiensi cost of goods sold (COGS) belum cukup untuk menyelamatkan laba bersih ADHI dari penurunan drastis, yakni sekitar 45% YoY, sehingga hanya tersisa Rp 7,5 miliar.
Di sisi lain, liabilitas perseroan sebenarnya mampu turun sekitar 8%, yang secara relatif membantu memperbaiki beban bunga. Meski demikian, raihan nilai kontrak baru sepanjang semester I 2025 yang hanya senilai Rp 3,5 triliun, jauh dari target Rp 25–28 triliun. “Ini mencerminkan tantangan besar di paruh kedua tahun 2025,” ujar Liza kepada Kontan, Senin (8/9), menyoroti gap antara realisasi dan target.
Menjelang sisa tahun 2025, kinerja ADHI diperkirakan akan dipengaruhi oleh sejumlah sentimen positif yang dapat mendorong pertumbuhan. Pertama, efisiensi operasional yang terlihat dari peningkatan margin bruto di tengah penurunan pendapatan. Kedua, penurunan liabilitas dan beban keuangan yang berkontribusi pada terjaganya stabilitas keuangan. Ketiga, target merger BUMN Karya yang berpotensi memperkuat posisi bisnis dan daya tawar perusahaan di masa depan. “Proyek FEED Tanimbar yang bersifat proyek strategis nasional (PSN) dan mendukung inisiatif CCS akan menjadi katalis material untuk reputasi dan potensi revenue jangka menengah dan panjang,” pungkas Liza, menyoroti dampak proyek Inpex Masela.
Namun, beberapa sentimen negatif juga perlu diwaspadai investor. Penurunan laba bersih menimbulkan kekhawatiran terkait daya saing proyek, potensi penundaan pembayaran, serta lemahnya permintaan di berbagai segmen bisnis. Selain itu, target kontrak baru ADHI yang masih jauh dari realisasi pada semester I menunjukkan tekanan yang signifikan menjelang akhir tahun 2025. Terakhir, kondisi arus kas operasi ADHI yang masih negatif juga menjadi perhatian serius dari sisi likuiditas dan pembiayaan, meskipun neraca perseroan secara keseluruhan relatif stabil.